*AHMAD REDI,S.H.,M.H.
Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa "bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Prinsip yang terkandung dalam ketentuan UUD NRI 1945 ini mengandung makna kewajiban Pemerintah sebagai pelaksana kebijakan negara untuk melakukan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat.
Prinsip yang terkandung dalam UUD NRI 1945 tersebut, dalam pengusahaan potensi sumber daya alam harus dilaksanakan secara berkelanjutan dan pemanfaatannya seoptimal mungkin bagi kepentingan rakyat. Dengan demikian, Pemerintah memiliki peran utama dalam optimalisasi pengusahaan potensi sumber daya alam. Pengusahaan potensi sumber daya alam dalam implementasinya harus diterapkan dengan mempertimbangan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Hal ini penting mengingat pengusahaan sumber daya alam akan menjadi kekuatan ekonomi riil secara berkelanjutan, yang antara lain berupa penerimaan negara, pengembangan wilayah dan pengembangan sumber daya manusia, namun dengan tetap memperhatikan komitmen corporate social responsibility dan juga melakukan pengeloaan dan perlindungan terhadap lingkungan hidup.
Pemanfaatan secara berkelanjutan ini, diartikan pula sebagai prinsip pemanfataan potensi sumber daya alam yang bersifat tidak terbarukan melalui nilai tambah yang makmisal menjadi suatu kegiatan ekonomi/industri nontambang yang terus-menerus walaupun kegiatan tambang berakhir. Prinsip ini berkorelasi dengan amanat UUD NRI 1945 yang mengamanatkan agar pemanfaatan sumber daya alam sebagai kekayaan alam yang menjadi komoditas bagi bangsa untuk mensejahterakan rakyat melalui kebijakan pemenuhan kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation), peningkatan ekspor dan penerimaan devisa negara, serta perluasan kesempatan berusaha dan lapangan kerja dapat terwujud.
Prinsip di ataslah yang menjadi dasar filosofis dan sosiologis pembentukan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang menggantikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yang dalam prakteknya telah tidak mampu mengakomodir perkembangan kegiatan pertambangan yang terus bermetafora, misalnya pembagian kewenangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah dalam kaitannya dengan otonomi daerah; pengaturan mengenai wilayah pertambangan; reklamasi dan pascatambang; pembinaan dan pengawasan penyelengaraan pertambangan; penerimaan negara; penggunaan tanah untuk kepentingan pertambangan; divestasi saham atau modal pemegang izin usaha pertambangan; status kontrak karya, perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara dan kuasa pertambangan yang sudah diterbitkan, sehingga diperlukan pembaharuan hukum pertambangan dari rezim pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 ke Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.
Sebagai bentuk pembarahuan hukum pertambangan sebagaimana dimaksud di atas, maka Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 mengandung pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan dikuasai oleh negara dan pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah bersama dengan pelaku usaha.
Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dan batubara berdasarkan izin, yang sejalan dengan otonomi daerah, diberikan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan Pemerintah dan pemerintah daerah.
Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-besar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.
Usaha pertambangan harus dapat mempercepat pengembangan wilayah dan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kecil dan menengah serta mendorong tumbuhnya industri penunjang pertambangan.
Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat.
Kaitan prinsip dan materi muatan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dalam tataran praktisnya mempertimbangkan pula perkembangan nasional maupun internasional yaitu perkembangan pengusahaan pertambangan yang telah memasuki era globalisasi dan ditandai dengan adanya persaingan bebas atas dasar kemajuan teknologi, informasi pertambangan, daya tarik investasi serta isu lingkungan hidup, serta demokratisasi yang sudah menjadi tuntutan dunia usaha.
Terbitnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2004 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten, telah memberikan kewenangan kepada daerah dalam mengelola sumber daya mineral yang ada di daerahnya serta mengubah tatanan yang selama ini berlaku. Fungsi-fungsi pengelolaan sumber daya mineral yang selama ini dilaksanakan oleh Pemerintah, dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka sebagian besar dari fungsi-fungsi tersebut selanjutnya akan dilaksanakan oleh daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah berdampak penting bagi pergeseran paradigma pengaturan pertambangan mineral dan batubara. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 mengatur secara rinci terkait kewenangan-kewenangan yang dimiliki Pemerintah maupun pemerintah provinsi dan pemerintah kabupatan/kota, sehingga peningkatan peran pemerintah daerah diharapkan akan menjadi potensi bagi peningkatan pendapatan daerah guna mewujudkan kesejahtaraan umum.
Hal yang sangat penting pula terkait dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, yaitu pengusahaan pertambangan mineral dan batubara yang berhubungan dengan upaya investasi di sektor ini. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal mengatur bidang usaha atau jenis yang terbuka dan tertutup bagi kegiatan penananam modal yang ketentuan lanjutnya diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Dalam Peraturan Presiden tersebut bidang usaha pertambangan dapat dilakukan kegiatan invetasi dengan dipersyaratkan kepemilikan modalnya, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan lokasi tertentu, dan bidang usaha yang dipersyaratkan dengan perizinan khusus.
Peraturan perundang-undangan di atas menjadi dasar bagi pelaku usaha pertambangan untuk mendapatkan kepastian berinvestasi. Kepastian berinvestasi memerlukan komitmen bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan investor untuk dapat merealisasikan hubungan binis yang harmonis antara negara (Pemerintah) dan investor, sehingga keharmonisan tersebut dapat mewujudkan iklim investasi yang sehat. Pemerintah sebagai penyelenggara investasi sesuai dengan kapasitasnya adalah membuat regulasi yang mendukung terwujudnya hubungan yang sinergi atar Pemerintah, investor dan masyarakat. Investor sebagai pelaksana kegiatan eksplorasi berkewajiban mentaati aturan main yang menjadi dasar hukum terlaksananya kegiatan eksplorasi tersebut dalam implementasinya dengan mematuhi setiap ketentuan hukum yang berlaku umum dan atau perjanjian kontrak yang telah disepakati antara Pemerintah dengan investor, serta menjunjung tinggi nilai-nilai budaya yang hidup di dalam wilayah adat budaya setempat.
Setidaknya terdapat tiga syarat, agar hukum dapat berperan mendorong jalannya perekonomian bangsa, yaitu hukum harus dapat menciptakan predictability, stability, dan fairness, termasuk dalam peranan pengaturan pertambangan bagi mendorong perekonomian.
Syarat pertama, yaitu predictability, peraturan perundang-undangan harus bisa menciptakan kepastian. Peraturan perundang-undangan yang menyebabkan ketidakpastian hukum menandakan telah terjadinya kegagalan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut. Hukum harus memberikan kepastian mengenai norma yang harus dipatuhi atau dihindari bagi setiap orang/badan yang terkena akibat hukum dari suatu pengaturan. Dengan tidak adanya kepastian hukum, maka akan terhambatnya pertumbuhan perekonomian dan dalam hal sektor pertambangan, maka investasi akan terhambat. Investasi merupakan masalah yang mengutamakan dana langsung dan hal tersebut akan berhubungan dengan pihak yang mempercayakan dana tersebut untuk diinvestasikan. Kepercayaan sangat tergantung dari kepastian hukum suatu negara yang akan menjadi tempat invetasi modal tersebut. Bentuk kepercayaan dimaksud dipengaruhi oleh sejauh mana negara yang akan menjadi tempat investasi dapat memberikan pengaturan yang jelas, komprhensif, pantas, tidak kontradiksi, dan pembentukan aturan yang mencantumkan persyaratan yang dapat dipenuhi oleh investor. Selain itu, aspek penegakkan hukum terhadap tindak pidana korupsi menjadi dasar pertimbangan investor dalam menilai adanya kepastian hukum di suatu negara. Dengan adanya kepastian pengaturan dam kepastian penegakkan hukum tersebut, investor akan tertarik untuk menanamkan modalnya sehingga ketertarikan yang diimplementasikan dengan investasi akan berimplikasi pada pertumbuhan perekonomian bagi Indonesia.
Syarat kedua, peraturan perundang-undangan harus bisa menciptakan stability, yaitu peraturan perundang-undangan harus mampu mengakomodir kepentingan-kepentiangan yang saling terkait dalam masyarakat. Kepentingan dalam masyarakat harus seimbang dalam perwujudan yang diformalisasikan dalam peraturan perundang-undangan. Kepentingan masyarakat untuk mendapatkan kepastian hukum, penegakan hukum atas tindak pidana korupsi, iklim investasi yang sehat dengan didukung oleh sistem perburuan yang kondusif, kemudahan dalam proses perizinan, kondisi sosial politik yang baik dan stabil, merupakan bentuk kepentingan yang harus diakomodir guna menciptakan aspek stabilitas dalam mendorong perekonomian. Stability dapat pula dimaknai dengan adanya keseimbangan antara kepentingan investor dalam berusaha serta kepentingan Pemerintah dan masyarakat dalam memperoleh manfaat atas implikasi investasi.
Ketiga, syarat peraturan perundang-undangan sebagai saah satu sumber hukum yang dapat menciptakan fairness. Peraturan perundang-undangan dalam penerapannya diharapkan dapat mewujudkan keadilan. Keadilan dapat terwujud apabila pihak-pihak yang terkait diposisikan sesuai dengan kedudukannya masing-masing dan pihak tersebut dapat merasakan dampak yang positif dari pengaturan yang dikenai terhadapnya. Aspek keadilan ini pun dapat diperoleh oleh pihak yang merasa dirugikan atau dianggap telah menjadi korban keadilan dengan melakukan upaya pengujian suatu peraturan perundang-undangan ke Mahkamah Konstutusi untuk produk berupa undang-undang dan Mahkamah Agung untuk produk hukum di bawah undang-undang.
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 sebagian pihak investor mengganggap telah terjadi ketidakadilan dalam pengaturan yang mengatur mengenai ketentuan peralihan yaitu pada Pasal 172 yang pokoknya menentukan bahwa terhadap permohonan Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang telah diajukan paling lambat satu tahun sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 (dalam hal ini paling lambat 12 Januari 2008) dan telah mendapat persetujuan prinsip atau izin penyelidikan pendahuluan, yang diakui dan tetap diproses perijinannya tanpa melalui proses lelang berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Didasari pengaturan tersebut beberapa pengusaha baik secara perorangan ataupun badan hukum mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dengan registrasi Nomor 759.121/PAN.MK/IX/2009 tanggal 11 September 2009.
Didasari ketiga syarat tersebut hukum dapat mendorong pertumbuhan perekonomian, dalam hal ini sektor pertambangan yang dalam skema penerimaan negara, sektor ini merupakan salah-satu sektor yang diprioritaskan untuk dapat menjadi sektor yang mampu berkontribusi besar untuk membiayai pembangunan secara umum. Namun, sektor pertambangan yang menjadi sektor yang diharapkan mampu berkontribusi tersebut, dalam prakteknya terdapat beberapa persoalan yang secara umum merupakan bentuk ketidakmampuan penerapan ketiga syarat sebagaimana diuraikan sebelumnya.
Permasalahan yang cukup kompleks dalam kegiatan penanaman modal di bidang pertambangan mineral dan batubara yang dewasa ini cukup mengemuka diantaranya permasalahan divestasi saham atau modal. Salah-satu praktik pelaksanaan divestasi yang bermasalah, misalnya praktik pelaksanaan perjanjian kontrak karya antara Pemerintah Indonesia dengan PT Newmont NNT dalam eksplorasi tambah batuhijau di Nusa Tenggara Barat (NTB). Perjanjian kontrak karya yang sudah berjalan bertahun-tahun tersebut tiba-tiba menghadapai permasalahan yang disebabkan tidak terealisasinya kesepakatan mengenai klausula yang mengatur kewajiban divestasi setiap periode divestasi yang telah ditentukan dalam perjanjian kontrak karya antara Pemerintah Indonesia dengan PT. Newmont NNT. Imbas dari kejadian tersebut munculah sengketa antara keduanya, pemerintah menuding PT Newmont NNT wanprestasi, sementara Newmont Merasa tidak melakukan pelanggaran atas perjanjian mengenai divestasi.
Sengketa antara Pemerintah Indonesia dengan PT Newmont NNT akhirnya harus diselesaikan melalui penyelesaian sengketa arbitrese di Majelis Arbitrase International yang diselenggarakan di Singapura pada tahun 2009. Hasil putusan arbitrase internasional tersebut memenangkan Pemerintah Indonesia dengan mengabulkan tuntutan pemerintah yang menuntut agar PT Newmont NNT mendivestasikan sahamnya sesuai dengan periode divestasi yang belum terlaksana.
Putusan arbitrase yang memenangkan Pemerintah Indonesia terhadap PT Newmont NTT dalam pelaksanaannya tidak dapat direalisasikan secara cepat karena mengalami berbagai kendala, antara lain mengenai kesepakatan harga saham periode divestasi tahun 2008 yang belum disepakati antara pihak dan permasalahan pendanaan untuk membeli sahan yang akan didivestasikan. Permasalahan pendanaan tersebut dikarenakan Pemerintah Daerah NTB yang tidak cukup memiliki dana untuk membeli saham PT Newmont NNT sehingga untuk mengatasi persoalan tersebut dilakukanlah kerja sama antara pemerintah daerah dengan perusahaan BUMN dan/atau perusahaan swasta nasional. Perusahaan PT Aneka Tambang (ANTAM) berminat untuk melakukan kerja sama dengan Pemerintah Daerah NTB dalam divestasi saham. Namun, upaya kerja sama ini gagal karena persoalan mengenai persentase besaran sahamnya. Akhirnya Pemeritah Daerah NTB menyepakati untuk bekerjasama dengan perusahaan Bakrie.
Divestasi saham asing yang secara sederhana diartikan sebagai jumlah saham asing yang harus ditawarkan untuk dijual kepada peserta Indonesia. Ketentuan mengenai divestasi saham asing ini secara yuridis normatif telah diatur dalam Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang mengatur bahwa pemegang IUP dan IUPK yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham pada Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta nasional. Selanjutnya dalam ayat (2) menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai divestasi saham diatur dengan peraturan pemerintah.
Kewajiban sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 112 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dalam prakteknya belum dapat diberlakukan secara efektif karena menimbulkan penolakan dari berbagai perusahaan pertambangan. Hal ini didasari oleh kendala semisal harga komoditas yang melambung tinggi apabila dilakukan divestasi karena pengaruh isu divestasi yang direspon pasar bursa dan juga kendala kesulitan pinjaman bagi perusahaan tambang dari perbankan apabila komposisi saham yang relatif kecil. Saham yang didivestasikan cenderung nilainya lebih mahal empat kali lipat dari harga sesungguhnya. Hal ini terjadi karena penilaian harga saham sudah menyertakan proyeksi keuntungan (discount rate), biaya investasi, dan harga komoditas jangka panjang.
Dengan pola tersebut pemerintah seolah hanya mengganti biaya investasi (replacement cost) dan mengambil alih saham. Di satu sisi, Pemerintah atau pihak pembeli akan sulit membeli saham divestasi jika mengandalkan dana perbankan. Alasannya, pihak perbankan selaku pemberi pinjaman akan berpikir panjang dalam memberikan pinjaman untuk porsi saham yang relatif kecil.
Terlepas dari polemik yang muncul dan berkembang, terdapat beberapa keuntungan dan kerugian dalam hal divestasi saham badan usaha asing kepada Pemerintah, pemerintah daerah, BUMN/BUMD, dan swasta nasional. Sehingga menyikapi polemik tersebut harus diupayakan suatu formulasi hukum yang mampu mengatasi persoalan divestasi ini. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 belum mengatur secara jelas penyelesaian persoalan-persoalan yang timbul sebagai akibat dari kegiatan divestasi saham. Undang-Undang mengamanatkan agar permasalahan ini diatur lebih lanjut dalam peraturan Pemerintah. Untuk mengupayakan divestasi saham, Pemerintah dan/atau pemerintah daerah harus memiliki power kuat dan bargaining potition yang tinggi dalam setiap perjanjian kontrak kerjasama penambangan di wilayah Indonesia, terutama dalam hal kesiapan pendanaan.
Divestasi saham izin usaha pertambangan ke Pemerintah, pemerintah daerah, BUMN, atau dab/atau BUMD sebagai wujud kedaulatan dalam negeri dalam hal kegiatan usaha pertambangan sebagai upaya guna mewujudkan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya perlu diciptakan formulasi hukum agar divestasi ini dapat berjalan dan Pemerintah mampu mendorong supaya investor mentaati setiap peraturan yang ada, tanpa adanya affirmative hukum mustahil Indonesia akan mendapatkan keuntungan yang besar dalam kerjasama bisnis. Hal ini penting supaya masyarakat indonesia tidak merasa apatis terhadap investor asing yang masuk sehingga daya dukung sosial terhadap investasi/divetasi akan mengalami pertumbuhan dan kenyamanan investor lebih terjamin.
