ASSALAMU'ALAIKUM WR.WB.
SELAMAT DATANG DI BLOG PEMIKIRANREDI
"MENAWARKAN PERSPEKTIF KRITIS MELALUI PERPADUAN FILSAFAT, TEORI, DAN DOGMATIKA"

Senin, 21 Oktober 2013

MENEBAK NASIB PERPPU PENYELAMATAN MK

Oleh:
Dr.Ahmad Redi.,S.H.,M.H.


Dalam rangka menyelamatkan demokrasi dan negara hukum Indonesia, serta untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi menegakkan Undang-Undang Dasar (UUD), akibat adanya kemerosotan integritas dan kepribadian yang tercela dari Hakim Konstitusi, Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2013.

Secara konstitusional hak Presiden membentuk Perppu diatur dalam Pasal 22 UUD 1945 bahwa dalam hal ikhwal kegentingan memaksa Presiden berhak menetapkan Perppu. Keadaan “kegentingan memaksa” dalam UUD tidak diatur secara lengkap mengenai keadaan apa saja dan bagaimana kegentingan memaksa dapat menjadi dasar pertimbangan penetapan Perppu oleh Presiden, begitu pula dengan aturan organik dari UUD yaitu UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pun tidak menkonkretkan “hal ikhwal kegentingan memaksa” yang diatur dalam UUD. Melalui ketentuan tersebut, Presiden memiliki hak mutlak untuk menetapkan suatu keadaan tertentu, dianggap genting yang memaksa sehingga perlu ditindaklanjuti dengan Perppu.

Pemikiran Presiden mengenai suatu keadaan tertentu genting yang memaksa, perlu dilakukan pengujian oleh DPR dengan mengajukan Perppu tersebut ke DPR dalam persidangan paripurna DPR pertama setelah Perppu tersebut ditetapkan Presiden. Apabila DPR sependapat dengan Presiden mengenai kegentingan memaksa tersebut, DPR dapat menyetujuinya dengan menerbitkan undang-undang tentang penetapan Perppu dan jika DPR tidak sependapat maka Perppu tersebut harus dicabut dengan penerbitan undang-undang tentang pencabutan Perppu. Namun, segala tindakan hukum dan akibat hukum yang timbul berdasarkan Perppu tersebut tetap diakui sepanjang Perppu tersebut belum dinyatakan dicabut. Artinya tempo waktu penetapan Perppu sampai dengan Perppu tersebut ditolak/diterima DPR, akibat hukum yang timbul tetap legal selama durasi berlakunya Perppu tersebut.

Lalu dapatkah suatu Perppu diajukan permohonan pengujiannya ke MK sebelum Perppu tersebut disetujui/ditolak DPR? Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 kewenangan pengujian yang dilakukan oleh MK hanya terbatas pada pengujian undang-undang terhadap UUD. Secara tafsir gramatikal maka hanya undang-undang saja yang dapat diuji oleh MK walaupun dalam UU No.12 Tahun 2011 kedudukan undang-undang dan Perppu sederajat, namun kewenangan konstitusional pengujian oleh MK hanya pada undang-undang. Pengujian terhadap Perppu hanya dapat dilakukan oleh DPR melalui persetujuan untuk menerima atau menolak Perppu yang diajukan oleh Presiden. Lalu bagaimana bila DPR tidak memberikan persetujuan atau penolakan terhadap Perppu? Hal inilah yang terjadi dalam Perppu No. 4 Tahun 2008 tentang Jaringan Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Perppu ini hingga saat ini tak jelas nasibnya. DPR tidak memberikan jawaban menyetujui atau menolak atas Perppu ini dan hingga saat ini belum ada undang-undang mengenai penetapan Perppu JPSK menjadi Undang-Undang atau Undang-Undang mengenai Pencabutan Perppu JPSK. Perppu yang menjadi dasar bailout Bank Century ini menyebabkan beberapa orang harus berurusan dengan KPK. Ketidakjelasan nasib Perppu JPSK ini mengingkari ketentuan Pasal 22 UUD 1945 yang menyatakan bahwa DPR menyetujui/tidak menyetujui penetapan Perppu menjadi undang-undang pada persidangan yang berikutnya.

