ASSALAMU'ALAIKUM WR.WB.
SELAMAT DATANG DI BLOG PEMIKIRANREDI
"MENAWARKAN PERSPEKTIF KRITIS MELALUI PERPADUAN FILSAFAT, TEORI, DAN DOGMATIKA"

Rabu, 25 Maret 2015

MENAGIH JANJI PEMBANGUNAN SMELTER PT FREEPORT

MENAGIH JANJI PEMBANGUNAN SMELTER PT FREEPORT
*Ahmad Redi

Telah beberapa kali Pemerintah Indonesia diberi harapan oleh PT Freeport terkait pelaksanaan kewajiban PT Freeport atas perintah peraturan perundang-undangan Indonesia dan Kontrak Karya (KK), beberapa kali pula Pemerintah Indonesia dikecewakan. Sebut saja janji untuk membangun smelter yang akan dilakukan oleh PT Freeport yang dituangkan dalam memorandum of understanding (MOU) antara Pemerintah Indonesia dengan PF Freeport pada 24 Juli 2014 lalu. Salah satu poin MOU tersebut yaitu Pemerintah memberikan izin kembali kepada PT Freeport untuk melakukan ekspor mineral dengan syarat dalam jangka waktu 6 (enam) bulan PT Freeport harus membangun smelter sebagai fasilitas pemurnian mineral PT Freeport. Kewajiban pembanguan smelter tersebut merupakan pelaksanaan kewajiban dalam UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Namun, janjipun tinggal janji, hingga saat ini, enam bulan telah berlalu, PT Freeport tidak pula melaksanakan MOU tersebut padahal Pemerintah melalui MOU tersebut telah mencabut larangan ekspor konsentrat mineral PT Freeport sehingga PT Freeport dapat tetap melanjutkan kegiatan operasi produksinya dan melakukan ekspor konsentrat.
Simalakama MOU
Sesungguhnya, penandatanganan MOU antara Pemerintah Indonesia dan PT Freeport pada tanggal 24 Juli 2014 pada masa Pemerintahan Presiden SBY, terkait pemberian waktu kembali untuk membangun smelter tidak perlu dilakukan kembali Pemerintahan Presiden Jokowi. Pada rencana MOU saat ini, salah satu poin yang dibahas kembali yaitu terkait pemberian izin perpanjangan ekspor atas konsentrat oleh PT Freeport yang berakhir pada 24 Januari 2015 (sesuai MOU pertama). Perpanjangan MOU yang memperpanjang pula kesempatan pemberian izin ekspor kepada Freeport, mengandung risiko bagi Pemerintah Indonesia. Sudah berkali-kali PT Freeport tidak memiliki itikad baik untuk menaati peraturan perundang-undangan Indonesia.
Bila membaca ketentuan Pasal 170 UU No.4 Tahun 2009 diatur bahwa pemegang KK wajib melakukan pemurnian di dalam negeri selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak UU No. 4 Tahun 2009 diundangkan. Artinya pada 12 Januari 2014 atau 5 (lima) tahun sejak UU No.4 Tahun 2009 diundangkan, PT Freeport harus melakukan pemurnian di Indonesia. Pasal ini mengandung filosofi bahwa pengusahaan pertambangan bukan merupakan bisnis jual beli tanah air (komoditas tambang mentah-mentah). Tidak ada lagi ekpor mineral mentah dari Papua ke luar negeri. Tidak ada lagi tanah air Indonesia dibawa tanpa diolah dan/atau dimurnikan terlebih dahulu di dlaam negeri.
Pengaturan tersebut dioperasionalisasikan dalam PP No. 1 Tahun 2014 yang ditetapkan pada tanggal 1 Januari 2014. Dalam Pasal 112C PP No.1 Tahun 2014 yang mempertegas bahwa hanya perusahaan yang telah melakukan kegiatan pemurnianlah yang dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu.
Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut, jelas bahwa bagi setiap pemegang KK, termasuk PT Freeport, harus melakukan pemurnian terlebih dahulu di dalam negeri baru dapat melakukan ekspor. Nyatanya, Pemerintah menerbitkan MOU pada tanggal 24 Januari 2015 yang memberikan izin kepada PT Freeport untuk terus melakukan ekspor. MOU ini jelas bertentangan dengan UU No.4 Tahun 2009 dan PP No.1 Tahun 2014. Secara hukum, MOU ini batal demi hukum.