DAFTAR PUSATAKA
A. Buku
Atmadja, Arifin P Soeria, Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum (Teori, Kritik, dan Praktik). (Jakarta: Rajawali Press, 2009).
E. Utrecht., dan Moh. Saleh Djindang, Pengantar dalam Hukum Indonesia, cetakan kesebelas. (jakarta: penerbit P.T. Ichtiar Baru dan Penerbit Sinar Harapan, 1989) .
Gautama, Sudargo. Arbitrase Luar Negri dan Pemakaian Hukum Indonesia. (Bandung: Citra Aditya, 2004).
Kerlinger, N Fred Asas-asas Peneltiian Bahavioral, Edisi Indonesia. (Yogyakarta: Gadja Mada Press, 1996).
Kusumaatmadja, Mochtar. Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan. (Bandung : Alumni. 2002).
Rajagukguk, Erman. Indonesianisasi Saham. (Jakarta: Rineka Cipta, 1994).
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. (Bandung: Alumni, 1982).
_________, Hukum Masyarakat dan Pembangunan. (Bandung: Alumni, 1980).
Salim,HS, Hukum Pertambangan Indonesua. (Jakarta: Rajagrafindo Persada,2006).
Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Ke-Indonesiaan. (Jakarta:Penerbit CV Utomo, 2006).
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: Universtitas Indonesia Press, 1999).
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat). (Jakarta: Rajawali Press, 2003).
Soewartojo, Juanidi. Keuangan Negara. (Jakarta: STIA LAN Press, 1999).
Susantio, Sutantio,S.H. dan Iskandar Oerip. Hukum Acara Perdata dalam Teori Dan Praktek. (Bandung : Alumni, 2000).
Sulaiman, Anwar. Pengantar Keuangan Negara dan Daerah. (Jakarta: STIA LAN Press, 2000).
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. (Jakarta : Intermasa, 1979).
______. Aneka Perjanjian. Cetakan VII. Bandung : Alumni. 1985.
B.Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambagan Mineral dan Batubara. LN Tahun 2009 Nomor 4, TLN Nomor 4959.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. LN Tahun 2007 Nomor 67, TLN Nomor 4724.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Perseroan Terbatas. LN Tahun 2007 Nomor 7, TLN Nomor 4357.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. TL Tahun 1998 Nomor 182, TLN Nomor 3790.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. LN Tahun 2004 Nomor 7, TLN Nomor 4357.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelisjk Wetboek). Diterjemahkan oleh Subekti dan Tjiprosudibio. (Bandung: Pranadya Paramita, 1992.
C.Artikel dan Hasil Penelitian
Theberge, Leonard J. Law and Economic Development, Journal of International Law and Policy, Vol.9.
Rajagukguk, Erman. Pengertian Keuangan Negara dan Kerugian Negara. Makalah disampaikan pda diskusi public “Pengertian Keuangan Negara dan Kerugian Negara dalam Tindak Pidana Korupsi”, oleh Komisi Hukum Nasional (KHN), Jakarta 26 Juli 2006.
D.Kamus dan Ensiklopedia
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1988).
Kamus Hukum. Samongkir, JCT, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006).
Black Law Dictionary. United State of America: A Thomson Business.
Blog ini merupakan publikasi pemikiran saya terhadap berbagai persoalan mengenai hukum dan kaitannya dengan masalah ekonomi, sosial, politik, budaya, serta filsafat. Materi dalam blog ini mungkin tampak sederhana, namun dari kesederhanaan inilah saya berupaya untuk dapat menulis secara aktif, substantif, dan filosofis dengan mengdepankan keorisinalitasan karya. Saya meyakini bahwa banyak keserdahanaan yang melahirkan karya-karya agung yang fenomenal dan monumental.
ASSALAMU'ALAIKUM WR.WB.
SELAMAT DATANG DI BLOG PEMIKIRANREDI
"MENAWARKAN PERSPEKTIF KRITIS MELALUI PERPADUAN FILSAFAT, TEORI, DAN DOGMATIKA"
Kamis, 22 April 2010
Rabu, 31 Maret 2010
ASPEK HUKUM ELECTRONIC SIGNATURE
Aspek Hukum Electronic Signature dalam Regulasi Internasional
Perkembangan teknologi dan media-media baru yang dipergunakan dalam praktek perdagangan baik skala nasional, regional, maupun internasional membuat organisasi internasional memandang perlu pengakuan dan pengaturan mengenai hukum hukum teknologi informasi, khususnya mengenai transaksi elektornik dan eksistensi tanda tangan digital sebagai organ penting dalam pelaksanaan transaksi elektronik. Beberapa landasan yuridis internasional dan nasional dari pelaksanaan tanda tangan digital.
1. UNCITRAL Model law on Electronic Commerce (with Guide to Enactment 1996) dan UNCITRAL Model law on Electronic Signature (with Guide to Enactment 2001)
UNCITRAL sebagai salah satu organisasi internasional yang memiliki fokus dalam perkembangan teknologi informasi merupakan organisasi yang pertama kali membahas mengenai dampak penting teknologi infomrasi terhadap perniagaan elektronik. Hasil dari UNCITRAL berupa Model law, yang sifatnya tidak mengikat, namun menjadi acuan atau model bagi negara-negara untuk mengadopsinya atau memberlakukannya dalam hukum nasional. Pada tanggal 16 Desember 1996 PBB kemudian mengeluarkan UNCITRAL Model law on Electronic Commerce.
Model law merupakan model hukum yang ditujukan untuk menawarkan model hukum kepada negara-negara yang sudah atau belum mempunyai peraturan mengenai materi ini. Model law ini bersifat bebas bagi negara untuk mengikuti atau tidak. Diharapkan melalui model law ini negara-negara di dunia melalui menkontruksi hukum nasionalnya untuk mengadaptasi dengan transaksi elektronik yang terus berkembang.
UNCITRAL telah menjadi dasar dan kerangka untuk hukum e-commerce di banyak negara di dunia. Model law ini pertama kali dikeluarkan pada 1995 yang kemudian disetujui oleh Majelis Umum PBB dengan Resolusi 51/162 pada tanggal 16 Desember 1996. UNCITRAL model law merupakan landasan untuk mengatur otentikasi, perlengkapan, dan dampak pesan elektronik berbasis komputer dalam perdagangan. Pasal 5 kemudian diadopsikan oleh UNCITRAL sebagai amandemen di Juni 1998. Model law yang seluruhnya dapat diperoleh di web site UNCITRAL. Model law ini terdiri atas:
a. mendefinisikan kontrak elektronik dan memberikan pengaturan penerimaan dan kekuatan pembuktian dari bukti elektronik;
b. peraturan yang didasarkan pada prinsip non diskriminasi.
c. mengatur e-commerce secara spesifik untuk perundang-undangan nasional atau undang-undang lain yang dibuat oleh negara/negara bagian; dan
d. memberikan aturan yang pasti untuk transaksi berbasis elektronik.
Tanda tangan elektronik dalam model law ini secara diatur secara eksplisit dan diakui memiliki kekuatan hukum sama dengan tanda tangan tradisional. Teknologi tanda tangan elektronik ini dapat diperkenalkan sebagai teknologi yang cocok, tanpa harus mengubah undang-undang. Ketentuan-ketentuan Pasal 7 dalam model hukum berhubungan erat dengan praktik yang sedang berlangsung .
Article 7. Signature (1) Where the law requires a signature of a person, that requirement is met in relation to a data message if:
(a) a method is used to identify that person and to indicate that person's approval of the information contained in the data message; and
(b) that method is as reliable as was appropriate for the purpose for which the data message was generated or communicated, in the light of all the circumstances, including any relevant agreement.
Selain The UNCITRAL Model law on Electronic Commerce, ada juga The UNCITRAL Model law on Electronic Signature Signatures of 2001 (the 2001 Model law) diadopsi sebagai implementasi dari UNCITRAL Model law on Electronic Commerce. Model law 2001 ini disusun untuk membantu negara dalam mengharmonisasikan, memodernisasikan, dan menciptakan secara lebih efektif mengenai tanda tangan elektronik. The UNCITRAL Model Law on Electronic Signatures of 2001 (the "2001 Model Law") merupakan implementasi (adopsi) dari UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce. Pasal 7 UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce ditujukan agar terdapat pemenuhan dari fungsi tanda tangan di dunia elektronik yang dapat membantu negara dalam mengharmonisasikan, memodernisasikan, dan menciptakan kerangka legislatif yang adil, untuk dapat menangani secara lebih efektif masalah tanda tangan elektronik.
Eksistensi Model Law ini pada akhirnya dapat menjadi dasar hukum dalam pelaksanaan tanda tangan elektronik, sehingga adanya perlakukan antidiskriminasi terhadap dokumentasi tertulis dengan informasi elektronik. Diharpakan pedoman dari Model Law ini dapat mendorong adanya legislasi nasional di negara-negara dunia yang menyadari pentingnya regulasi mengenai tanda tangan elektronik.
Model Law 2001 memperhatikan prinsip bahwa tidak adanya diskriminasi terhadap berbagai teknik yang mungkin dapat dipakai untuk berkomunikasi atau di simpan informasinya secara elektronik (technology neutrality).
2. European Union (Uni Eropa)
Uni Eropa mengeluarkan banyak aturan terkait permasalahan perkembangan teknologi informasi, tidak hanya persolan kejahatan teknologi informasi, EU juga telah mengatur masalah perdagangan elektronik yang terdiri atas: The General EU Electronic Commerce Directive-4 Mei 2000, Electronic Signature Directive on November 30th 1999, dan Brussels Convention on Online Transactions, yang berlaku 1 Maret 2002.
Directive 1999/93/EC merupakan kerangka hukum bagi tanda tangan elektronik dan pelayanan sertifikasi elektronik di Uni Eropa. Secara berlahan hampir 25 (dua puluh lima) negara EU telah mengadopsi prinsip-prinsip umum Directive 1999/93/EC. Tujuan dari Directive 1999/93/EC adalah untuk memudahkan penggunaan tanda tangan elektronik di negara-negara Uni Eropa dan sebagai pengakuan hukum penggunaan tanda tangan elektronik. Directive mendefinisikan tanda tangan elektronik sebagai data dalam bentuk elektronik yang terpasang atau terkait dengan data logis dan data elektronik lainnya dengan menggunakan metode otentikasi.
3. General Usage for International Digitally Ensured Commerce (GUIDEC) dari ICC
GUIDEC merupakan panduan yang dibuat oleh International Chamber of Commerce (ICC) bagi penggunaan suatu metode yang akan menjamin (ensured) keberadaan suatu dokumen/data elektronik dalam penggunaannya dalam dunia internasional. Panduan ini menggunakan terminologi ensured untuk membedakannya dengan terminologi sign dalam hal panandatanganan (signature) terhadap suatu dokumen .
Pengaturan tentang electronic commerce menjadi salah-satu wujud kepastian hukum bagi penerapan tanda tangan elektronik. panduan ini berisi penjelasan mengenai terminologi yang ada dalam UNCIRTAL Model Law on e-commerce, salah satunya terminologi penandatangan data informasi elektronik. Penandatangan yang dimaksud dalam pedoman ini bukan penandatangan secara fisik (manual), namun penggunaan teknik enkripsi melalui kunci publik, yang selanjutnya cara ini disebut dengan penandatangan elektronik. melalui teknik kunci publik ini, maka faktor keamanan dan keutuhan informasi yang dikirimkan akan terjamin, apalagi risko penggunaan internet sangat rawan penyimpangan, sehingga melalui tanda tanga elektronik akan timbul jaminan keamanan dan kepastian.
4. Hukum Nasional Indonesia
Sistem hukum nasional Indonesia, sebelum diundangkannya UU ITE belum memiliki payung hukum dalam perihal pengaturan transaksi elektronik serta tanda tangan elektronik sebagai otentifikasi informasi yang melekat pada sebuah sertifikat elektronik. Terdapat kekosongan hukum sebelum UU ITE diundangkan, sehingga kemungkinan terjadi sengketa yang tidak dapat diselesaikan sangat besar. Menghadapi persoalan ini, hakim diharuskan untuk dapat melakukan penemuan hukum (rech finding) sebagai upaya pemecahan atas persoalan hukum yang belum diatur dalam hukum nasional. Yurisprudensi hakim menjadi hal penting bagi penyelesaian sengketa yang disebabkan oleh belum adanya regulasi mengenai transaksi elektronik.
Transaksi elektronik yang merupakan bentuk perpindahan informasi secara elektronik sebenarnya telah memiliki basis tradisional yang berbentuk nonelektronik. Bentuk perpindahan atau peralihan informasi yang sejenis transaksi elektronik misalnya dalam hal penyelenggaraan pengarsipan elektronik. Hukum positif Indonesia telah mengatur cara peralihan dokumen-dokumen konvensional perusahaan ke dalam media lainnya serta penyimpanannya pada Undang-undang Nomor 8 tahun 1997 tentang dokumen perusahaan.
Mengenai aspek pembuktian transaksi elektronik sebelum UU ITE ada, maka dalam hukum permbuktian perdata hanya dikenal beberapa alat bukti yang di dalamnya tidak diatur alat bukti elektronik, sebagaimana dalam Pasal Pasal 164 Herzien Inlands Reglements (HIR) dan Pasal 1903 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) terdapat 5 alat bukti, yaitu:
(a) bukti tulisan;
(b) bukti dengan saksi;
(c) persangkaan-persangkaan;
(d) pengakuan;
(e) sumpah
Secara kontekstual dengan jenis alat bukti di atas. Jelaslah menjadi hal yang penting bila dikaitkan dengan perkembangan teknologi informasi yang konvergensi sekarang ini. Bila tetap menggunakan ketentuan HIR dan KUH Perdata tersebut pasti dalam pembuktian di pengadilan hakim akan menolak alat bukti elektronik karena ketiadaan pengaturan mengenai hal tersebut. Dampaknya akan terjadi ketidakadilan dan ketidakpastian hukum serta vacum of law dalam perkara hukum transaksi elektronik yang secara faktual menjadi trend transaksi kontemporer.
Transaksi elektronik memiliki alat bukti tanda tangan elektronik yang melekat secara terintegrasi dalam sebuah akta elektronik. Akta ini merupakan alat bukti yang sebelum UU ITE ada tidak dapat dijadikan alat bukti. Sehingga peran UU ITE sangat signifikan dalam mengisi kekosongan hukum. Sebelum UU ITE ada, maka peranan suatu yurisprudensi tetap sangat dibutuhkan dalam mengisi recht vacuum , seperti yang dikemukakan oleh Van Apeldoorn:
“Bilamana sesuatu peraturan yang tercantum dalam keputusan hakim tetapi diturut, jadi, pada kenyataannya peraturan itu telah menjadi bagian dari keyakinan-hukum umum, yakni apabila tentang soal yang bersangkutan telah ditimbulkan suatu yurisprudensi tetap, maka peraturan itu telah menjadi hukum”.
UU ITE belum mengatur secara komprehensif mengenai transaksi elektronik khususnya mengenai otentifikasi melalui tanda tangan digital. Tanda tangan elektronik akan diatur lebih teknih dalam suatu peraturan pemerintah yang sekarang masih dalam sebuah rancangan, yakni Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tanda Tangan Elektronik (RPP TTDE), sehingga eksistensi PP ini kelak dapat menjadi dasar hukum bagi pelaksanaan tanda tangan elektronik.
Pasal 2 RPP TTDE membagi tanda tangan elektronik terdiri atas:
a. tanda tangan digital melalui penggunaan infrastruktur kunci publik;
b. biometrik;
c. kriptografi simetrik;
d. tanda tangan dalam bentuk asli yang diubah menjadi data elektronik melalui media elektronik.
RPP TTDE juga mengatur mengenai kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah bagi suatu tanda tangan elektronik. Tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah selama memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. data pembuatan tanda tangan elektronik terkait hanya kepada penandatangan saja;
b. data pembuatan tanda tangan elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa penandatangan;
c. segala perubahan terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
d. segala perubahan terhadap informasi elektronik yang terkait dengan tanda tangan elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
e. terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa penandatangan telah memberikan persetujuan terhadap informasi elektronik yang terkait.