Menyoal Substansi
Terbitnya Perppu No.1 Tahun 2013 mengubah beberapa ketentuan dalam UU No.24 Tahun 2003, terdapat 3 (tiga) substansi krusial dalam Perppu tersebut, yaitu mengenai: syarat rekruitmen hakim, pembentukan Panel Ahli, dan penguatan Majelis Kehormatan. Pertama, penambahan ketentuan berupa syarat tidak menjadi anggota partai politik paling singkat 7 (tujuh) tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim merupakan upaya preventif bagi calon hakim “titipan” partai politik yang membawa kepentingan politik partai. Kedua, pembentukan Panel Ahli yang terdiri dari mantan hakim konstitusi, tokoh masyarakat, akademisi, dan praktisi bidang hukum untuk menguji kelayakan dan kepatutan calon hakim sebelum diajukan kepada Mahkamah Agung, DPR, dan/atau Presiden, akan mempersempit dan menghindari perbuatan “main mata” antara calon hakim dengan Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden sebagai pihak yang berhak mengajukan masing-masing 3 (tiga) hakim konstitusi. Ketiga, pembentukan Majelis Kehormatan Hakim (MKH) secara permanen yang bersekretariat di kantor Komisi Yudisial (KY) sebagai penegak kode etik dan pedoman prilaku hakim, menjawab kekhawatiran banyak pihak mengenai pengembalian kewenangan KY dalam mengawasi hakim konstitusi yang dianggap bertentangan dengan UUD. Melalui Perppu ini pengawasan tersebut tidak dilakukan oleh KY namun oleh MKH sehingga kekhawatiran tersebut terbantahkan.

Penghalang Perppu
Ada banyak pihak yang akan menjadi penentang Perppu tersebut. Pertama penentangan akan dilakukan oleh anggota DPR dalam sidang persetujuan Perppu tersebut. Dalam perkembangannya ada beberapa fraksi yang telah menyatakan ketidaksetujuan atas Perppu tersebut dengan berbagai pertimbangan, misalnya mengenai unsur “kegentingan memaksa” yang tidak kontekstual atau juga karena alasan sebaiknya Pemerintah/DPR menyiapkan RUU tentang Perubahan UU No.24 Tahun 2003 tentang MK saja bukan dengan menerbitkan Perppu, bahkan penetapan Perppu tersebut dapat menjadi isu politik yang seksi sebagai komoditas politik untuk menjatuhkan wibawa Presiden dan partai pendukungnya.

Penentang lainnya apabila Perppu tersebut disetujui untuk ditetapkan menjadi undang-undang, yaitu para pihak yang memiliki legal standing dalam pengajuan uji materiil undang-undang tersebut ke MK. Dasar penentangan tersebut, antara lain bahwa undang-undang penetapan Perppu tersebut bertentangan dengan Pasal 22, Pasal 24B, dan Pasal 24C UUD. Selanjutnya, penghalang yang paling utama yaitu Hakim Konstitusi itu sendiri. Suasana batin Hakim Konstitusi saat ini bercampur aduk. Dimulai dengan kasus penangkapan Ketuanya, banyaknya pengakuan mengenai ‘aroma busuk’ MK dari pihak yang dirugikan dalam sengketa pemilukada, kekecawaan rakyat Indonesia kepada MK yang selama ini dianggap sebagai lembaga reformis selain KPK dan KY, serta suasana batin tidak dilibatkannya MK dalam pertemuan para ketua lembaga negara yang dikoordinasikan oleh Presiden yang dalam pertemuan ini muncul wacana penerbitan Perppu. Hal tersebut, menjadi dasar psikologis hakim MK seandainya undang-undang tersebut dilakukan pengujian ke MK. Selain suasana utama, yaitu pemikiran untuk menjaga kepentingan MK melalui semangat ego-lembaga sehingga akan mempengaruhi hakim MK dalam memutus perkara tersebut.