Menanti Sikap Tegas Pemerintah
Kewibawaan negara semakin dipertaruhkan dalam persoalan rencana perpanjangan izin ekspor oleh Pemerintah kepada PT Freeport. Jelas, terdapat pelanggaran atas Pasal 170 UU No.4 Tahun 2009 dan PP No.1 Tahun 2014 oleh PT Freeport. Bahkan ‘kemurahan hati’ Pemerintah pun diberikan dengan memberikan waktu 6 (enam) bulan izin ekspor pasca larangan ekspor dalam Pasal 170 UU No.4 Tahun 2009 melalui MOU tanggal 24 Juli 2014, namun MOU itu pun tidak diindahkan. Padahal, pembuatan MOU merupakan suatu risiko bagi Pemerintah kerena MOU tersebut jelas-jelas melanggar prinsip lex superior derogat legi inferiori, bahwa peraturan yang lebih tinggi mengalahkan peraturan yang lebih rendah. Selain itu, MOU pun tidak dapat dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Pemerintah harus tegas terhadap persoalan ini. Pelanggaran berkali-kali atas peraturan perundang-undangan oleh PT Freeport merupakan bentuk pelecehan terhadap hukum. Pelecahan pula terhadap rakyat yang membentuk UU No.4 Tahun 2009 yang menginginkan keadilan atas pengusahaan mineral melalui kegiatan pengelolaan dan/atau pemurnian di Indonesia. Melalui kegiatan pengelolaan dan pemurnian di dalam negeri maka akan didapat manfaat antara lain peninkatan nilai tambah produk, penyediaan bahan baku industri, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan penerimaan negara. Bukan sebaliknya, mineral Indonesia dibawah mentah-mentah tanpa memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi bangsa Indonesia.
Ketegasan Pemerintah Indonesia untuk menjaga kewibawaan negara dan tujuan hukum berupa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum pertambangan, dapat dilakukan melalui: pertama, Pemerintah harus melarang ekspor mineral/konsentrat yang belum dimurnikan oleh PT Freeport. Jelas bahwa PT Freeport telah melanggar ketentuan Pasal 170 UU Minerba, Pasal 112C PP No.1 Tahun 2014, sehingga sebelum PT Freeport melakukan pemurnian di Indonesia tentunya dengan membangun smelter baik sendiri maupun bekerja sama, maka Pemerintah harus melarang ekspor konsetrat oleh PT Freeport. Kedua, Pemerintah tidak memperpanjang KK melalui Izin Usaha Pertambangan Khusus kepada Freeport. Sebagaimana telah diketahui bahwa pada tahun 2021 KK PT Freeport akan berakhir. Berakhirnya KK tersebut harus menjadi momentum penataan pengusahaan pertambangan Indonesia dengan mengevalusi pengusahaan mineral oleh PT Freeport dan memungkinkan perusahaan lain, utamanya perusahaan BUMN untuk mengelola bekas wilayah izin usaha Pertambangan PT Freeport.
Akhirnya, perlu itikad baik dari PT Freeport untuk menaati peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pemerintah telah memberikan jangka waktu 5 (lima) tahun, yakni dari 2009-2014 agar PT Freeport melakukan kewajiban pemurnian di dalam negeri melalui pembangunan smelter bahkan diperpanjang lagi dengan MOU. Namun, kemurahan hati Pemerintah tersebut tidak dihiraukan. Pengusahaan pertambangan di Indonesia ini seyogyanya dilakukan dengan saling menguntungkan, tidak hanya menguntungkan perusahaan tambang saja namun merugikan bangsa Indonesia. Pertambangan harus memberikan sebesar-besar kemakmuran untuk rakyat Indonesia.
*****