Setiap orang yang terlibat dalam tanda tangan elektronik berkewajiban memberikan pengamanan atas tanda tangan elektronik yang digunakannya. Pengamanan tanda tangan elektronik sekurang-kurangnya meliputi:
a. sistem tidak dapat diakses oleh orang lain yang tidak berhak;
b. penandatangan harus waspada terhadap penggunaan tidak sah dari data pembuatan tanda tangan oleh orang lain; dan
c. penandatangan harus segera menggunakan cara yang dianjurkan oleh penyelenggara tanda tangan elektronik ataupun cara-cara lain yang layak dan sepatutnya memberitahukan kepada seseorang yang oleh penandatangan dianggap mempercayai tanda tangan elektronik atau kepada pihak pendukung layanan tanda tangan elektronik jika:
a) penandatangan mengetahui bahwa data pembuatan tanda tangan telah dibobol;
b) keadaan yang diketahui oleh penandatangan dapat menimbulkan resiko yang berarti, kemungkinan akibat bobolnya data pembuatan tanda tangan; atau
c) dalam hal sebuah sertifikat digunakan untuk mendukung tanda tangan elektronik, memastikan kebenaran dan keutuhan dari semua informasi yang disediakan penandatangan yang terkait dengan sertifikat selama berlakunya sertifikat tersebut atau yang akan dimasukkan dalam sertifikat.
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang mensyaratkan suatu tanda tangan atau memberikan sanksi terhadap ketiadaan tanda tangan, dinyatakan telah terpenuhi oleh tanda tangan elektronik, jika:
a. tanda tangan elektonik itu diberikan berdasarkan setrtifikat elektronik oleh penyelenggara sertifikasi elektronik;
b. tanda tangan elektonik itu telah dilekatkan oleh Penandatangan dengan maksud untuk menandatangani informasi tersebut, dan
c. penerima tidak mengetahui bahwa penendatangan itu:
1. telah melanggar kewajiban sebagai penandatangan elektronik.
2. tidak memiliki kunci privat secara sah.
Dokumen yang ditandatangani dengan tanda tangan elektronik sesuai Peraturan Pemerintah ini adalah sah dan mengikat sebagaimana dokumen tertulis lainya, jika dokumen tersebut dilekatkan tanda tangan digital. Tanda tangan elektronik harus dapat diverifikasi oleh kunci publik yang terdapat dalam sertifikat elektronik yang :
a. telah dikeluarkan oleh penyelanggara sertifikasi elektronik;
b. sah pada saat tanda tangan digital itu di buat.
Salinan dokumen yang dilekatkan oleh tanda tangan elektronik adalah sah dan memiliki akibat hukum yang sama dengan dokumen tertulis lainnya. Tanda tangan elektronik yang dibuat berdasarkan ketentuan RPP TTDE adalah sah dan mengikat sebagai suatu tanda tangan.
Dalam perkembangannya pembahasan RPP tentang TTDE mengalami perkembangan, terutama dalam hal materi muatan RPP yang akan dirumuskan secara sinergis dengan materi muatan UU ITE yang mengamanatkan materi muatan lainnya dalam peraturan pemerintah, seperti pengaturan mengenai sertifikasi keandalan dan lembaga sertifikasi keandalan, penyelanggaraan sertifikasi elektronik, penyelanggaraan sistem elektronik, dan nama domain.
RPP yang mengakomodasi Pasal 10 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal 13 ayat (6), Pasal 16 ayat (2), Pasal 17 ayat (3), Pasal 22 ayat (2), dan Pasal 24 ayat (4) UU ITE ini dirumuskan menjadi satu ke dalam RPP tentang Penyelanggaraan Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut RPP PITE).
Dalam ketentuan RPP PITE, perumusan hal tanda tangan elektonik diatur tersendiri dalam Bab III yang teridiri dari 7 Pasal. Di dalamnya mengatur mengenai kekuatan hukum dan akibat hukum yang timbul dari tanda tangan elektronik; jenis tanda tangan elektonik; data pembuatan tanda tangan elektonik; proses penandatanganan; identifikasi, autentifikasi, dan verifikasi tanda tangan elektronik, serta kewajiban penyelenggara atau pendukung layanan tanda tangan elektonik.
Hal baru dalam RPP sebagaimana diatur dalam Pasal 10, antara lain mengenai jenis tanda tangan elektronik yang dibagi menjadi tanda tangan elektronik yang tersertifikasi dan tanda tangan elektonik yang tidak tersertifikasi. Beda antara keduanya terdapat pada penggunaan jasa penyelanggara sertifikaasi elektronik dan pembuktian dengan sertifikat elektronik, yakni tanda tangan terserifikasi dibuat dengan menggunakan jasa penyelenggara sertifikasi elektronik dengan bukti sertifikat elektronik, sebaliknya tanda tangan yang tidak tersertifikasi, maka tanda tangan tersebut tidak dibuat oleh penyelanggara sertifikasi elektronik sehingga tidak memiliki sertifikat elektonik.
Selain ketentuan jenis tanda tangan, diatur pula mengenai funsgi dari tanda tangan elektronik. Sebagaimana dijelaskan pada pembahasan terdahulu, tanda tangan elektonik memiliki fungsi sebagai alat autentifikasi dan verifikasi atas identitas penanda tangan dan/atau jaminan keutuhan dan keaslian sebuah informasi elektronik. Dalam transaksi elektronik, tanda tangan elektronik berfungsi sebagai persetujuan penanda tangan atas informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang ditandatangani dengan tanda tangan elektonik dengan segala akibat hukum yang ditimbulkannya.
Berdasarkan Penjelasan RPP PITE, tanda tangan elektronik berfungsi sebagaimana tanda tangan manual dalam hal mempresentasikan identitas penanda tangan. Dalam hal pembuktian keaslian (autentikasi) tanda tangan manual dapat dilakukan melalui verifikasi atau pemeriksaan terhadap spesimen tanda tangan dari penanda tangan. Pada tanda tangan elektronik, data pembuatan tanda tangan elektronik yang terkait hanya kepada penanda tangan serta merupakan unsur penghasil tanda tangan elektronik berperan sebagai spesimen tanda tangan dari penanda tangan.
Tanda tangan elektronik harus dapat digunakan oleh para ahli yang berkompeten untuk melakukan pemeriksaan dan pembuktian bahwa Informasi Elektronik yang ditandatangani dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut tidak mengalami perubahan setelah ditandatangani
Dalam menjalankan fungsi tanda tangan elektronik dimaksud, maka tanda tangan elektronik harus dilengkapi dengan data pembuatan yang secara unik merujuk kepada penanda tangan dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi penanda tangan. Data yang dibuat oleh penyelenggara atau pendukung layanan harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. seluruh proses pembuatan data pembuatan tanda tangan elektronik dijamin kemanan dan kerahasiaannya oleh penyelenggara atau pendukung layanan tanda tangan elektonik;
b. jika menggunakan kode kriptografi, data pembuatan tanda tangan elektronik harus tidak dapat dengan mudah diketahui dari data verifikasi tanda tangan elektronik melalui penghitungan tertentu, dalam kurun waktu tertentu, dan dengan alat yang wajar;
c. data pembuatan tanda tangan elektronik tersimpan dalam suatu media elektronik yang berada dalam penguasaan Penanda Tangan;
d. data yang terkait dengan penanda tangan wajib tersimpan di tempat penyimpanan data atau sarana penyimpanan data yang menggunakan sistem terpercaya milik penyelenggara atau pendukung layanan tanda tangan elektronik yang dapat mendeteksi adanya perubahan serta memenuhi persyaratan:
a) hanya orang yang diberi wewenang yang dapat memasukkan data baru, mengubah, menukar, atau mengganti data yang ada;
b) informasi identitas Penanda Tangan dapat diperiksa keautentikannya;
c) perubahan teknis apa pun yang melanggar persyaratan keamanan dapat dideteksi atau diketahui oleh penyelenggara.
Data sebagaimana dijelaskan di atas, pada proses penandatanganannya harus melalui mekanisme yang digunakan untuk memastikan data pembuatan tanda tangan elektronik masih berlaku, tidak dibatalkan, atau tidak ditarik; tidak dilaporkan hilang; tidak dilaporkan berpindah tangan kepada orang yang tidak berhak; dan berada dalam kuasa penanda tangan. Mekanisme yang harus digunakan sebelum dilakukan penandatangan yang didahului dengan pesertujuan, yaitu mekanisme afirmasi dan/atau mekanisme lain yang memperlihatkan maksud dan tujuan penanda tangan yang terikat dalam suatu transaksi elektronik.
Aspek Hukum Electronic Signature di Sektor Perbankan
Sektor perbankan merupakan salah-satu bidang usaha jasa juga dalam pelaksanaan bisnisnya menerapkan dan memanfaatkan teknologi informasi. Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral telah mengimplementasikan sistem kliring elektronik Jakarta (SKEJ) yang memungkinkan bank-bank peserta kliring dapat melakukan kliring secara elektronik, selain itu ada juga sistem real time gross settlement (RTGS) untuk mendukung pembayaran bernilai tinggi (high value payment) yang harus dilakukan secara cepat.
Pengakuan data elektronik sebelum UU ITE juga diatur di dalam UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yakni dalam Penjelasan Pasal 16 yang menyatakan bahwa kliring adalah pertukaran warkat atau data kauangan elektronik antar bank baik atas nama bank maupun nasabah yang hasil perhitungannya diselesaikan pada waktu tertentu.
Selanjutnya dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 1/3/PBI/1999 tanggal 13 Agustus 1999 tentang Penyelenggaraan Kliring Lokal dan Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antar Bank Atas Hasil Kliring Lokal, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 8 yang menjadi dasar pengakuan atas data elektronik sebagai dasar pembukuan,yaitu data keuangan elektronik (DKE) merupakan data keuangan dalam bentuk elektronik yang digunakan sebagai dasar perhitungan dalam kliring lokal. Berdasarkan ketentuan di atas diketahui bahwa perhitungan kliring lokal dalam semi otomasi dan elektronik didasarkan pada DKE.
Peraturan lain adalah PBI Nomor 2/24/PBI/2000 tentang Hubungan Rekening Giro Antar Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern, selain Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 1/3/PBI/1999 di atas. Pasal 15 dan 19 PBI Nomor 2/24/PBI/2000 mengatur mengenai penarikan rekening giro rupiah dengan menggunakan sarana elektronik. Sarana elektronik dimaksud adalah suatu fasilitas yang ditetapkan oleh BI dnegan memanfaatkan teknologi komputer guna melakukan penarikan dana secara tunai dari satu rekening giro atau memindahkan dana dari satu rekening giro ke rekening giro lainnya.
Selanjutnya peraturan terbaru Bank Indonesia yang berkaitan dengan teknologi informasi selain kedua peraturan di atas, yaitu PBI Nomor 9/15/PBI/2007 tentang Penerapan Manajemen Risiko dalam Penggunaan Teknologi Informasi oleh Bank Umum. Bank Indonesia menganggap teknologi informasi sebagai aset yang berharga bagi bank sehingga pengelolaannya bukan hanya merupakan tanggung jawab unit kerja penyelenggara teknologi informasi namun juga seluruh pihak yang menggunakannya.
Peraturan BI ini mengatur beberapa domain turunan dari teknlogi informasi yang relevan dengan perbankan, beberapa pengaturan tersebut di antaranya menejemen risiko teknologi informasi, kebijakan dan prosedur penggunaan teknologi informasi di bank, sistem pengendalian dan audit intern atas penyelenggaraan teknologi informasi, electronic banking, sanksi terhadap pelanggaran pengaturan teknologi informasi di bank.
Berlakunya PBI Nomor 9/15/PBI/2007 mencabut beberapa aturan lainnya di bidang teknologi informasi perbankan, yaitu:
a. SK Dir BI No.27/164/KEP/DIR Tgl.31-3-1995 tentang Penggunaan Teknologi Informasi oleh Bank;
b. SEBI No.27/9/UPPB Tgl.31-3-1995 tentang Penggunaan Teknologi Informasi oleh Bank;
c. SK Dir BI No.31/175/KEP/DIR Tgl.22-12-1998 tentang Teknologi Sistem Bank dalam Menghadapi tahun 2000;
d. SEBI No.31/14/UPPB Tgl.22-12-1998 tentang Penyempurnaan Teknologi Sistem Informasi Bank dalam Menghadapi Tahun 2000;
e. PBI No.1/11/PBI/1999 Tgl.22-12-1999 tentang Fasilitas Khusu dalam Rangka Mengatasi Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek bagi Bank Umum yang disebabkan Masalah Komputer Tahun 2000; dan
f. SEBI No.6/18/DPNP Tgl.20-4-2004 tentang Penerapan Manajemen Risiko pada Aktivitas Pelayanan Jasa Bank melalui Internet (Internet Banking)
Penyelanggaraan Electronic Signature dalam Mewujudkan Secure Electronic Transaction (SET) di Sektor Perbankan
Secure electronic transacation (SET) di sektor perbankan memiliki berbagai macam jenis sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Electronic signature pun merupakan salah satu bentuk SET yang digunakan sebagai autentifikasi dan verifikasi suatu informasi elektronik. Tanda tangan elektronik tersebut harus diintegrasikan ke dalam sertifikat elektronik yang memuat tanda tangan dan identitas yang menunjukan status subjek hukum para pihak dalam transaksi elektronik yang dikeluarkan oleh penyelenggara sertifikasi elektronik. Penyelenggara sertifikasi elektronik merupakan suatu badan hukum yang berfungsi sebagai pihak yang layak dipercaya, yang memberikan dan mengaudit sertifikat elektronik.
SET yang umum digunakankan yakni dengan keberadaan public key atau privat key pada mesin web yang menggunakan skema keamanan tersebut. Komputer yang akan berkomunikasi menggunakan data terenkripsi harus memiliki dua buah kunci untuk mengenskripsi data. Pertama, public key tersedia bagi siapa saja yang ingin melakukan komunikasi terhadapnya. Sehingga siapapun yang ingin melakukan komunikasi terhadap sebuah mesin secara secure akan memiliki salinan dari public key mesin tersebut. Namun, public key tidak cukup untuk dapat mendekripsi data, masih dibutuhkan privat key yang bersifat rahasia. Misalnya pada pemrosesan kartu kredit dengan sebuah bank, nasabah hanya memiliki public key bank tersebut dimana ia dapat melakukan dekripsi informasi, namun masih diperlukan privat key yang disimpan oleh bank tersebut, untuk melakukan dekripsi data.
Meski masalah keamanan sudah ditangani dengan keberadaan public key atau privat key, masih ada masalah yang perlu diperhatikan lagi, yakni informasi atau data yang diperoleh merupakan data yang sesungguhnya yang dikeluarkan oleh pihak yang memiliki wewenang, bukan dari pihak yang berkepentingan dan menyalagunakan isi dari informasi tersebut. Sehingga dibutuhkan pihak ketiga untuk mengautentifikasi dan memverifikasi informasi yang datang. Informasi terenskripsi yang dikirim dan diterima akan memiliki tanda tangan elektronik, dan selanjutnya penyelenggara sertifikasi elektronik tersebut melakukan verifikasi. Lembaga ini akan mengeluarkan sertifikat yang memverifikasi informasi, lalu lembaga ini akan memberikan public key dan privat key. Lembaga sertifikasi elektronik ini misalnya lembaga Verisign, Thawte, dan CaCert.org.
Sertifikat elektronik diatur dalam Pasal 1 angka 9 UU ITE yang secara tegas dan jelas mendefinisikan tentang tanda tangan elektronik dan sertifikat elektronik yakni masing-masing didefinisikan sebagai berikut:
“Sertifikat elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat tanda tangan elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam transaksi elektronik yang dikeluarkan oleh penyelenggara sertifikasi elektronik”.
Selain menggunakan public key dan privat key, sertifikasi elektronik merupakan sarana otentikasi dari suatu dokumen elektronik yang menjamin keutuhan dokumen dimaksud selama proses transmisi sehingga dapat menjadi SET. Dalam pelaksanaan pembuatan sertifikasi elektronik, dapat digunakan sistem pengamanan informasi melalui enkripsi dengan menggunakan kriptografi simetris dan kriptografi asimetris.
Hubungan Antara Electronic Certificate, Certificate Authority, dan Electronic Siganature
Terkait dengan eksistensi tanda tangan elektronik dengan sertifikat elektronik. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa tanda tangan elektronik merupakan bagian yang melekat secara integrasi dalam sertifikat elekronik dan informasi elektronik yang dilekatkan dalam sertfikat tersebut tidak dapat dibantah keberadaannya (non repudiation), serta keaslian (autentik) tanda tangan yang dibubuhkan oleh pihak yang menanda tangan.