Akhirnya, diperlukan kebijaksanaan yang luar biasa dari Presiden, DPR, dan MK dalam menyikapi persoalan Perppu ini. Presiden berkeinginan sangat besar untuk dapat menyelamatkan MK dengan beberapa langkah yang ditetapkan, termasuk penetapan Perppu. Begitu pula DPR harus bijaksana pula dalam memikirkan hidup-mati Perppu tersebut. MK sebagai pihak yang dikenai dampak pengaturan Perppu harus pula berpikir jernih dan bijaksana dengan menempatkan upaya memperbaiki lembaga MK agar tetap menjadi penjaga Konstitusi yang dipercaya publik. Presiden, anggota DPR, dan Hakim Konstitusi merupakan negarawan yang harus menjunjung tinggi kepentingan bangsa dan negara diatas ego-ego pribadi dan lembaganya.

Dimuat di Koran Media Indonesia, 19 Oktober 2013.
Oleh:
Dr. Ahmad Redi.,S.H.,M.H
(Doktor Hukum Universitas Indonesia, Peneliti di Satjipto Rahardjo Institute)

Rabu, 02 Oktober 2013

QUO VADIS RENEGOSIASI KONTRAK PERTAMBANGAN

Dr.Ahmad Redi.,S.H.,M.H.


Sudah lebih dari empat tahun Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU No. 4 Tahun 2009) memerintahkan agar renegosiasi Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Pertambangan Batubara (PKP2B) dilaksanakan, namun hingga saat ini renegosiasi tersebut belum tercapai bahkan prosesnya pun terlihat masih berlarut-larut.

Renegosiasi KK dan PKP2B secara yuridis diatur dalam Pasal 169 huruf b UU No. 4 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa ketentuan yang tercantum dalam pasal KK dan PKP2B disesuaikan selambat-lambatnya satu tahun sejak UU ini diundangkan (12 Januari 2009). Berdasarkan hal tersebut, seharusnya pada 12 Januari 2010 semua KK dan PKP2B telah selesai direnegosiasi antara Pemerintah dengan kontraktor. Keseriusan Pemerintah Indonesia merenegosiasi KK dan PKP2B secara konkrit baru terlihat pada tahun 2012 dengan dibentuknya Tim Evaluasi Penyesuaian KK dan PKP2B melalui Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2012. Tim ini dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.

Apabila dilihat secara substantif dari UU No. 4 Tahun 2009 terdapat paling sedikit enam hal yang harus direnegoisasi, yaitu: luas wilayah kerja pertambangan, perpanjangan kontrak, penerimaan negara, kewajiban pengelolaan dan pemurnian, kewajiban divestasi, kewajiban penggunaan barang dan jasa pertambangan dari dalam negeri. Dari keenam hal tersebut, berdasarkan Kepres No. 3 Tahun 2012 hanya tiga hal yang akan direnegosiasi, yaitu mengenai luas wilayah kerja, penerimaan negara, pengolahan dan/atau pemurnian mineral. Sedangkan, substansi strategis mengenai kewajiban divetasi saham perusahaan pertambangan asing kepada pihak Indonesia ( Pasal 112 UU No. 4 Tahun 2009) dan substansi pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri (Pasal 106 UU No. 4 Tahun 2009), tidak menjadi isu prioritas. Padahal kedua hal tersebut sangat fundamental dalam rangka memberikan sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Melalui divestasi saham dari perusahaan tambang asing kepada pihak Indonesia akan memberikan implikasi peralihan kepemilikan kepada pihak Indonesia sehingga akan terjadi peralihan kontrol dan peralihan manfaat ekonomi atau nonekonomi dari asing ke pihak Indonesia, misalnya melalui dividen dan penjagaan kepentingan nasional berdasarkan prinsip-prinsip best mining practice. Tidak hanya masalah belum komprehensifnya isu strategis renegosiasi, terdapat persoalan lain yang perlu juga menjadi perhatian Pemerintah.

