ASSALAMU'ALAIKUM WR.WB.
SELAMAT DATANG DI BLOG PEMIKIRANREDI
"MENAWARKAN PERSPEKTIF KRITIS MELALUI PERPADUAN FILSAFAT, TEORI, DAN DOGMATIKA"

Kamis, 22 April 2010

SEKTOR PERTAMBANGAN DAN KOMPLEKSITAS PERSOALAN HUKUMNYA

*AHMAD REDI,S.H.,M.H.

Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa "bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Prinsip yang terkandung dalam ketentuan UUD NRI 1945 ini mengandung makna kewajiban Pemerintah sebagai pelaksana kebijakan negara untuk melakukan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat.

Prinsip yang terkandung dalam UUD NRI 1945 tersebut, dalam pengusahaan potensi sumber daya alam harus dilaksanakan secara berkelanjutan dan pemanfaatannya seoptimal mungkin bagi kepentingan rakyat. Dengan demikian, Pemerintah memiliki peran utama dalam optimalisasi pengusahaan potensi sumber daya alam. Pengusahaan potensi sumber daya alam dalam implementasinya harus diterapkan dengan mempertimbangan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Hal ini penting mengingat pengusahaan sumber daya alam akan menjadi kekuatan ekonomi riil secara berkelanjutan, yang antara lain berupa penerimaan negara, pengembangan wilayah dan pengembangan sumber daya manusia, namun dengan tetap memperhatikan komitmen corporate social responsibility dan juga melakukan pengeloaan dan perlindungan terhadap lingkungan hidup.

Pemanfaatan secara berkelanjutan ini, diartikan pula sebagai prinsip pemanfataan potensi sumber daya alam yang bersifat tidak terbarukan melalui nilai tambah yang makmisal menjadi suatu kegiatan ekonomi/industri nontambang yang terus-menerus walaupun kegiatan tambang berakhir. Prinsip ini berkorelasi dengan amanat UUD NRI 1945 yang mengamanatkan agar pemanfaatan sumber daya alam sebagai kekayaan alam yang menjadi komoditas bagi bangsa untuk mensejahterakan rakyat melalui kebijakan pemenuhan kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation), peningkatan ekspor dan penerimaan devisa negara, serta perluasan kesempatan berusaha dan lapangan kerja dapat terwujud.

Prinsip di ataslah yang menjadi dasar filosofis dan sosiologis pembentukan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang menggantikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yang dalam prakteknya telah tidak mampu mengakomodir perkembangan kegiatan pertambangan yang terus bermetafora, misalnya pembagian kewenangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah dalam kaitannya dengan otonomi daerah; pengaturan mengenai wilayah pertambangan; reklamasi dan pascatambang; pembinaan dan pengawasan penyelengaraan pertambangan; penerimaan negara; penggunaan tanah untuk kepentingan pertambangan; divestasi saham atau modal pemegang izin usaha pertambangan; status kontrak karya, perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara dan kuasa pertambangan yang sudah diterbitkan, sehingga diperlukan pembaharuan hukum pertambangan dari rezim pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 ke Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.

Sebagai bentuk pembarahuan hukum pertambangan sebagaimana dimaksud di atas, maka Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 mengandung pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan dikuasai oleh negara dan pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah bersama dengan pelaku usaha.

Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dan batubara berdasarkan izin, yang sejalan dengan otonomi daerah, diberikan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing.

Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan Pemerintah dan pemerintah daerah.
Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-besar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.

Usaha pertambangan harus dapat mempercepat pengembangan wilayah dan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kecil dan menengah serta mendorong tumbuhnya industri penunjang pertambangan.

Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat.

Kaitan prinsip dan materi muatan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dalam tataran praktisnya mempertimbangkan pula perkembangan nasional maupun internasional yaitu perkembangan pengusahaan pertambangan yang telah memasuki era globalisasi dan ditandai dengan adanya persaingan bebas atas dasar kemajuan teknologi, informasi pertambangan, daya tarik investasi serta isu lingkungan hidup, serta demokratisasi yang sudah menjadi tuntutan dunia usaha.

Terbitnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2004 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten, telah memberikan kewenangan kepada daerah dalam mengelola sumber daya mineral yang ada di daerahnya serta mengubah tatanan yang selama ini berlaku. Fungsi-fungsi pengelolaan sumber daya mineral yang selama ini dilaksanakan oleh Pemerintah, dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka sebagian besar dari fungsi-fungsi tersebut selanjutnya akan dilaksanakan oleh daerah.

Pelaksanaan otonomi daerah berdampak penting bagi pergeseran paradigma pengaturan pertambangan mineral dan batubara. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 mengatur secara rinci terkait kewenangan-kewenangan yang dimiliki Pemerintah maupun pemerintah provinsi dan pemerintah kabupatan/kota, sehingga peningkatan peran pemerintah daerah diharapkan akan menjadi potensi bagi peningkatan pendapatan daerah guna mewujudkan kesejahtaraan umum.

Hal yang sangat penting pula terkait dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, yaitu pengusahaan pertambangan mineral dan batubara yang berhubungan dengan upaya investasi di sektor ini. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal mengatur bidang usaha atau jenis yang terbuka dan tertutup bagi kegiatan penananam modal yang ketentuan lanjutnya diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Dalam Peraturan Presiden tersebut bidang usaha pertambangan dapat dilakukan kegiatan invetasi dengan dipersyaratkan kepemilikan modalnya, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan lokasi tertentu, dan bidang usaha yang dipersyaratkan dengan perizinan khusus.

Peraturan perundang-undangan di atas menjadi dasar bagi pelaku usaha pertambangan untuk mendapatkan kepastian berinvestasi. Kepastian berinvestasi memerlukan komitmen bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan investor untuk dapat merealisasikan hubungan binis yang harmonis antara negara (Pemerintah) dan investor, sehingga keharmonisan tersebut dapat mewujudkan iklim investasi yang sehat. Pemerintah sebagai penyelenggara investasi sesuai dengan kapasitasnya adalah membuat regulasi yang mendukung terwujudnya hubungan yang sinergi atar Pemerintah, investor dan masyarakat. Investor sebagai pelaksana kegiatan eksplorasi berkewajiban mentaati aturan main yang menjadi dasar hukum terlaksananya kegiatan eksplorasi tersebut dalam implementasinya dengan mematuhi setiap ketentuan hukum yang berlaku umum dan atau perjanjian kontrak yang telah disepakati antara Pemerintah dengan investor, serta menjunjung tinggi nilai-nilai budaya yang hidup di dalam wilayah adat budaya setempat.

Setidaknya terdapat tiga syarat, agar hukum dapat berperan mendorong jalannya perekonomian bangsa, yaitu hukum harus dapat menciptakan predictability, stability, dan fairness, termasuk dalam peranan pengaturan pertambangan bagi mendorong perekonomian.

Syarat pertama, yaitu predictability, peraturan perundang-undangan harus bisa menciptakan kepastian. Peraturan perundang-undangan yang menyebabkan ketidakpastian hukum menandakan telah terjadinya kegagalan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut. Hukum harus memberikan kepastian mengenai norma yang harus dipatuhi atau dihindari bagi setiap orang/badan yang terkena akibat hukum dari suatu pengaturan. Dengan tidak adanya kepastian hukum, maka akan terhambatnya pertumbuhan perekonomian dan dalam hal sektor pertambangan, maka investasi akan terhambat. Investasi merupakan masalah yang mengutamakan dana langsung dan hal tersebut akan berhubungan dengan pihak yang mempercayakan dana tersebut untuk diinvestasikan. Kepercayaan sangat tergantung dari kepastian hukum suatu negara yang akan menjadi tempat invetasi modal tersebut. Bentuk kepercayaan dimaksud dipengaruhi oleh sejauh mana negara yang akan menjadi tempat investasi dapat memberikan pengaturan yang jelas, komprhensif, pantas, tidak kontradiksi, dan pembentukan aturan yang mencantumkan persyaratan yang dapat dipenuhi oleh investor. Selain itu, aspek penegakkan hukum terhadap tindak pidana korupsi menjadi dasar pertimbangan investor dalam menilai adanya kepastian hukum di suatu negara. Dengan adanya kepastian pengaturan dam kepastian penegakkan hukum tersebut, investor akan tertarik untuk menanamkan modalnya sehingga ketertarikan yang diimplementasikan dengan investasi akan berimplikasi pada pertumbuhan perekonomian bagi Indonesia.