Sertifikat elektronik akan menampung tanda tangan elektronik, selain juga menunjukkan status hukum para pihak yang melakukan perbuatan hukum. Melalui sertifikat elektronik inilah jaminan keamanan terhadap suatu informasi elektronik dengan pembubuhan tanda tangan elektronik akan terjaga. Sehingga, hubungan antara sertifikat elektronik dan tanda tanga elektronik erat sekali karena terintegrasi dalam satu kesatuan organ. Sertifikat elektronik ini kemudian diproses dan dikeluarkan oleh suatu CA atau Certification/Certificate Authority.
CA merupakan sebuah badan hukum yang berfungsi sebagai pihak ketiga (trusted third party) yang layak dipercaya, yang memberikan dan mengaudit sertifikat elektronik serta menyediakan layanan keamanan yang dapat dipercaya oleh pengguna dalam menjalankan pertukaran informasi secara elektonis dan memenuhi 4 (empat) aspek keamanan (confidentiality; authentification; integrity; non repudiation).
CA merupakan pihak ketiga yang berbentuk badan hukum, dipercaya sebagai pihak yang memberikan dan mengaudit sertifikat elektronik. Selain itu CA juga mengesahkan pasangan kunci publik dan kunci privat milik orang tersebut. Proses sertifikasi untuk mendapatkan pengesahan dari CA dapat dibagi menjadi 3 (tiga) tahap:
1. pelanggan/subscriber membuat sendiri pasangan kunci privat dan kunci publiknya dengan menggunakan software yang ada di dalam komputernya.
2. menunjukan bukti-bukti identitas dirinya sesuai dengan yang disyaratkan CA.
3. membuktikan bahwa dia mempunyai kunci privat yang dapat dipasangkan dengan kunci publik tanpa harus memperlihatkan kunci privatnya.
Tahapan di atas merupakan tahapan yang harus dilalui dalam memperoleh pengesahan sertifikat elektronik. Tahapan tersebut nantinya akan berkaitan dengan level atau tingkatan yang mempengaruhi kewenangan yang diperoleh pelanggan (subscriber) berdasarkan sertifikat yang diperoleh. Semakin besar kewenangannya yang diperoleh dari suatu electronic certificate yang diterbitkan oleh CA, semakin tinggi pula level sertifikat yang diperoleh serta semakin ketat pula persyaratan yang ditetapkan oleh CA.
Kemutlakan persyaratan di atas merupakan proses yang harus dilalui oleh pemohon sertifikat elektronik untuk memperoleh pengesahan CA melalui pengujian-pengujian yang dilakukan oleh CA yang kemudian akan menerbitkan sertifikat pengesahan. Sebelum diumumkan secara luas, pemohon sertifikat (subscriber) memiliki hak untuk memeriksa kembali informasi yang melekat pada sertifikat tersebut, yang kemudian bila telah benar maka pemohon sertifikat dapat mengumumkan sertifikat tersebut dan dapat diwakilkan oleh CS atau badan lain yang berwenang. Sebagai bukti keautentifikasi dan integritasnya, maka sertifikat tersebut harus dibubuhkan tanda tangan elektronik pada sertifikat tersebut.
Informasi-informasi yang terdapat di dalam sertifikat tersebut diantaranya dapat berupa:
1. identitas CA yang menerbitkannya.
2. pemegang/pemilik/subscriber dari sertifikat tersebut.
3. batas waktu keberlakuan sertifikat tersebut.
4. kunci publik dari pemilik sertifikat .
Fungsi CA sebagaimana digolongkan di atas meliputi:
1. membentuk hierarki bagi penandatanganan elektronik.
2. mengumumkan peraturan-peraturan mengenai penerbitan sertifikat.
3. menerima dan memeriksa pendaftaran yang diajukan.
Pihak-pihak yang terlibat dalam electronic commerce selain dilihat dari statusnya, juga dilihat dari kedudukannya dalam perikatan, yaitu sebagai berikut :
1. penjual (merchant)
2. pembeli (buyer)
3. certification authority (CA)
selanjutnya, ada juga para pihak yang andilnya tidak kalah penting, yaitu:
4. account issuer (penerbit rekening contoh: kartu kredit)
5. jaringan pembayaran (contohnya Visa dan Mastercard dalam scheme SET)
6. internet service provider (ISP)
7. internet backbones
Peran Lembaga Sertifikasi Elektronik (Certification Authority) dalam Menciptakan Security Electronic Transaction di Sektor Perbankan
Secara teknis Certification Authority (CA) akan menyediakan infrastruktur kunci publik (public key infrastucture/PKI) yang memiliki pedoman pengoperasian sertifikat atau dikenal dengan istilah certification practice statement (CPS), namun dalam pelaksanaannya CPS CA yang satu dengan CA lain dapat berbeda-beda.
Menurut Baker dan Kuner, ada beberapa cara jenis standar pengakuan terhadap tanda tangan elektronik yang diakui negara, termasuk juga di sektor perbakan, yaitu mengenakan standar minimalistik (longgar), mengenakan standar ketat,atau penerapan beberapa standar.
• Standar Minimalistik (longgar)
Pelaksanaan tanda tangan elektronik memiliki kemungkinan terjadi kekurang-otentik-an yang dilatarbelakangi oleh buruknya pengoperasian CA. Sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UU ITE yang menyatakan bahwa penyelanggara sertifikasi elektronik (CA) harus menyediakan informasi mengenai motode yang digunakan untuk mengidentifikasi penanda tangan, hal yang dapat digunakan untuk mengetahui data diri pembuat tanda tangan elektroni, dan hal yang dapat digunakan untuk menunjukkan keberlakuan dan keamanan tanda tangan elektronik. Uraian ini menunjukkan adanya sifat diversiti metode, pengidentifikasi tanda tangan, dan keberlakuan serta keamanan. Sehingga kemungkinan, perbedaan pedoman CA yang satu dengan CA yang lain sangat mungkin terjadi.
Keamanan tanda tangan elektronik yang menggunakan sistem kriftografi kunci publik memang lebih terjaga dibandingkan dengan penggunaan sistem operasi kriftografi kunci simetris. Namun, jika dibandingkan dengan sistem tanda tangan konvensional maka tanda tangan elektronik lebih dipertimbangkan keamananan terlepas dari adanya potensi pemalsuan terhadap tanda tangan elektronik, karena nantinya pemalsuan tersebut sudah masuk ke dalam domain tindak pidana komputer. Namun, pengadilan, misalnya, dengan berlakunya rezim UU ITE tidak tidak boleh menolak pembuktian melalui tanda tangan elektronik.
Beberapa negara common law (misalnya Kanada, Australia, dan Amerika Serikat) mengakui tanda tangan elektronik di pengadilan, terlepas apakah telah memenuhi standar baku atau belum. Negara-negara tersebut menerapkan sistem kebelakuan minimalistik, yakni tidak secara ketat hanya menerima pembuktian tanda tangan elektronik yang memenuhi standar baku.
• Standar Ketat
Hanya tanda tangan elektronik yang sudah terjamin keamanannya yang dapat diterima di pengadilan pada negara-negara yang menerapkan standar ketat terhadap pemberlakuan tanda tangan elektronik. Tanda tangan yang terjamin keamanan dimaksud, yakni tanda tangan yang sulit dipaluskan dan terjamin keotentifikasiannya. Auditor yang dapat dipercaya akan melakukan audit terhadap CA dalam standar operasi pembuatan tanda tangan elektronik. Melalui audit ini kotentifikasi dan keamanan tanda tangan elektronik akan terjamin. Negara akan memberikan kepastian kelayakan dan keamanan melalui lisensi atau designated CA/recognized CA terhadap suatu CA yang setelah diaudit terbukti dapat menerapkan tanda tangan elektronik sesuai standar yang ditentukan. Melalui lisensi ini tanda tangan yang dikeluarkan CA dapat bersifat presumption of authenticity.
• Penerapan Beberapa Standar atau Dua Standar
Selain penerapan pemberlakuan minimalis dan standar ketat. Dikenal pula penerapan pemberlakuan beberapa standar atau dua standar oleh negara. Penerapan ini dilakukan melalui pengakuan keberadaan tanda tangan elektronik yang dibuat oleh CA berlinsensi dan juga terhadap CA yang tidak berlisensi. Namun, CA yang berlisensi akan memiliki keuntungan dibanding yang tidak berlisensi. Keuntungan tersebut antara lain:
1. prinsip pembuktian terbalik atas tanda tangan elektronik di pengadilan. Tanda tangan elektronik berlisensi akan diakui langsung oleh pengadilan selama tidak ada yang membuktikan terbalik keotentikannya;
2. adanya reliance limit jia CA harus memberikan ganti rugi terhadap subscribernya ketika ada masalah; dan
3. adanya pemberian jaminan kepada pihak ketiga dari negara dan sebagainya.
Sebaliknya, tanda tangan elektronik melalui CA yang tidak berlisensi harus melalui pembuktian di persidangan terhadap PKI (termasuk CPS). Negara yang menetapkan standar ganda ini diantaranya Singapura dan Hongkong.
Secara teori dikenal dua penetapan standar pengakuan CA, yakni standar pengakuan yang ditetapkan oleh masyarakat (customary law) dan standar pengakuan yang ditetapkan oleh Pemerintah melalui pemberian lisensi (izin) terhadap CA.
Di Indonesia, kemungkinan penetapan standar pengakuan akan dilakukan oleh Pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 18 draf RPP tentang Sertifikasi Elektonik yang menyatakan bahwa Menteri menetapkan Badan Pengawas Penyelenggara Sertifikasi Elektronik yang bertugas mengawasi, mengendalikan dan mengeluarkan atau menghentikan izin operasi penyelenggara sertifikasi elektronik. Badan pengawas inilah yang akan memberikan lisensi/izin kepada CA setelah CA tersebut memenuhi kualifikasi dan syarat. CA dalam melaksanakan penyelenggaraan sertifikasi selain berhubungan dengan badan pengawas, juga akan diaudit oleh akuntan publik.
Sebagai pemberi lisensi/izin, badan pengawas juga mempunyai wewenang untu mencabut lisensi/izin CA, apabila Badan Pengawas Penyelenggara Sertifikasi Elektronik dapat menarik kembali atau menghentikan izin operasi penyelenggara sertifikasi elektronik apabila:
a. penyelenggara sertifikasi elektronik tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban berdasarkan Peraturan Pemerintah tentang Sertifikasi Elektronik;
b. penyelenggara sertifikasi elektronik atau para pemegangsahamnya dinyatakan pailit;
c. penyelenggara sertifikasi elektronik menyalahgunakan izin yang diberikan;
d. penyelenggara sertifikasi elektronik tidak dapat melaksanakan kegiatan usahanya sebagaimana tercantum dalam izin yang telah diberikan;
e. penyelenggara sertifikasi elektronik melanggar profesionalitasnya dalam melakukan kegiatan usahanya;
f. penyelenggara sertifikasi elektronik melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Melalui pembahasan di atas, terlihat bahwa skim pemberian lisensi dan proses audit diatur sedemikian ketat oleh negara sebagai pemberi izin/lisensi CA dalam penyelenggaraan sertifikasi elektronik.
CA sebagai trusted third party (TTP) di sektor perbankan memiliki peran yang sama dengan CA di luar sektor perbankan. Bank sebagai subcriber sama kedudukan hukumnya dengan perorangan atau korporasi yang melakukan perbuatn hukum dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, atau media lainnya secara elektronik.
Sistem keamanan CA (TTP) di sektor perbankan hingga saat ini masih banyak menggunakan sistem kriptografi simetrik, pengaman transaksi melalui EDI. CA yang di dalamnya terdapat tanda tangan elektronik yang menggunakan sistem kunci publik (PKI) hingga kini masih menjadi sistem terbaik dibanding sistem kunci simetrik.
Penerapan Manejemen Resiko dalam Penggunaan Teknologi Informaasi oleh Bank
Perkembangan teknologi dan informasi mengharuskan bank untuk dapat meningkatkan kegiatan operasional bank berbasis teknologi informasu sebagai pemenuhan kebutuhan nasabah yang telah secara luas memiliki pemahaman dan kebutuhan akan teknologi informasi di sektor perbankan.
Di sisi lain, perkembangan teknologi informasi yang pesat ini pun menimbulkan efek samping terhadap operasionalisasi bank, yakni resiko munculnya dampak negatif dari penggunaan teknologi informasi di sektor perbankan. Aset teknologi infomrasi ini merupakan potensi bagi bank untuk dapat meningkatkan pelayanan prima terhadap nasabah, namun manajemen resiko yang baik harus diterapkan agar potensi tersebut tidak menjadi potensi kerusakan bagi bank dikarenakan kekurang-maksimal-an dalam memanajemen resiko bank.
Sebagaimana implementasi Basel II yang memberikan kerangka terhadap kerangka perhitungan modal bank yang lebih sensitif terhadap resiko dan
memberikan insentif terhadap penerapan peningkatan kualitas manajemen resiko di bank, termasuk resiko operasional teknologi informasi.
Untuk menghindari dampak negatif teknologi informasi dimaksud, bank wajib menerapkan secara efektif penggunaan teknologi informasi sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/15/PBI/2007. Ruang lingkup penerapan manajemen paling sedikit mencakup:
a. atas penggunaan teknologi informasi.
b. kecukupan kebijakan dan prosedur penggunaan teknologi informasi;
c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko penggunaan teknologi infomrasi; dan
Komisaris dan direksi memiliki peran sangat penting dalam menjaga resiko yang mungkin timbul. Wewenang dan tanggung jawab jabatan tersebut didasari oleh peran masing-masing jenjang jabatan, yakni komisaris sebagai pengarah, pengawasan dan pengevaluasi rencana strategi teknologi informasi dan kebijakan bank dalam penggunaan teknologi informasi. Sedangkan Direksi sebagai eksekutor kebijakan-kebijakan bertanggung jawab terhadap penetapan rencana strategis teknologi infomrasi dan kebijakan bank terkait penggunaan teknologi informasi.
Melalui tugas dan tanggung jawab di atas, maka kepastian akan penggunaan teknologi informasi yang digunakan bank dapat mendukung perkembangan usaha, pencapaian tujuan bisnis bank dan kelangsungan pelayanan kepada nasabah; mengupayakan peningkatan kompetensi sumber daya manusia yang terkait dengan penggunaan teknologi informasi; penerapan proses manajemen risiko dalam penggunaan teknologi informasi yang dilaksanakan secara memadai dan efektif; serta tersedianya kebijakan dan prosedur teknologi informasi yang memadai dan dikomunikasikan serta diterapkan secara efektif baik pada satuan kerja penyelenggara maupun pengguna teknologi informasi.
Pelaksanaan hal tersbut di atas, selanjutnya akan diukur melalui sistem pengukuran kinerja proses penyelenggaraan teknologi informasi yang paling kurang dapat mendukung proses pemantauan terhadap implementasi strategi; mendukung penyelesaian proyek; mengoptimalkan pandayagunaan sumber daya manusia dan investasi pada infrastruktur; dan meningkatkan kinerja proses penyelanggaraan teknologi informasi dan kualitas layanan penyampaian hasil proses kepada pengguna.
Selain organ pengendali risiko melalui komisaris dan direksi, bank wajib memiliki komite teknologi informasi (information technology steering commite) yang bertanggung jawab memberikan rekomendasi kepada direksi yang paling kurang terkait dengan:
a. rencana strategi teknologi informasi (information technology strategic plan) yang searah dengan rencana strategis usaha bank;
b. kesesuaian proyek-proyek teknologi informasi yang disetujui dengan rencana teknologi informasi;
c. kesesuaian antara pelaksanaan proyek=proyek teknologi informasi dengan rencana proyek yang disepakati;
d. kesesuaian teknologi informasi dengan kebutuhan sistem informasi manajemen dan kebutuhan kegiatan usaha bank;
e. efektifitas langkah-langkah meminimalkan risiko atas investasi bank pada sektor teknologi informasi agar investasi tersebut memberikan kontribusi terhadap tercapainya tujuan bisnis bank;
f. pemantauan atas kinerja teknologi informasi dan upaya peningkatannya;
g. upaya penyelesaian berbagai masalah terkait teknologi informasi, yang tidak dapat diselesaikan oleh satua kerja pengguna dan penyelenggara, secara efektif, efisien dan tepat waktu.