Hukum Kontrak
Pemerintah boleh saja berdalih bahwa Pasal 169 huruf b memerintahkan agar KK dan PKP2B harus disesuaikan. Namun, harus pula dilihat bahwa terdapat rezim hukum lain yang terlibat dalam renegosiasi tersebut, yaitu hukum kontrak. Kontrak mempunyai kekhususan dan keberlakuan mengikat tersendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata, semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Secara teoritis dan yuridis terdapat 3 (tiga) prinsip yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan, yakni: the principle of consensualism; the principle of the binding force of contract; dan principle of freedom of contract. Dari prinsip tersebut, kebebasan berkontrak hanya dapat mencapai keadilan jika para pihak memiliki bargaining power yang seimbang. Jika bargaining power tidak seimbang maka suatu kontrak dapat menjadi unconscionable. Ia rentan pada pemaksaan kehendak oleh pihak yang kuat kepada pihak yang lemah akibatnya kekuasaan pihak yang kuat tersebut digunakan untuk memaksakan kehendak sehingga membawa keuntungan sepihak.

Keseimbangan kekuasaan sangat penting dalam mencapai kontrak yang berkeadilan. Tidak ada pihak yang memaksakan kehendak dan membawa keuntungan hanya padanya sedangkan pihak lain dirugikan, terutama apabila yang menjadi pihak dalam kontrak merupakan negara dalam kedudukan hukum privat yang diwakili oleh Pemerintah. Walaupun faktanya, tidak serta merta negara selalu dalam posisi kuat ketika berkontrak. Negara pun dapat dalam posisi lemah dan dirugikan, misalnya ketika kontrak dibuat oleh pejabat Pemerintah yang korup sehingga manfaat dari kontrak yang dilaksanakan tidak sesuai dengan manfaat yang seharusnya diterima oleh negara. Terhadap posisi tidak seimbang ini melalui UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts (UPICCs) memberikan pedoman kemungkinan renegosiasi atas kontrak tertentu yang mengalami situasi tertentu. Situasi tersebut, misalnya mengenai hardship (Article 6.2.2 UPICCs). Hardship terjadi apabila terdapat peristiwa yang secara fundamental telah mengubah keseimbangan kontrak.

Berdasarkan hal tersebut, terlalu “leletnya” proses renegosiasi kontrak ini menjadi sinyalemen bahwa Pemerintah sangat berhati-hati melakukan renegosiasi. Pasal 169 huruf b UU No. 4 Tahun 2009 tidak serta merta dapat dilaksanakan tanpa melihat aspek sanctity of contract dan asas pacta sunt servanda dalam kontrak. Artinya apabila terjadi pemaksaan secara sepihak oleh Pemerintah maka kerentanan sengketa sangat besar.

Keadilan
Aspek keadilan harus diwujudkan dalam renegosiasi kontrak, Pemerintah Indonesia menginginkan agar manfaat dari tambang tersebut harus sesuai dengan porsi masing-masing, artinya manfaat yang diperoleh negara sesuai kontrak yang berlaku sekarang belum adil. Namun demikian, renegosiasi KK atau PKP2B juga harus mempertimbangkan kepentingan kontraktor yang secara bisnis ingin mendapatkan keuntungan besar dalam investasi yang telah ditanamkan secara besar-besaran (high cost, high risk, high technology). Keinginan kedua belak pihak harus diakomodir, sehingga terhadap isi KK dan PKP2B harus mencerminkan keadilan kepada kedua belah pihak menjadi kesepakatan win-win solution.

Sejalan dengan konsepsi keadilan tersebut, John Rawls dalam buku Justice As Fainerss menjelaskan teori keadilan sosial sebagai the difference principle dan the principle of fair equality of opportunity. John Rawls menegaskan bahwa penegakan keadilan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu: (1) memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang; (2) mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung.

Berdasarkan hal tersebut di atas, renegosiasi KK dan PKP2B sebagai amanat dari UU No. 4 Tahun 2009 yang merupakan amanat rakyat yang termanifestasi dari proses pembentukan UU oleh DPR harus dilaksanakan. Di sisi lain, kontrak pun dibuat atas kehendak Pemerintah pada saat itu bersama kontraktor. Artinya baik UU maupun kontrak merupakan act of will bangsa Indonesia. Apabila dianggap tidak adil, harus ada kemauan yang sama untuk mengevaluasi isi perjanjian. Di sisi lain, eksistensi pengusahaan pertambangan mineral dan batubara harus dapat dilihat dari kemanfaatan bersama para pihak, termasuk negara (Pemerintah) sebagai penguasa kekayaan alam pun harus mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya.
-----
(dimuat di Opini Kompas, 1 Okotber 2013).