Syarat kedua, peraturan perundang-undangan harus bisa menciptakan stability, yaitu peraturan perundang-undangan harus mampu mengakomodir kepentingan-kepentiangan yang saling terkait dalam masyarakat. Kepentingan dalam masyarakat harus seimbang dalam perwujudan yang diformalisasikan dalam peraturan perundang-undangan. Kepentingan masyarakat untuk mendapatkan kepastian hukum, penegakan hukum atas tindak pidana korupsi, iklim investasi yang sehat dengan didukung oleh sistem perburuan yang kondusif, kemudahan dalam proses perizinan, kondisi sosial politik yang baik dan stabil, merupakan bentuk kepentingan yang harus diakomodir guna menciptakan aspek stabilitas dalam mendorong perekonomian. Stability dapat pula dimaknai dengan adanya keseimbangan antara kepentingan investor dalam berusaha serta kepentingan Pemerintah dan masyarakat dalam memperoleh manfaat atas implikasi investasi.

Ketiga, syarat peraturan perundang-undangan sebagai saah satu sumber hukum yang dapat menciptakan fairness. Peraturan perundang-undangan dalam penerapannya diharapkan dapat mewujudkan keadilan. Keadilan dapat terwujud apabila pihak-pihak yang terkait diposisikan sesuai dengan kedudukannya masing-masing dan pihak tersebut dapat merasakan dampak yang positif dari pengaturan yang dikenai terhadapnya. Aspek keadilan ini pun dapat diperoleh oleh pihak yang merasa dirugikan atau dianggap telah menjadi korban keadilan dengan melakukan upaya pengujian suatu peraturan perundang-undangan ke Mahkamah Konstutusi untuk produk berupa undang-undang dan Mahkamah Agung untuk produk hukum di bawah undang-undang.
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 sebagian pihak investor mengganggap telah terjadi ketidakadilan dalam pengaturan yang mengatur mengenai ketentuan peralihan yaitu pada Pasal 172 yang pokoknya menentukan bahwa terhadap permohonan Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang telah diajukan paling lambat satu tahun sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 (dalam hal ini paling lambat 12 Januari 2008) dan telah mendapat persetujuan prinsip atau izin penyelidikan pendahuluan, yang diakui dan tetap diproses perijinannya tanpa melalui proses lelang berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Didasari pengaturan tersebut beberapa pengusaha baik secara perorangan ataupun badan hukum mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dengan registrasi Nomor 759.121/PAN.MK/IX/2009 tanggal 11 September 2009.

Didasari ketiga syarat tersebut hukum dapat mendorong pertumbuhan perekonomian, dalam hal ini sektor pertambangan yang dalam skema penerimaan negara, sektor ini merupakan salah-satu sektor yang diprioritaskan untuk dapat menjadi sektor yang mampu berkontribusi besar untuk membiayai pembangunan secara umum. Namun, sektor pertambangan yang menjadi sektor yang diharapkan mampu berkontribusi tersebut, dalam prakteknya terdapat beberapa persoalan yang secara umum merupakan bentuk ketidakmampuan penerapan ketiga syarat sebagaimana diuraikan sebelumnya.

Permasalahan yang cukup kompleks dalam kegiatan penanaman modal di bidang pertambangan mineral dan batubara yang dewasa ini cukup mengemuka diantaranya permasalahan divestasi saham atau modal. Salah-satu praktik pelaksanaan divestasi yang bermasalah, misalnya praktik pelaksanaan perjanjian kontrak karya antara Pemerintah Indonesia dengan PT Newmont NNT dalam eksplorasi tambah batuhijau di Nusa Tenggara Barat (NTB). Perjanjian kontrak karya yang sudah berjalan bertahun-tahun tersebut tiba-tiba menghadapai permasalahan yang disebabkan tidak terealisasinya kesepakatan mengenai klausula yang mengatur kewajiban divestasi setiap periode divestasi yang telah ditentukan dalam perjanjian kontrak karya antara Pemerintah Indonesia dengan PT. Newmont NNT. Imbas dari kejadian tersebut munculah sengketa antara keduanya, pemerintah menuding PT Newmont NNT wanprestasi, sementara Newmont Merasa tidak melakukan pelanggaran atas perjanjian mengenai divestasi.