Selain kewajiban menyusun rencana strategi teknologi informasi, bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur pengaturan teknologi informasi yang meliputi aspek:
a. manajemen;
b. pengembangan dan pengadaan;
c. operasional teknologi informasi;
d. jaringan komunikasi;
e. pengamanan informasi;
f. business continuity plan;
g. end user computing;
h. eletronoic bangking;dan
i. penggunaan pihak penyedia jasa teknologi informasi.
Tidak hanya kewajiban pihak bank dalam upaya penerapan teknologi informasi dan upaya manajemen risiko terhadap kemungkinan terjadinya kesalahan penerapan. Pihak penyedia jasa teknologi informasi sebagai mitra bank dalam penerapan teknologi informasi (jika bank tidak membuat sistem teknologi sendiri) pun memiliki kewajiban dalam penyelanggaraan teknologi informasi di bank.
Kewajiban-kewajiban tersebut, yaitu:
a. pihak penyedia jasa harus menerapkan prinsip pengendalian teknologi informasi (IT control) secara memadai yang dibuktikan dengan hasil yang dilakukan pihak independen;
b. pihak penyedia jasa harus menyediakan akses bagi auditor intern bank, auditor ekstern yang ditunjuk bank, dan auditor Bank Indonesia untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan secara tepat waktu setiap kali dibutuhkan;
c. pihak penyedia jasa harus menyatakan tidak berkeberatan bila Bank Indonesia hendak melakukan pemeriksaan terhadap kegiatan penyediaan jasa tersebut;
d. sebagai pihak terafiliasi, pihak penyedia jasa harus menjamin keamanan seluruh informasi termasuk rahasia bank dan data pribadi nasabah;
e. pihak penyedia jasa hanya dapat melakukan subkontrak sebagain kegiatannya berdasarkan persetujuan bank yang dibuktikan dengan dokumen tertulis;
f. pihak penyedia jasa harus melaporkan kepada bank setiap kejadian kritis yang dapat mengakibatkan kerugian keuangan yang signifikan dan/atau mengganggu kelancaran operasional bank;
g. pihak penyedia jasa harus menyampaikan secara berkala hasil audit teknologi informasi yang dilakukan auditor independen terhadap penyelanggaraan pusat data (data center), disaster recovery center dan/atau pemrosesan transaksi berbasis teknologi, kepada Bank Indonesia melalui bank yang bersangkutan;
h. pihak penyedia jasa harus menyediakan disaster recovery plan yang teruji dan memadai; dan
i. pihak penyedia harus bersedia untuk kemungkinan penghentian perjanjian sebelum berakhirnya jangka waktu perjanjian (early termination).
Teknologi informasi di bank yang paling bersentuhan dengan nasabah sebagai pengguna jasa bank, termasuk jasa bank berbasis teknologi informasi, yaitu pelayanan berbasi electronic banking. Setiap bank yang akan menerbitkan produk electronic banking harus memuat rencana bisnis bank dan dilaporkan ke Bank Indonesia. Laporan tersebut dilakukan sepanjang tidak terdapat ketentuan Bank Indonesia yang secara khusus mengatur persyaratan persetujuan produk tersebut.
Laporan rencana penerbitan bank harus memuat bukti-bukti kesiapan yang berisikan hal-hal sebagai berikut:
a. struktur organisasi yang mendukung termasuk pengawasan dari pihak manajemen;
b. kebijakan,sistem, prosedur dan kewenangan dalam penerbitan produk electronic banking;
c. kesiapan infrastruktur teknologi informasi untuk mendukung produk electronic banking;
d. hasil analisis dan identifikasi risiko yang melekat pada produk electronic banking;
e. kesiapan penerapan manajemen risoko khususnya pengedalian pengamanan (security control) untuk memastikan terpenuhinya prinsip kerahasiaan (confidentiality), integritas (integrity), keaslian (authentification), non repudiation dan ketersediaan (availibiality);
f. hasil analisis aspek hukum;
g. uraian sistem informasi akuntansi; dan
h. program perlindungan dan edukasi nasabah.
Semua jenis upaya di atas merupakan mekanisme penerapan risiko penggunaan teknologi informasi oleh Bank agar terhindar dari penyalagunaan (kejahatan siber) oleh pelaku kejahatan, sehingga bank akan mengalami kerugian bila tidak memperhatikan pengamanan penggunaan teknologi informasi melalui manajemen risiko. Upaya preventif tersebut akan berdampak pada adanya security electronic transaction (SET) di sektor perbankan Indonesia.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian dan analisis sebagaimana yang diuraikan dalam bab-bab terdahulu dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut.
1. Di Indonesia, sebelum diundangkannya UU ITE, belum terdapat payung hukum dalam hal pengaturan transaksi elektronik serta tanda tangan elektronik sebagai otentifikasi informasi yang melekat pada sebuah sertifikat elektronik. Sehingga, kemungkinan akan terjadinya sengketa hukum sangatlah besar tanpa adanya landasan hukum yang digunakan dalam proses penyelesaiannya, yang pada akhirnya memaksa hakim untuk melakukan penemuan hukum agar perkara tersebut dapat diselesaikan.
2. Dalam UU ITE, tanda tangan elektronik diatur dalam Pasal 11 dan 12. Ruang lingkup pelaksanaan tanda tangan elektronik adalah setiap verifikasi dan autentifikasi terhadap informasi elektronik yang diselenggarakan oleh pelaku teknologi informasi.
3. UU ITE belum mengatur secara komprehensif mengenai transaksi elektronik khususnya mengenai otentifikasi melalui tanda tangan elektronik. UU ITE hanya mengatur mengenai pengertian umum, persyaratan tanda tangan elektronik yang memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum, kewajiban pengamanan bagi pengguna tanda tangan elektronik, dan penggunaan sertifikat elektronik dalam tanda tangan elektronik.
Tanda tangan elektronik akan diatur lebih teknis dalam suatu peraturan pemerintah yang sekarang masih dalam sebuah rancangan, yakni Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tanda Tangan Elektronik (RPP TTDE), sehingga eksistensi PP ini dapat menjadi dasar hukum bagi pelaksanaan tanda tangan elektronik secara lebih teknis dan komprehensif.
4. Selanjutnya peranan tanda tangan elektronik sebagai sarana mewujudkan secure electronic transacation (SET) di sektor perbankan memiliki peranan penting. Electronic signature merupakan salah satu bentuk SET yang digunakan sebagai autentifikasi dan verifikasi suatu informasi elektronik. Agar tercipta SET, maka tanda tangan elektronik tersebut harus diintegrasikan ke dalam sertifikat elektronik yang memuat tanda tangan dan identitas yang menunjukan status subjek hukum para pihak dalam transaksi elektronik yang dikeluarkan oleh penyelenggara sertifikasi elektronik. Penyelenggara sertifikasi elektronik merupakan suatu badan hukum yang berfungsi sebagai pihak yang layak dipercaya, yang memberikan dan mengaudit sertifikat elektronik.
5. SET yang umum digunakankan yakni dengan keberadaan public key atau privat key pada mesin web yang menggunakan skema keamanan tersebut. Komputer yang akan berkomunikasi menggunakan data terenkripsi harus memiliki kunci untuk mengenskripsi data. Meski masalah keamanan sudah ditangani dengan keberadaan public key atau privat key, masih ada masalah yang perlu diperhatikan lagi, yakni informasi atau data yang diperoleh merupakan data yang sesungguhnya yang dikeluarkan oleh pihak yang memiliki wewenang, bukan dari pihak yang berkepentingan dan menyalagunakan isi dari informasi tersebut. Sehingga dibutuhkan pihak ketiga untuk mengautentifikasi dan memverifikasi informasi yang datang. Informasi terenskripsi yang dikirim dan diterima akan memiliki tanda tangan elektronik, dan selanjutnya penyelenggara sertifikasi elektronik tersebut melakukan verifikasi. Lembaga ini akan mengeluarkan sertifikat yang memverifikasi informasi, lalu lembaga ini akan memberikan public key dan privat key. Lembaga sertifikasi elektronik ini misalnya lembaga Verisign, Thawte, dan CaCert.org.
6. Sertifikat elektronik diatur dalam Pasal 1 angka 9 UU ITE yang secara tegas dan jelas mendefinisikan tentang tanda tangan elektronik dan sertifikat elektronik.
7. Sertifikat elektronik akan menampung tanda tangan elektronik, selain juga menunjukkan status hukum para pihak yang melakukan perbuatan hukum. Melalui sertifikat elektronik inilah jaminan keamanan terhadap suatu informasi elektronik dengan pembubuhan tanda tangan elektronik akan terjaga. Sehingga, hubungan antara sertifikat elektronik dan tanda tanga elektronik erat sekali karena terintegrasi dalam satu kesatuan organ. Sertifikat elektronik ini kemudian diproses dan dikeluarkan oleh suatu certification/certificate authority (CA).
8. CA merupakan sebuah badan hukum yang berfungsi sebagai pihak ketiga (trusted third party) yang layak dipercaya, yang memberikan dan mengaudit sertifikat elektronik serta menyediakan layanan keamanan yang dapat dipercaya oleh pengguna dalam menjalankan pertukaran informasi secara elektonik dan memenuhi 4 (empat) aspek keamanan, yaitu aspek confidentiality, authentification, integrity, dan non repudiation.
9. CA sebagai trusted third party (TTP) di sektor perbankan memiliki peran yang sama dengan CA di luar sektor perbankan. Bank sebagai subcriber sama kedudukan hukumnya dengan perorangan atau korporasi yang melakukan perbuatan hukum dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, atau media lainnya secara elektronik.
10. Sistem keamanan CA (TTP) di sektor perbankan hingga saat ini masih banyak menggunakan sistem kriptografi simetrik, pengaman transaksi melalui EDI. CA yang di dalamnya terdapat tanda tangan elektronik yang menggunakan sistem kunci publik (PKI) hingga kini masih menjadi sistem terbaik dibanding sistem kunci simetrik.
11. Semua jenis upaya di atas merupakan mekanisme penerapan manajemen risiko penggunaan teknologi informasi oleh Bank agar terhindar dari penyalagunaan (kejahatan siber) oleh pelaku kejahatan, sehingga bank akan mengalami kerugian bila tidak memperhatikan pengamanan penggunaan teknologi informasi melalui manajemen risiko. Upaya preventif tersebut akan berdampak pada adanya penerapan security electronic transaction (SET) di sektor perbankan Indonesia.
12. Dalam upaya menanggulangi resiko yang akan timbul dari penggunaan transaksi elektronik, maka Bank Indonesia sebagai bank sentral mengeluarkan peraturan terkait penggunaan teknologi informasi secara umum sebagai bentuk manajemen resiko dalam kegiatan perbankan. Peraturan terkait yakni PBI Nomor 9/15/PBI/2007 mencabut beberapa aturan lainnya di bidang teknologi informasi perbankan, yaitu: SK Dir BI No.27/164/KEP/DIR Tgl.31-3-1995 tentang Penggunaan Teknologi Informasi oleh Bank; SEBI No.27/9/UPPB Tgl.31-3-1995 tentang Penggunaan Teknologi Informasi oleh Bank; SK Dir BI No.31/175/KEP/DIR Tgl.22-12-1998 tentang Teknologi Sistem Bank dalam Menghadapi tahun 2000; SEBI No.31/14/UPPB Tgl.22-12-1998 tentang Penyempurnaan Teknologi Sistem Informasi Bank dalam Menghadapi Tahun 2000; PBI No.1/11/PBI/1999 Tgl.22-12-1999 tentang Fasilitas Khusu dalam Rangka Mengatasi Kesulitan Pendanaan Jangka Pendek bagi Bank Umum yang disebabkan Masalah Komputer Tahun 2000; dan SEBI No.6/18/DPNP Tgl.20-4-2004 tentang Penerapan Manajemen Risiko pada Aktivitas Pelayanan Jasa Bank melalui Internet (Internet Banking.
13. Peraturan BI ini mengatur beberapa domain turunan dari teknlogi informasi yang relevan dengan perbankan, beberapa pengaturan tersebut di antaranya menejemen risiko teknologi informasi, kebijakan dan prosedur penggunaan teknologi informasi di bank, sistem pengendalian dan audit interen atas penyelenggaraan teknologi informasi, electronic banking, sanksi terhadap pelanggaran pengaturan teknologi informasi di bank.
14. Dari poin-poin tersebut di atas, daya guna penerapan teknologi informasi dalam aspek transaksi elektonik di dunia perbankan yang digunakan melalui tanda tangan elektonik sebagai wujud SET, tentunya akan memiliki hambatan. Hambatan yang utama, diantaranya, hambatan Substansi UU ITE; hambatan hukum di luar UU ITE, yang meliputi: belum adanya peraturan pelaksanaan di bidang tanda tangan elektronik sebagai aturan organis UU ITE dan pertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lain; hambatan teknologi; hambatan sosio-kultural (sosial budaya); serta hambatan stabilitas finansial dan keamanan.
Saran
Berdasarkan penelitian di atas, beberapa hal yang harus dilakukan guna mewujudkan security electronic transaction melalui tanda tangan eletronik, maka perlu.
1. menerbitkan peraturan pelaksanaan UU ITE mengenai tanda tangan elektronik dan sertifikat elektronik, yaitu Peraturan Pemerintah tentang Tanda Tangan Elektronik dan Peraturan Pemerintah tentang Sertifikat Elektronik.
2. segara membentuk dan membuka seluas-luasnya kesempatan untuk mendirikan Lembaga Penyelenggara Sertifikasi Elektronik sebagai badan hukum yang berfungsi sebagai pihak yang layak dipercaya, yang memberikan dan mengaudit sertifikat elektronik.
3. penyedia jasa perbankan harus menerapkan manajemen resiko yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan lainnya guna menghindari kemungkinan penyalagunaan teknologi informasi perbankan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Arief, Barda Nawawi. Tindak Pidana Mayantara: Perkembangan Kajian Cybercrime di Indonesia. (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2006).
Bachetta, Marc, et.al. Electronic Commerce and the Role of WTO: Special Studies 2. (Geneva: WTO Publication,1998).
Cheesman, Hebry R. Business Law: Ethical, International & E-Commerce Environment, Fourth Edition. (New Jersey: Prentice Hall,2001).
E. Utrecht., dan Moh. Saleh Djindang, Pengantar dalam Hukum Indonesia, cetakan kesebelas. (jakarta: penerbit P.T. Ichtiar Baru dan Penerbit Sinar Harapan, 1989) .
Endeshaw. Hukum E-Commerce dan Internet dengan Fokus di Asia Pasifik. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2007).
Friedman, L Thomas. Understanding Globalization. (New York: Farrar, Straus, Giroux,1999).
Fuady, Munir. Hukum Perbankan Modern, Edisi Kedua. (Bandung; PT Citra Aditya Bakti, 2004).
Ginting, Ramlam. Transaksi Bisnis dan Perbankan Internasiona. (Jakarta: Bumi Aksara,2008).
Hamzah, Andi., dan Marsita Boedi. Aspek-aspek Pidana di Bidang Komputer. Cet. II. (Jakarta: Sinar Grafika,2006).
Lessig, Lawrence. Code and Other Laws of Cyberspcae (New York: Basics Book, 1999).
Kerlinger, N Fred Asas-asas Peneliian Bahavioral, Edisi Indonesia. (Yogyakarta: Gadja Mada Press, 1996).
Kusumaatmadja, Mochtar. Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan. (Bandung : Alumni. 2002).
Makarim, Edmon. Pengantar Hukum Telematika. (Jakarta:Rajagrafindo Persada,2005).
Makarim, Edmon. Kompilasi Hukum Telematika. (Jakarta : PT. Gravindo Persada. 2000).
Purbo, w Otto. Mengenal E-Commerce. (Jakarta: PT Elex Media Computindo. 2000).
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. (Bandung: Alumni, 1982).
_________, Hukum Masyarakat dan Pembangunan. (Bandung: Alumni, 1980).
Ramli, Ahmad, Mujahid. Cyber Law dan HAKI Dalam Sistem Hukum Indonesia. (Bandung : Refika Aditama, 2004).
Reinhard, Petrus. Seputar Kejahatan Hacking: Teori dab Studi Kasus. (Jakarta: CV Dharmaputra: 2008).
Sanusi, Arsyad. E-Commerce: Hukum dan Solusinya. (Jakarta: PT Mizan Grafika. 2001).
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: Universtitas Indonesia Press, 1999).
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat). (Jakarta: Rajawali Press, 2003).
Susantio, Sutantio,S.H. dan Iskandar Oerip. Hukum Acara Perdata dalam Teori Dan Praktek. (Bandung : Alumni,.
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. (Jakarta : Intermasa, 1979).
______. Aneka Perjanjian. Cetakan VII. Bandung : Alumni. 1985.
Wahid, Abdul dan Mohammad Labib. Kejahatan Mayantara. (Bandung : Refika Aditama. 2005)
Winusbroto, Aloysius. Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer, Cetakan Pertama. (Yogyakarta., Penerbitan Universitas Atma Jaya,1999)
Widjaja, Gunawan,. Ahmad Yani. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen. (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. 2000).
Wirjono Prodjodikoro. Perbuatan Melanggar Hukum. Cetakan V. (Bandung: Sumur Bandung. 1967).
Widyopratomo. Kejahatan di Bidang Komputer. Cet. I. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1994).
B. Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. LN Tahun 2008 Nomor 58, TLN Nomor 4843.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. LN Tahun 1999 Nomor 154, TLN Nomor 3881.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. TL Tahun 1998 Nomor 182, TLN Nomor 3790.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. LN Tahun 2004 Nomor 7, TLN Nomor 4357.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997. LN Tahun 1999 Nomor 154, TLN Nomor 3881.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. LN Tahun 2003 Nomor 108, TLN nomor 4324.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pelindungan Konsumen. LN Tahun 1999 Nomor 42 , TLN Nomor 3821.
Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/15/PBI/2007 tentang Penerapan Manajemen Resiko dalam Penggunaan Teknologi Informasi oleh Bank Umum. LN Tahun 2007 Nomor 144 DPNP, TLN 4785 DPNP.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelisjk Wetboek). Diterjemahkan oleh Subekti dan Tjiprosudibio. (Bandung: Pranadya Paramita, 1992.
C. Artikel dan Hasil Penelitian
Adam, Nabil R., Octay Dogramaci, Aryya Gangopadhyay, Yelena Yesha., Electronic Commerce: Technical, Business, and Legal Issues. (New Jersey: Prentice-Hall, Inc:1).
Adji, Seno Indrianto. Analisa Penerapan Asas Perbuatan Melawan Hukum Materiil dalam Perspektif Hukum Pidana Indonesia. Tesis, Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000.
Albrigt, Mark. Internet Commerce Increasing, Give or Take a Few Billion. St Peterburg Times. 12 April 1999
Arie, S Sundari. Pengaruh Perkembangan Telematika Dalam Transaksi Bisnis Perbankan. Paper disampaikan pada Seminar Pengaruh Perkembangan Telematika Terhadap Pengembangan Hukum dan Peraturan Perundang – Undangan, Diselenggarakan oleh: BPHN Depkeh HAM RI dan Koordinator Pengelola Program Doktor Bidang Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Pajajaran, Oktober 2003.
Atsasmita, Romli. Kejahatan Melalui Teknologi Informasi Dan Dampaknya Terhadap Hukum Pidana Nasional. Disampaikan pada Seminar Pengaruh Perkembangan Telematika Terhadap Pengembangan Hukum dan Peraturan Perundang – Undangan, Diselenggarakan oleh: BPHN Depkeh HAM RI dan Koordinator Pengelola Program Doktor Bidang Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Pajajaran, Oktober 2003.
Authers, John. Media and Telecom Chies Aim for Self-regulation of Internet. The Financial times, 15 Januari 1999.
Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Departemen Perindutrian dan Perdagangan bekerja sama dengan LKHT UI. Naskah Akademik RUU tentang Tanda Tangan Elektronik dan Transaksi Elektronik. Jakarta, 2001.
Departemen Komunikasi dan Informasi Repeublik Indonesia. Naskah Akademik RUU tentang ITE. Jakarta, 2005.
Hermansyah. Hukum Perbankan Nasional, Edisi Revisi. (Jakarta: Prenada Media Group).
Hill, Richard and Ian Walden. The Draft UNCITRAL Model Law for Electronic Commerce: Issues and solutions, teaching materials. March, 1996.
Irayani, Evi. Pemanfaatan Resource Record DNS Tipe SRV dalam Pendistribusian Basis Data Public key PGP. Tesis, Fakultas Teknik Informatika ITS, Surabaya,2007.
Muladi. Pengaruh Perkembangan Telematika Terhadap Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana, Paper disampaikan pada Seminar Pengaruh Perkembangan Telematika Terhadap Pengembangan Hukum dan Peraturan Perundang – Undangan Diselenggarakan oleh: BPHN Depkeh HAM RI dan Koordinator Pengelola Program Doktor Bidang Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Pajajaran, Oktober 2003.
Puzzanghera, Jim. US Lawmakers Clomoring Regulator Internet. San Jose Merceury News, 9 April 1999.
Rahardjo, Budi, E-Procurement Security. Makalah pada seminar Sosialisasi Keppres No. 61/2004 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah secara elektronik dan aplikasi perpajakannya., yang diselenggarakan oleh Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Perpajakan, Properti dan Administrasi Bisnis Artha Bhakti. Jakarta, 20 April 2005.
___________, Mengimplementasikan Electronic Commerce di Indonesia. PPAU Mikroelektronika ITB.
Sutedi, Adrian. Hukum Perbankan. (Jakarta: Sinar Grafika, 2007).
Sitompul, Asril. Hukum Internet, Pengenalan Mengenai masalah Hukum di Cyberspace. (Bandung:PT.Citra Aditya Bhakti,2004).
Tim Peraturan Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum Bank Indonesia. Rekonstruksi Hukum dalam Menanggulangi Kejahatan Dunia Maya di Bidang Perbankan. Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume V Nomor 2, Agustus 2006.
________________________. Sekilas Pengatutan Electronic Banking dan electronic Fund Transfer di Amerika Serikat. Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 3 Nomor 2. 2005.
Tuharea,S Muhammad. Kajian Kerangka Hukum Electronic Signature. Makalah Tugas Akhir di ITB, 2003.
Wibowo, Mukti Arrianto. Kerangka Hukum Electronic Signature dalam Electronic Commerce., Makalah disampaikan untuk Masyarakat Telekomunikasi Indonesia di Pusat Ilmu Komputer Universitas Indonesia. Juni 1999.
D. Media Elektronik
Andiyono,dkk. Tujuan Aspek Legal, Tinjuan Kritis RUU ITE CA. http://www.mti.ugm.ac.id/~slamet/kuliah/Aspek_Legal/uu/tugas%20pak%20ongkokel%205/Tugas%20Aspek%20Legal%20%20Tinjauan%20kritis%20RUU%20ITE%20CA.doc
Gema, Ari Juliano. E-Sign Act: Keberlakuan dan Hambatannya. Artikel ilmiah di publikasikan di http://onno.vlsm.org/v01/OnnoWPurbo/contrib/aplikasi/ hukum/e-sign-act-keberlakuan-dan-hambatannya-10-2000.rtf
Haris. Implementasi prototipe proses permintaan sertifikat X.509 pada protokol secure electronic transaction. http://vlsm.org/fusilkom-ui/fusilkom-99-s199abs.html .
Iman, Novia. Mengenal E-Commerce. Artikel Ilmiah dipublikasikan di www.noviaiman.com.
Lembaga Kajian hukum dan Teknologi Universitas Indonesia. Pengantar Hukum Telematika. Artikel ilmiah dipublikasikan di www.ui.ac.id
Singgara,Julias Indra Dipayaono. Pengakuan Tanda Tangan Digital dalam Hukum Pembuktian Indonesia. Artikel ilmiah dipublikasikan di www.legalitas.org.
Sitompul, Zulkarnain. Pengaruh Perkembangan Telematika Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang. http://zulsitompul.files.wordpress.com/2007/06/telematika_money-laundering_zs.pdf
Salam, Abdul. Keberlakukan Hukum dalam Kontrak Elektronik. http://staff.blog.ui.edu/abdul.salam/2008/07/14/keberlakuan-hukum-dalam-kontrak-elektronik/.
Stewart Baker dan Chris Kuner, An Analysis of International and Electronic signature Implementation Iniatives, (internet Law and Policy Forum, September 2000) http://www/ilpf.org/disig/analysis-IEDSII.htm
Toffler, Alvin. The Third Wave. Artikel ilmiah dipublikasi di http://www.skypoint.com/ members/mfinley/toffler.htm
Michael A. Gurski Michael. Privacy-Enhanced Mail (PEM). Artikel,http://www.cs.umbc.edu/~woodcock/cmsc482/proj1/pem.html
Wright, Benjamin. The Law of Electronic Commerce. Artikel ilmiah, Little Brown and Company, dipublikasikan di http://www.un.or.at/uncitral/english/texts/electcom/ml-ec.htm
_____________________________, The Draft UNCTRAL Model Law for Electronic Commerce isues and solutions, terjemahan oleh M. Fajar dipublikasikan maret 1996, hal 1 lihat http//:www.Banet.com/_ricard hill.
E. Kamus dan Ensiklopedia
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1988).
Kamus Hukum. Samongkir, JCT, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006).
Kamus Elektronik. Wasito. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996).
Black Law Dictionary. United State of America: A Thomson Business.
EFEKTIFITAS PENERAPAN PRINSIP KNOW YOUR CUSTOMER TERHADAP PENCEGAHAN DAN PENINDAKAN TINDAK KEJAHATAN PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING)
BAB I
PENDAHULUAN
Transnational Organized Crime has been serious problem for most of the 20th century, but it has only recently been recognized as a threat to world order. This criminality undermines the integrity of individual countries, but it not yet e threat to the nation-state. Failure to develop viable, coordinated international policies in the face of ever-growing transnational criminality, however, may undermine the nation-state in the 21st century.
The struggle against organized or transnational crimes will be the defining security concern of the twenty-first century.
Komentar Shelley dan Mark diatas memberikan sinyal kepada aktor internasional khususnya negara untuk bersiap menghadapi berbagai kejahatan transnasional yang semakin “agresif” di abad 2I ini. Kejahatan transnasional terorganisasi (transnational organized crimes) dengan segala manifestasinya berusaha membangun jejaring disegala pojok bumi. Menghadapi ancaman ini kerja sama internasional adalah sebuah keniscayaan. Tak terkecuali di tingkat regional. Organisasi yang mewadahi kerja sama regional-pun berinisiatif membuat kesepakatan dan komitmen baru guna mengantispasi, menghalangi dan memerangi kejahatan yang melintas batas yuridiksi ini. Misalnya kerja sama regional di Asia Tenggara, ASEAN. Sebagai respon maraknya kejahatan transnasional, sejak tahun 1995 ASEAN telah mengadakan rangkaian pertemuan yang mencapai titik kulminasi dengan disepakatinya ASEAN Security Community 2004 di Vientien, Laos bulan Oktober tahun lalu. Tidak dapat dipungkiri bahwa tindak kejahatan transnasional kini semakin ektensif. Teror yang dilakukan oleh kelompok tertentu semakin mengancam stabilitas keamanan ASEAN.
Ancaman yang datang bukan dalam bentuk tradisional, akan tetapi lebih bersifat abstrak dan sulit diprediksi. Perdagangan manusia dan obat terlarang (drug and human trafficking), pencucian uang (money laundering), perdagangan kayu ilegal (ilegal logging), penyelundupan senjata (arms smuggling) perompakan di jalur laut strategis merupakan ancaman dalam bentuknya yang lain. Permasalahan semakin rumit manakala muncul kejahatan lintas negara yang menggunakan sistem teknologi komunikasi dan informasi seperti penipuan kartu kredit (credit card fraud), pemalsuan produk (product counterfeiting), serta pemalsuan atau kecurangan dokumen-dokumen perjalanan (fraudulent travel documents). Sebagai akibatnya pertumbuhan ekonomi dan stabilitas keamanam kawasan Asia Tenggara khususnya negara-negara yang tergabung dalam ASEAN mengalami hambatan. Oleh Karena itu antisipasi dengan mengedepankan kerja sama regional mutlak dilakukan.
Era globalisasi ditandai dengan munculnya teknologi informasi dan komunikasi yang memungkinkan interaksi individu antar negara makin intensif. Komunikasi dan pertukaran informasi bisa dengan cepat dilakukan. Munculnya teknologi informasi dan komunikasi disatu sisi “menyerdahanakan dan memuaskankan” kerja, baik individu maupun suatu organisasi. Namun, di sisi lain juga menjadi instrumen bagi para pelaku kriminal untuk menaikkan intensitasnya operasinya baik pada tataran domestik maupun global seperti yang dikemukakan Thomas L. Friedman bahwa teknologi mendorong terjadinya globalisasi yang melibatkan integrasi global, bahkan lebih jauh menurutnya dunia seolah menjadi kampung global (global village). Dampak dari hubungan lintas batas dari globalisasi ini pada gilirannya mengakibatkan masyarakat, negara, dan pemerintah tidak mampu untuk memenuhi keamanan individu, pertumbuhan ekonomi, perlindungan sosial, bahkan hak-hak individu itu sendiri.
Kejahatan yang memiliki jaringan antar negara ini selanjutnya disebut kejahatan transnasional (transnational crime atau trasnational organized crime). Dalam definisi yang dikeluarkan Perserikatan bangsa-Bangsa (PBB) transnational crime diartikan sebagai suatu kejahatan yang memiliki dampak langsung maupun tidak langsung dengan melibatkan lebih dari satu negara, “as offences whose inception, prevention and/or direct or indirect effects involve more than one country”. Ditambahkan Fulvio Attina bahwa kejahatan transnasional memiliki struktur hirarkis dalam melakukan tindakan-tindakan illegal, a crime committed by groups of people equipped with stable, generally hierarchical organization which perpetrate illegal actions, usually with violent means, in order to enrich themselves without consideration for international frontiers.
Kejahatan yang melemahkan kredibilitas negara ini memiliki beragam bentuk. PBB mengidentifikasikan 18 bentuk kejahatan transnasional yakni: pencucian uang (money laundering) , terorisme, pencurian seni dan objek budaya (theft of art and cultural object), pencurian kekayaan intelektual (theft of intellectual property), perdagangan senjata gelap (illicit traffict in arms), pembajakan pesawat terbang (aircraft hijacking), pembajakan di laut (sea piracy), penipuan asuransi (insurance fraud), kejahatan komputer (computer crime) kejahatan lingkungan (environmental crime), perdagangan manusia (trafficking in person), perdagangan anggota tubuh manusia (trade in human body part), perdagangan obat bius (illicit drug trafficking), kebangkrutan bank (Fraudulent Bankruptcy), bisnis illegal (infiltration of illegal bussines), korupsi dan penyogokan pejabat pemerintah (corruption and bribey of public officials), dan kejahatan yang dilakukan oleh kelompok terorganisasi lainnya (and others offences commited by organized criminal group). Alan Castle menyebutkan walaupun tidak menyeluruh, namun kejahatan transnasional menurutnya dapat dikelompokan sebagai berikut: money laundering, perdagangan gelap narkotika dan psikotrapika, penyelundupan senjata, penyelundupan bahan nuklir, penyelundupan manusia (anak dan wanita), penggelapan pajak, korupsi dan terorisme. Sementara itu pada tahun 1997 dalam deklarasinya di Manila, Filipina, ASEAN sepakat menggolongkan kejahatan transnasional berupa: money laundering, terorisme, perdagangan obat terlarang, penyelundupan senjata, penyelundupan manusia dan pembajakan.
Kejahatan transnasional sebagaimana sifatnya yang merusak tatanan keamanan dan ekonomi suatu negara merupakan suatu aktifitas yang dilakukan aktor-aktor professional, terlatih dan memiliki keberanian dan loyalitas yang tinggi terhadap kelompok dan jaringan pasar internasional dan nasional, demikian dikatakan Jawahir Thontowi. Ironisnya, dalam mengatasi kejahatan transnasional seringkali harus menghindari penggunaan cara-cara militer. Hal sangat bertentangan secara diametral dengan agenda keamanan selama ini yang biasanya direspons secara militeristik dalam mengatasi ancaman-ancaman yang dianggap merongrong kewibawaan negara. Uniknya penggunaan cara-cara non-militer sesuai dengan prinsip dan modalitas yang telah disepakati Association of Southeast Asia Nations (ASEAN) selama ini. Menurut Ralf Emmers sejak awal pendiriannya tanggal 8 Agustus 1976 negara-negara ASEAN menolak untuk mengadakan kerja sama militer.