Sengketa antara Pemerintah Indonesia dengan PT Newmont NNT akhirnya harus diselesaikan melalui penyelesaian sengketa arbitrese di Majelis Arbitrase International yang diselenggarakan di Singapura pada tahun 2009. Hasil putusan arbitrase internasional tersebut memenangkan Pemerintah Indonesia dengan mengabulkan tuntutan pemerintah yang menuntut agar PT Newmont NNT mendivestasikan sahamnya sesuai dengan periode divestasi yang belum terlaksana.

Putusan arbitrase yang memenangkan Pemerintah Indonesia terhadap PT Newmont NTT dalam pelaksanaannya tidak dapat direalisasikan secara cepat karena mengalami berbagai kendala, antara lain mengenai kesepakatan harga saham periode divestasi tahun 2008 yang belum disepakati antara pihak dan permasalahan pendanaan untuk membeli sahan yang akan didivestasikan. Permasalahan pendanaan tersebut dikarenakan Pemerintah Daerah NTB yang tidak cukup memiliki dana untuk membeli saham PT Newmont NNT sehingga untuk mengatasi persoalan tersebut dilakukanlah kerja sama antara pemerintah daerah dengan perusahaan BUMN dan/atau perusahaan swasta nasional. Perusahaan PT Aneka Tambang (ANTAM) berminat untuk melakukan kerja sama dengan Pemerintah Daerah NTB dalam divestasi saham. Namun, upaya kerja sama ini gagal karena persoalan mengenai persentase besaran sahamnya. Akhirnya Pemeritah Daerah NTB menyepakati untuk bekerjasama dengan perusahaan Bakrie.

Divestasi saham asing yang secara sederhana diartikan sebagai jumlah saham asing yang harus ditawarkan untuk dijual kepada peserta Indonesia. Ketentuan mengenai divestasi saham asing ini secara yuridis normatif telah diatur dalam Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang mengatur bahwa pemegang IUP dan IUPK yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham pada Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta nasional. Selanjutnya dalam ayat (2) menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai divestasi saham diatur dengan peraturan pemerintah.

Kewajiban sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 112 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dalam prakteknya belum dapat diberlakukan secara efektif karena menimbulkan penolakan dari berbagai perusahaan pertambangan. Hal ini didasari oleh kendala semisal harga komoditas yang melambung tinggi apabila dilakukan divestasi karena pengaruh isu divestasi yang direspon pasar bursa dan juga kendala kesulitan pinjaman bagi perusahaan tambang dari perbankan apabila komposisi saham yang relatif kecil. Saham yang didivestasikan cenderung nilainya lebih mahal empat kali lipat dari harga sesungguhnya. Hal ini terjadi karena penilaian harga saham sudah menyertakan proyeksi keuntungan (discount rate), biaya investasi, dan harga komoditas jangka panjang.

Dengan pola tersebut pemerintah seolah hanya mengganti biaya investasi (replacement cost) dan mengambil alih saham. Di satu sisi, Pemerintah atau pihak pembeli akan sulit membeli saham divestasi jika mengandalkan dana perbankan. Alasannya, pihak perbankan selaku pemberi pinjaman akan berpikir panjang dalam memberikan pinjaman untuk porsi saham yang relatif kecil.

Terlepas dari polemik yang muncul dan berkembang, terdapat beberapa keuntungan dan kerugian dalam hal divestasi saham badan usaha asing kepada Pemerintah, pemerintah daerah, BUMN/BUMD, dan swasta nasional. Sehingga menyikapi polemik tersebut harus diupayakan suatu formulasi hukum yang mampu mengatasi persoalan divestasi ini. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 belum mengatur secara jelas penyelesaian persoalan-persoalan yang timbul sebagai akibat dari kegiatan divestasi saham. Undang-Undang mengamanatkan agar permasalahan ini diatur lebih lanjut dalam peraturan Pemerintah. Untuk mengupayakan divestasi saham, Pemerintah dan/atau pemerintah daerah harus memiliki power kuat dan bargaining potition yang tinggi dalam setiap perjanjian kontrak kerjasama penambangan di wilayah Indonesia, terutama dalam hal kesiapan pendanaan.