Memang, kesepakatan-kesepakatan yang dibuat ASEAN selanjutnya tidak satupun yang menunjukkan kerja sama militer, bahkan justeru berusaha membangun kawasan yang damai dengan menghindari perlombaan senjata dan penggunaan kekerasaan dalam menyelesaikan setiap konflik. Usaha tersebut tercermin dalam kesepakatan-kesepakatan seperti; Zone of Peace, Freedom and Nuetrality Declaration (1971), Declaration of ASEAN Concord (Bali Concord/ 1976), Treaty of Amity and Cooperation in Sotheast Asia (1976), ASEAN Declaration on South China Sea (1992), Treaty on the Southeast Asia Nueclear Weapon-Free Zone (1995). Bahkan ASEAN kini telah membangun mekanisme penyelesaian konflik secara damai dengan negara-negara luar kawasan dengan membuat ASEAN Regional Forum (1995).
Semakin rumitnya penanganan transnational organized crime menjadikan kejahatan ini sebagai common enemy yang merupakan sebuah agenda bersama negara-negara dunia dalam upaya pencegahan dan penindakan kejahatan tersebut. Perkembangan kejahatan transnasional terorganisasi ini bersintesa dengan perkembangan teknologi dan komunikasi yang mengubah begitu cepat prilaku dan peradaban manusia secara global. Perkembangan teknologi dan informasi telah pula menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial yang secara signifikan berlangsung demikian cepat.
Perubahan teknologi, komunikasi dan infomasi inilah yang menjadikan perubahan dimensi hidup manusia termasuk juga kejahatan. Munculnya berbagai bentuk kejahatan dalam dimensi baru, akhir-akhir ini, menunjukan bahwa kejahatan berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat termasuk kejahatan pencucian uang. Hal itu sebagaimana yang ditulis oleh Benedict S.Alper sebagaimana dikutip oleh Arief Amrullah bahwa kejahatan sebenarnya merupakan problem sosial yang paling tua. Sehubungan dengan ini maka telah tercatat 80 kali konferensi internasional yang dimulai pada tahun 1825 hingga tahun 1970. Konferensi-konferensi ini membahas upaya-upaya untuk mengatasi persoalan kejahatan. Bahkan, Kongres PBB ke-5 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders yang diselenggarakan di Jenewa tahun 1975 memfokuskan pembicaraan mengenai crime as business at the national and transnational levels yang meliputi organized crime, white-collar crime, dan corruption. Crime as business diakui sebagai ancaman serius terhadap masyarakat dan ekonomi nasional dibandingkan dengan bentuk kejahatan tradisional salah-satu bentuk kejahatan bisnis yang menjadi ancaman ini adalah money laundering yang pada saat ini, lebih dari sebelumnya, pencucian uang, sudah merupakan fenomena dunia dan merupakan tantangan internasional.
Munir Fuady mengemukakan pendapat bahwa dalam sejarah hukum bisnis munculnya money laundering dimulai dari negara Amerika Serikat tahun 1830. Pada waktu itu banyak orang yang membeli perusahaan dengan uang hasil kejahatan (uang panas) seperti hasil perjudian, penjualan narkotika, minuman keras secara ilegal dan hasil pelacuran. Pusat-pusat gengster besar yang piawai masalah pencucian uang di Amerika Serikat yang terkenal dengan nama kelompok legendaris Al Capone (Chicago). Meyer Lansky memutihkan uang kotor milik kelompok Al Capone dengan mengembangkan pusat perjudian, pelacuran, serta bisnis hiburan malam di Las Vegas (Nevada). Lalu dikembangkan lagi offshore banking di Havana (Cuba) dan Bahama. Kegiatan pencucian uang yang dilakukan oleh kelompok Meyer Lansky sehingga membuat ia dijuluki bapak Money Laundering Modern.
BAB II
PEMBAHASAN
Supervisors around the world are increasingly recognizing the importance of ensuring that their banks have adequate controls and procedures in place so that they know the customers with whom they are dealing. Adequate due diligence on new and existing customers is a key part of these controls. Without this due diligence, banks can become subject to reputational, operational, legal and concentration risks, which can result in significant financial cost. Whereas ensuring that credit and financial institutions require identification of there customers when entering into business relations or conducting transactions, exceeding certain thresholds, are necessary to avoid launderers' taking advantage of anonymity to carry out their criminal activities; whereas such provisions must also be extended, as far as possible, to any beneficial owners.
The principle of Know Your Customer (KYC) has been the backbone of anti-money laundering and counter terrorist financing measures which have been introduced to financial service providers in recent years, and this should also be the case for the MVT service sektor. Customer identification.
Requirements in the formal financial sektor have had a deterrent effect, causing a shift in money laundering activities to other sektors.
Transaksi Bank dan Prinsip Mengenal Nasabah
Transaksi di bank dalam bentuk simpanan diharuskan untuk menyerahkan identitas cera lengkap dan benar. Hal tersebut berlaku terhadap semua calon nasabah, baik perorangan maupun korporasi. Data-data yang dibutuhkan oleh bank tercantum dalam formulir yang harus diisi oleh calon nasabah. Ini merupakan suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh calon nasabah apabila ingin bertransaksi (menyimpan dananya) dengan bank.
Kewajiban demikian juga berlaku bagi perorangan atau korporasi yang menempatkan dananya dalam bentuk reksa dana dan yang membeli efek, apakah efek atas nama maupun atas unjuk. Pihak Penyelenggara Jasa Keuangan (PJK) seperti: bank, pengelola reksa dana dan perusahaan efek, dan lain-lain diwajibkan memiliki catatan lengkap dan benar mengenai identitas nasabahnya.
Ketentuan Pasal 17 di atas merupakan keharusan bagi pihak lembaga keuangan, khususnya bank untuk hati-hati mengelola segala sesuatu yang berhubungan dengan transaksi bank beserta para nasabahnya. Bank diharuskan supaya lebih menerapkan prinsip kehati-hatian sebagaimana ditentukan dalam prudential regulation.
Bahkan lebih dari sekadar untuk tidak merugikan dirinya dilihat dari sudut profit, maka bank demi menghindarkan ancaman hukum pidana harus pula mengetahui persis tentang keadaan dan identitas dari para nasabahnya. Tidak cukup hanya sekedar formalitas demi untuk memperoleh dana pemasukan simpanan/deposito kepada banknya dari para nasabah. Kewajiban sama pula kepada para nasabah penerima kredit, penerima transfer, bahkan para pengguna instrumen-¬instrumen lain dalam lalu lintas perbankan.
Transaksi keuangan mencurigakan (suspicious transaction) merupakan pola pengidentifikasian atas kegiatan-kegiatan transaksi dalam lingkup jasa keuangan yang patut dicurigai berindikasi tindak pidana di bidang/lingkup transaksi keuangan. Pola pengidentifikasian ini perlu dipahami, khususnya oleh lembaga Penyedia Jasa Keuangan, agar dengan demikian, dapat dilakukan pelaporan kepada PPATK.
Transaksi keuangan meliputi semua aktivitas yang menimbulkan hak atau kewajiban, melahirkan hubungan hukum antara berbagai pihak, di dalamnya termasuk transfer dan atau pemindahbukuan sejumlah dana yang dilakukan oleh lembaga penyedia jasa keuangan. Penyedia Jasa Keuangan adalah korporasi atau orang perorangan yang menyediakan jasa di bidang keuangan, termasuk jasa-jasa yang erat terkait dengan keuangan. Berbagai penyedia jasa keuangan antara lain bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing (money changer) , dana pensiun, perusahaan asuransi, kantor pos. Pihak-pihak inilah yang diwajibkan untuk mengidentifikasi kegiatan-kegiatan bisnis keuangan yang mencuri¬gakan (suspicious transaction).
Dalam UUPU No. 15 Tahun 2000, pengertian transaksi ke¬uangan mencurigakan hanya dirumuskan secara limitatif. Kemu¬dian dengan adanya pengubahan melalui UU No. 25 Tahun 2003, pengertiannya diperluas dalam 3 (tiga) sifat/keadaan, sebagai¬mana didapati dalam Pasal 1 butir 7. Khusus dengan tugas-tugas perbankan yang berhubungan dengan masalah transaksi keuang¬an mencurigakan (suspicious transaction) ini, akan dijelaskan pada bab di depan tentang prinsip-prinsip Know Your Customers .
Adapun transaksi keuangan dikategorikan sebagai mencurigakan apabila di dalam suatu transaksi keuangan didapati keadaan sebagai berikut:
• Apabila transaksi itu menyimpang dari biasanya dari sang nasabah bersangkutan, dan hal demikian dapat dilihat dari profil, karak¬teristik, atau kebiasaannya. Misalnya si nasabah tidak memiliki tujuan ekonomis dan bidang usaha yang jelas; menyimpan atau mengambil uang dalam jumlah relatif banyak atau secara berulang ulang. Atau transaksi yang dilakukan nasabah tidak biasa atau di luar hal wajar;
• Apabila transaksi patut diduga dilakukan untuk menghindari kewajiban pelaporan transaksi oleh Penyedia Jasa Keuangan;
• Transaksi yang dilakukan dengan menggunakan dana atau harta kekayaan yang diduga berasal dan merupakan hasil tindak pidana. Termasuk juga dapat dikategorikan sebagai telah “merupakan” transaksi mencurigakan sekalipun tran¬saksi itu batal dilakukan tetapi transaksi keuangan demikian berasal dari kejahatan.
Semua jenis transaksi demikian harus dipantau dengan prinsip-prinsip yang telah ditentukan peraturan perundang¬-undangan perbankan guna lebih mempermudah pengidentifi¬kasian kejahatan money laundering dan itulah yang kemudian disebut dengan prinsip mengenal nasabah.
Prinsip Mengenal Nasabah, lazim dikenal dengan Know Your Customers Principle (KYCP) ini seharusnya memang menjadi penekanan penting bagi lembaga keuangan Indonesia. Hal demikian ditekankan dalam berbagai prinsip organisasi internasional.
Beberapa contoh hal yang perlu dievaluasi oleh Indonesia dalam mengantisipasi money laundering antara lain adalah dalam hal-hal:
• Tidak adanya atau kurang memadainya peraturan dan pengawasan lembaga-lembaga keuangan. Berdasarkan UU No 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan UU No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, terdapat dua jenis bank. Masing-masing dengan Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat.
Kedua jenis bank ini diperiksa izin untuk melaksanakan kegiatan menerima tabungan dan memberikan pinjaman.
Bank Indonesia (BI) mengeluarkan peraturan yang melarang modal bank atau dana yang digunakan untuk membeli saham bank tidak boleh merupakan dana yang berasal dari atau untuk tujuan money laundering, namun tidak ada laporan tentang langkah-langkah yang telah diambil dalam money laundering itu.
Berdasarkan Peraturan BI tentang Pemantauan Kegiatan Arus Valuta Asing Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank, bank wajib mengumpulkan data nasabah dalam transaksi valas yang dilakukan melalui dampak positif untuk mencegah money laundering, namun masih belum menyeluruh dalam pencegahan dan pendeteksian pencucian uang dalam usaha perbankan.
• Belum ada pedoman khusus yang dikeluarkan oleh BI, Bapepam, instansi atau asosiasi industri lain kepada bank atau lembaga keuangan nonbank, yang mengharuskan mereka menyusun kebijakan, prosedur atau kendali yang memadai untuk mencegah money laundering. Demikian pula tidak ada kesepakatan di antara asosiasi industri perbankan, lembaga keuangan dan lembaga keuangan nonbank untuk mencapai tujuan tersebut.
• Dalam melaksanakan uji kelayakan dan kepatutan atas pemegang saham mayoritas, direksi dan pejabat eksekutif dari sebuah bank umum, BI akan memastikan agar orang-¬orang yang bersangkutan tidak termasuk dalam daftar orang tercela dan dianggap memiliki integritas tinggi untuk menja¬lankan peran mereka masing-masing di bank tersebut. Per¬syaratan menunjuk kepada Basle Core Principles for Effec¬tive Banking Supervision. Namun, persyaratan itu tidak berlaku untuk bank-bank perkreditan rakyat, walaupun BI me¬nyatakan telah mengeluarkan pedoman wawancara untuk mengurus bank perkreditan rakyat pada tahun 2000 untuk mendapatkan informasi tentang kemampuan para pengurus untuk mengelola bank. Pedoman wawancara tersebut tidak tersedia untuk penilaian lebih lanjut.
Peraturan BI tentang Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer)
Melihat arus sorotan hingga jatuhnya vonis “black list” ke pada negara Indonesia, maka pada tanggal 18 Juni 2001 Bank Indonesia mengeluarkan peraturan mengenai pentingnya diterapkan oleh bank-bank tentang penerapan mengenali nasabah. Peraturan mengenai penerapan prinsip tersebut tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia No 3/10/PBI/2001 Lembaran Negara 2001 No 78, Tambahan Lembaran Negara No 4107. Peraturan Bank Indonesia, selanjutnya disebut PBI ini mengatur tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles-KYCP).
Peraturan ini kemudian diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No 3/23/PBI/2001 tertanggal 13 Desember 2001 (Lembaran Negara 2001 No 151, Tambahan Lembaran Negara No 4160). Bersamaan dengan Perubahan Peraturan Bank Indonesia tersebut, dikeluarkan pula Surat Edaran Bank Indo¬nesia No 3/29/DPNP Perihal Pedoman Standar Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
Peraturan BI ini, seperti diakui oleh BI sendiri dalam kete¬rangan persnya tidak secara mutlak mengatur tentang money laundering. Namun dengan KYCP, yakni mengetahui latar belakang nasabah dan usahanya secara seksama, menumbuhkan rasa curiga terhadap keganjilan-keganjilan arus masuknya dana ke rekening nasabah, bisa menjadi tindak preventif bagi kemungkinan terjadinya money laundering.
Prinsip mengenal nasabah diartikan sebagai prinsip yang diterapkan bank untuk mengetahui segala sesuatu yang berhu¬bungan dengan identitas nasabah yang dilanjutkan kemudian dengan memantau kegiatan transaksi nasabah dan bilamana terdapat kegiatan transaksi yang mencurigakan supaya dila¬porkan. Kewajiban pokok dari lembaga bank dalam KYCP terdiri dari 4 (empat) hal, yakni:
• Menetapkan kebijakan penerimaan nasabah;
• Menetapkan kebijakan dan prosedur dalam mengiden¬tifikasi nasabah;
• Menetapkan kebijakan dan prosedur pemantauan terhadap rekening dan transaksi nasabah;
• Menetapkan kebijakan dan prosedur manajemen risiko PBI ini menentukan, sebelum melakukan transaksi dengan nasabah, bank wajib meminta informasi mengenai antara lain identitas calon nasabah, maksud dan tujuan diadakan transaksi dan meminta informasi lainnya serta identitas lain yang lebih lengkap.
Calon nasabah dibedakan dalam 4 (empat) golongan, meliputi:
1. Nasabah perorangan;
2. Nasabah perusahaan;
3. Nasabah kelembagaan;
4. Nasabah bank.
a. Untuk Nasabah perorangan
Ditentukan supaya paling sedikit, dokumen pendukung yang diperlukan meliputi: identitas nasabah (nama, alamat domisili, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan); keterangan mengenai pekerjaan, specimen tanda tangan dan keterangan sumber dana dan penggunaan dana.
b. Nasabah Perusahaan
Sekurang-kurangnya bagi nasabah perusahaan tergolong kecil, disyaratkan:
• akte pendirian/anggaran dasar;
• izin usaha atau izin lain;
• nama, specimen tanda tangan, surat kuasa;
• keterangan sumber dan penggunaan dana;
Sedangkan bagi perusahaan yang tergolong di luar golongan kecil:
• akte pendirian/anggaran dasar;
• izin usaha;
• NPWP;
• Laporan keuangan perusahaan atau deskripsi kegiatan usaha;
• Struktur manajemen perusahaan;
• Dokumen identitas pengurus yang mewakili perusahaan;
• Nama, specimen tandatangan, kuasa yang ditunjuk untuk melakukan hubungan usaha dengan bank;
• Keterangan sumber dana dan tujuannya.
Nasabah kelembagaan, yakni lembaga pemerintah, lembaga internasional, dan perwakilan asing:
• nama;
• specimen tanda tangan;
• surat penunjukan bagi yang berwenang mewakili.
Nasabah berupa bank:
• akte pendirian/anggaran dasar bank;
• izin usaha;
• nama;
• specimen tandatangan;
• surat kuasa melakukan hubungan usaha dengan bank.
Bank yang telah menggunakan media elektronis, wajib melakukan pertemuan dengan calon nasabah, sekurang-kurangnya pada saat pembukaan rekening. Jadi di sini dibutuhkan supaya berhadapan fisik (face to face principle).