Divestasi saham izin usaha pertambangan ke Pemerintah, pemerintah daerah, BUMN, atau dab/atau BUMD sebagai wujud kedaulatan dalam negeri dalam hal kegiatan usaha pertambangan sebagai upaya guna mewujudkan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya perlu diciptakan formulasi hukum agar divestasi ini dapat berjalan dan Pemerintah mampu mendorong supaya investor mentaati setiap peraturan yang ada, tanpa adanya affirmative hukum mustahil Indonesia akan mendapatkan keuntungan yang besar dalam kerjasama bisnis. Hal ini penting supaya masyarakat indonesia tidak merasa apatis terhadap investor asing yang masuk sehingga daya dukung sosial terhadap investasi/divetasi akan mengalami pertumbuhan dan kenyamanan investor lebih terjamin.

DAFTAR PUSATAKA

A. Buku


Atmadja, Arifin P Soeria, Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum (Teori, Kritik, dan Praktik). (Jakarta: Rajawali Press, 2009).

E. Utrecht., dan Moh. Saleh Djindang, Pengantar dalam Hukum Indonesia, cetakan kesebelas. (jakarta: penerbit P.T. Ichtiar Baru dan Penerbit Sinar Harapan, 1989) .
Gautama, Sudargo. Arbitrase Luar Negri dan Pemakaian Hukum Indonesia. (Bandung: Citra Aditya, 2004).

Kerlinger, N Fred Asas-asas Peneltiian Bahavioral, Edisi Indonesia. (Yogyakarta: Gadja Mada Press, 1996).
Kusumaatmadja, Mochtar. Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan. (Bandung : Alumni. 2002).
Rajagukguk, Erman. Indonesianisasi Saham. (Jakarta: Rineka Cipta, 1994).
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. (Bandung: Alumni, 1982).
_________, Hukum Masyarakat dan Pembangunan. (Bandung: Alumni, 1980).
Salim,HS, Hukum Pertambangan Indonesua. (Jakarta: Rajagrafindo Persada,2006).
Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Ke-Indonesiaan. (Jakarta:Penerbit CV Utomo, 2006).

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: Universtitas Indonesia Press, 1999).
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat). (Jakarta: Rajawali Press, 2003).
Soewartojo, Juanidi. Keuangan Negara. (Jakarta: STIA LAN Press, 1999).
Susantio, Sutantio,S.H. dan Iskandar Oerip. Hukum Acara Perdata dalam Teori Dan Praktek. (Bandung : Alumni, 2000).
Sulaiman, Anwar. Pengantar Keuangan Negara dan Daerah. (Jakarta: STIA LAN Press, 2000).
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. (Jakarta : Intermasa, 1979).
______. Aneka Perjanjian. Cetakan VII. Bandung : Alumni. 1985.

B.Peraturan Perundang-undangan

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambagan Mineral dan Batubara. LN Tahun 2009 Nomor 4, TLN Nomor 4959.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. LN Tahun 2007 Nomor 67, TLN Nomor 4724.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Perseroan Terbatas. LN Tahun 2007 Nomor 7, TLN Nomor 4357.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. TL Tahun 1998 Nomor 182, TLN Nomor 3790.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. LN Tahun 2004 Nomor 7, TLN Nomor 4357.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelisjk Wetboek). Diterjemahkan oleh Subekti dan Tjiprosudibio. (Bandung: Pranadya Paramita, 1992.

C.Artikel dan Hasil Penelitian


Theberge, Leonard J. Law and Economic Development, Journal of International Law and Policy, Vol.9.
Rajagukguk, Erman. Pengertian Keuangan Negara dan Kerugian Negara. Makalah disampaikan pda diskusi public “Pengertian Keuangan Negara dan Kerugian Negara dalam Tindak Pidana Korupsi”, oleh Komisi Hukum Nasional (KHN), Jakarta 26 Juli 2006.

D.Kamus dan Ensiklopedia

Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1988).
Kamus Hukum. Samongkir, JCT, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006).
Black Law Dictionary. United State of America: A Thomson Business.