Dalam melayani calon nasabah yang bertindak sebagai pe¬rantara atau kuasa pihak lain (beneficial owner), bank wajib memperoleh dokumen pendukung identitas dan hubungan hukum, penugasan, serta kewenangan bertindak sebagai benef¬icial owner. Jika calon nasabah merupakan bank lain di dalam negeri, verifikasi atau konfirmasi atas identitas beneficial owner dilakukan oleh bank lain di dalam negeri tersebut.
Tetapi jika si calon nasabah merupakan bank lain di luar negeri di mana bank tersebut telah menerapkan Know Your Customer Principle, bank cukup menerima pernyataan tertulis bahwa identitas beneficial owner telah diperoleh dan ditatausa¬hakan oleh bank di luar negeri tersebut.
Pemantauan Rekening dan Transaksi
Setiap bank diwajibkan untuk menatausahakan dokumen-¬dokumen dalam masa sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sejak nasabah menutup rekening pada bank. Diwajibkan pula melakukan pengkinian data jika terdapat perubahan terhadap dokumen-dokumen. Dokumen-dokumen ini bukanlah dokumen sebagaimana dimaksudkan dalam pengertian UU No 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan. Namun dokumen tersebut ialah dokumen-dokumen yang diperlukan di dalam keperluan KYCP ini.
Dalam tujuan memantau rekening dan transaksi nasabah ini, bank diwajibkan untuk memiliki sistem informasi yang dapat mengidentifikasi, menganalisa, memantau dan menyediakan laporan secara efektif mengenai karakteristik transaksi oleh nasabah bank (Pasal 9). Sistem informasi demikian perlu guna memungkinkan bank dapat menelusuri setiap transaksi, karena hal ini diperlukan untuk keperluan di dalam bank atau BI, juga dalam hal adanya kasus peradilan.
Setiap bank diwajibkan untuk memelihara profil nasabah, yang meliputi informasi mengenai:
• pekerjaan atau bidang usaha;
• jumlah penghasilan;
• rekening lain yang dimiliki;
• aktivitas transaksi normal; dan
• tujuan pembukaan rekening.
Manajemen Risiko dan Pelaporan
Manajemen risiko adalah menetapkan beberapa kebijakan dalam suatu organisasi supaya risiko yang akan terjadi dapat dihilangkan atau diperkecil sedapat mungkin dengan cara mem¬fungsikan unit-unit yang sudah ada. Manajemen demikian perlu ditempuh untuk mengurangi be¬berapa hal seperti operational risk, legal risk, concentration risk atau reputational risk. Operational risk, yakni suatu risiko di mana bank tidak dapat melakukan kegiatan operasionalnya secara normal karena misalnya ada kesalahan dan penyalahgunaan wewenang, ketidakpastian terhadap ketentuan, kele¬mahan struktur pengendalian intern, prosedur yang tidak mema¬dai, gangguan sistem informasi manajemen dan komunikasi, gangguan sistem pembayaran bank.
Kebijakan manajemen risiko yang ada dalam suatu bank, diharuskan untuk memasukkan unsur-unsur kebijakan mana¬jemen risiko yang berkaitan dengan penerapan KYCP Dalam rangka ini maka manajemen risiko meliputi beberapa aspek:
• Aspek management oversight, yakni pengawasan oleh pimpinan bank, misalnya dilakukan oleh Dewan Komisaris atau melalui Direktur Kepatuhan bank
• Aspek pendelegasian wewenang, yakni memberikan kewe¬nangan kepada unit-unit terkait dalam bank;
• Aspek pemisahan tugas, yakni melakukan pemisahan fungsi operasional dan pengawasan intern;
• Aspek internal supervision, yakni aspek yang berhubungan dengan sistem pengendalian intern, baik yang bersifat fungsional maupun melekat;
• Aspek training untuk karyawan, yakni aspek yang bertujuan supaya para karyawan yang menangani secara teknis KYCP memiliki integritas dan kemampuan yang trampil.
Personil khusus ini menangani masalah-masalah bersifat high risk ini juga:
• Nasabah yang dianggap berisiko tinggi;
• Nasabah termasuk penyelenggara negara;
• Transaksi-transaksi yang dianggap mencurigakan (suspicious).
Mengenai pelaporan diatur di dalam Pasal 13. Semula masalah pelaporan ini di dalam PBI No 03/10/PBI/2001 tanggal 18 Juni 2001 sifat pengaturannya tidak begitu mendetil, karena hanya menetapkan kewajiban bagi bank untuk menyampaikan fotokopi kebijakan dan prosedur yang dibuat kepada BI paling lambat 6 bulan setelah diterapkannya PBI. Lalu kemudian materi ketentuan Pasal 13 ini dirubah dengan PBI No 3/23/PBI/ 2001 tanggal 13 Desember 2001 di mana sifat ketentuannya diperdetil.
Masalah yang diatur di dalam Pasal 13 yang telah dirubah adalah antara lain:
• Penyusunan kebijakan dan prosedur KYCP supaya mengacu kepada Pedoman Standar Penerapan Mengenal Nasabah sesuai SEBI;
• Menetapkan dan menyampaikan Pedoman pelaksanaan pene¬rapan KYCP kepada BI paling lambat 2 bulan sejak diberlakukannya PBI;
• Setiap perubahan terhadap Pedoman, wajib dilaporkan kepada BI paling lambat 7 hari sejak perubahan;
• Menerapkan KYCP bagi nasabah yang sudah ada, paling lambat 6 bulan sejak berlakunya PBI;
• Melaksanakan program pelatihan kepada karyawan bank mengenai KYCP, termasuk pengkinian database nasabah;
• Menerapkan sistem informasi paling tidak 6 bulan sejak berlakunya PBI.
Bagi bank berbadan hukum Indonesia yang berada di luar negeri, ketentuan KYCP ini jugs berlaku sesuai ketentuan di negara tersebut, yang minimal sama atau bahkan lebih ketat daripada yang diatur oleh PBI. Tetapi bila belum menerapkan atau menerapkan prinsip tersebut namun bersifat lebih longgar, maka ketentuan yang berlaku ialah PBI. Jika dengan penerapan demikian dipandang sebagai pelanggaran bagi ketentuan negara yang ber¬sangkutan, maka diwajibkan segera menginformasikan hal itu ke kantor pusat bank bersangkutan dan Bank Indonesia.
Transaksi Yang Mencurigakan (Suspicious Transactions)
Pasal 14 PBI No. 3/23/PBI/2001 menetapkan supaya setiap transaksi yang mencurigakan (suspicious transactions), pihak bank yang bersangkutan wajib melaporkan kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah diketahui oleh bank bersangkutan.
PBI tidak memberikan pengertian tentang transaksi yang mencurigakan dalam ketentuan umumnya. Tetapi dapat dilihat di dalam penjelasan Pasal 12 dengan istilah “transaksi dengan kategori mencurigakan”. Dimaksudkan di sini ialah transaksi yang tidak sesuai dengan karakteristik dan profil nasabah.
Pengertian di atas lebih elementer jika dibandingkan dengan pengertian yang diberikan oleh UUPU, yang memberikan pengertian yang lebih jelas sebagaimana dapat dilihat di dalam Pasal 1 butir 7, yang diistilahkan dengan “transaksi keuangan mencurigakan”. Pengertian transaksi mencurigakan menurut ketentuan ini dirumuskan sebagai berikut:
“Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah:
• transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan;
• transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini; atau
• transaksi keuangan yang dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana”.
BI dalam peraturan ini membuat 6 (enam) kategori terhadap transaksi yang bersifat mencurigakan (suspicious transaction) sebagaimana biasa digunakan dalam praktik money laundering. Kategori itu ialah:
• Transaksi dengan menggunakan pola tunai berupa antara lain penyetoran dalam jumlah besar yang tidak lazim, penyetoran tanpa penjelasan yang memadai, penyetoran dengan beberapa slip serta penyetoran dalam jumlah besar melalui rekening titipan setelah jam kerja kas;
• Transaksi dengan menggunakan rekening bank. Termasuk dalam kategori ini antara lain pemeliharaan beberapa rekening atas nama pihak lain;
• Transaksi yang berkaitan dengan investasi. Transaksi dengan jenis ini biasanya terkait dengan pembelian surat berharga untuk disimpan di bank sebagai kustodian;
• Transaksi melalui aktivitas bank luar negeri yang di antaranya melalui penghimpunan saldo dalam jumlah besar yang tidak sesuai dengan karakteristik perputaran usaha, serta transfer elektronis tanpa penjelasan yang memadai;
• Transaksi yang melibatkan karyawan bank atau agen di mana terjadi peningkatan kekayaan karyawan bank dalam. Kecuali itu, hubungan transaksi melalui agen yang tidak dilengkapi dengan informasi yang memadai;
• Transaksi pinjam meminjam di mana terjadi pelunasan pinjaman secara tidak terduga, serta permintaan pembiayaan di mana porsi dana nasabah tidak jelas asal usulnya.
Supaya lebih jelas dipahami mengenai apa yang dimaksud dengan transaksi mencurigakan ini, maka di bawah ini dikemu¬kakan beberapa contoh transaksi yang dapat dikategorikan sebagai transaksi mencurigakan (Suspicious Transactions).
Transaksi mencurigakan dengan menggunakan pola transaksi tunai
• Penyetoran tunai dalam jumlah besar yang tidak lazim oleh perorangan atau perusahaan yang memiliki kegia¬tan usaha tertentu dan penyetoran tersebut biasanya dilakukan dengan menggunakan cek atau instrumen non-tunai lainnya;
• Peningkatan penyetoran tunai yang sangat material pada rekening perorangan atau perusahaan tanpa diser¬tai penjelasan yang memadai, khususnya apabila setoran tunai tersebut langsung ditransfer ke tujuan yang tidak mempunyai hubungan atau keterkaitan dengan per¬orangan atau perusahaan tersebut;
• Penyetoran tunai dengan menggunakan beberapa slip setoran dalam jumlah kecil sehingga total penyetoran tunai tersebut mempunyai jumlah sangat besar;
• Penggunaan rekening perusahaan yang lazimnya dilaku¬kan dengan menggunakan cek atau instrumen non-tunai lainnya namun dilakukan secara tunai;
• Pembayaran atau penyetoran dalam bentuk tunai untuk penyelesaian tagihan wesel, transfer atau instrumen pasar uang lainnya;
• Penukaran uang tunai berdenominasi kecil dalam jumlah besar dengan uang tunai berdenominasi besar;
• Penukaran uang tunai ke dalam mata uang asing dalam frekuensi yang tinggi;
• Peningkatan kegiatan transaksi tunai dalam jumlah yang sangat besar untuk ukuran suatu kantor atau Bank;
• Penyetoran tunai yang di dalamnya selalu terdapat uang palsu;
• Transfer dalam jumlah besar dari atau ke negara lain dengan instruksi untuk dilakukan pembayaran tunai;
• Penyetoran dalam jumlah besar melalui rekening titipan setelah jam kerja kas untuk menghindari hubungan langsung dengan petugas Bank.
Transaksi mencurigakan dengan menggunakan rekening Bank
• Pemeliharaan beberapa rekening atas nama pihak lain yang tidak sesuai dengan jenis kegiatan usaha nasabah;
• Penyetoran tunai ke dalam jumlah kecil ke dalam bebe¬rapa rekening yang dimiliki nasabah pada Bank sehingga total penyetoran tersebut mempunyai jumlah sangat besar;
• Penyetoran dan atau penarikan dalam jumlah besar dari rekening perorangan atau perusahaan yang tidak sesuai atau tidak terkait dengan usaha nasabah;
• Pemberian informasi yang sulit dibuktikan atau memerlukan biaya yang sangat besar bagi Bank untuk melakukan pembuktian;
• Pembayaran dari rekening nasabah yang dilakukan setelah adanya penyetoran tunai pada rekening dimaksud pada hari yang sama atau hari sebelumnya;
• Penarikan dalam jumlah besar dari rekening nasabah yang semula tidak aktif atau dari rekening nasabah yang menerima setoran dalam jumlah besar dari luar negeri;
• Penggunaan petugas teller yang berbeda oleh nasabah yang secara bersamaan untuk melakukan transaksi tu¬nai dalam jumlah besar atau transaksi mata uang asing;
• Pihak yang mewakili perusahaan selalu menghindar untuk berhubungan dengan petugas Bank;
• Peningkatan yang besar atas penyetoran tunai atau ne¬gotiable instruments oleh suatu perusahaan dengan menggunakan rekening klien perusahaan, khususnya apabila penyetoran tersebut langsung ditransfer di antara rekening lainnya;
• Penolakan oleh nasabah untuk menyediakan tambahan dokumen atau informasi penting, yang apabila diberikan memungkinkan nasabah menjadi layak untuk memperoleh fasilitas pemberian kredit atau jasa perbankan lainnya;
• Penolakan nasabah terhadap fasilitas perbankan yang lazim diberikan, seperti penolakan untuk diberikan tingkat bunga yang lebih tinggi terhadap jumlah saldo tertentu;
• Penyetoran untuk untung rekening yang sama oleh banyak pihak tanpa penjelasan yang memadai;
Transaksi mencurigakan melalui transaksi yang berkaitan dengan investasi
• Pembelian surat berharga untuk disimpan di Bank seba¬gai kustodian yang seharusnya tidak layak apabila mem¬perhatikan reputasi atau kemampuan finansial nasabah;
• Transaksi pinjaman dengan jaminan dana yang diblokir (back to back deposit/loan transactions) antara Bank dengan anak perusahaan, perusahaan afiliasi, atau institusi di negara lain yang dikenal sebagai negara tempat lalu lintas perdagangan narkotika;
• Permintaan nasabah untuk jasa pengelolaan investasi dengan sumber dana investasi yang tidak jelas sumbernya atau tidak konsisten dengan reputasi atau kemam¬puan financial nasabah;
• Transaksi dengan pihak lawan (counterparty) yang tidak dikenal atau sifat, jumlah dan frekuensi transaksi yang tidak lazim;
• Investor yang diperkenalkan oleh bank di negara lain, perusahaan afiliasi, atau investor lain dari negara yang diketahui umum sebagai tempat produksi atau perdagangan narkotika.
Transaksi mencurigakan melalui aktivitas Bank di luar negeri
• Pengenalan nasabah oleh kantor cabang di luar negeri, perusahaan afiliasi atau bank lain yang berada di negara yang diketahui sebagai tempat produksi atau perdagangan narkotika;
• Penggunaan Letter of Credits (L/C) dan instrumen perda¬gangan internasional lain untuk memindahkan dana antar negara di mana transaksi perdagangan tersebut tidak sejalan dengan kegiatan usaha nasabah;
• Penerimaan atau pengiriman transfer oleh nasabah dalam jumlah besar ke atau dari negara yang diketa¬hui merupakan negara yang terkait dengan produksi, proses dan atau pemasaran obat terlarang atau kegiatan terorisme;
• Penghimpunan saldo dalam jumlah besar yang tidak sesuai dengan karakteristik perputaran usaha nasabah yang kemudian ditransfer ke negara lain;
• Transfer secara elektronis oleh nasabah tanpa disertai penjelasan yang memadai atau tidak dengan menggu¬nakan rekening;
• Permintaan travelers cheques, wesel dalam mata uang asing, atau negotiable instrument lainnya dengan frekuensi tinggi;
• Pembayaran dengan menggunakan travelers cheques atau wesel dalam mata uang asing khususnya yang diter¬bitkan oleh negara lain dengan frekuensi tinggi.
Transaksi mencurigakan yang melibatkan karyawan Bank dan atau agen
• Peningkatan kekayaan karyawan dan agen Bank dalam jumlah besar tanpa disertai penjelasan yang memadai;
• Hubungan transaksi melalui agen yang tidak dilengkapi dengan informasi yang memadai mengenai penerima akhir (ultimate beneficiary).
Transaksi mencurigakan melalui transaksi pinjam meminjam
• Pelunasan pinjaman bermasalah secara tidak terduga;
• Permintaan fasilitas pinjaman dengan agunan yang asal usulnya dari aset yang diagunkan tidak jelas atau tidak sesuai dengan reputasi dan kemampuan finansial nasabah;
• Permintaan nasabah kepada Bank untuk memberikan fasilitas pembiayaan di mana porsi dana sendiri Nasabah dalam fasilitas dimaksud tidak jelas asal usulnya, khu¬susnya apabila terkait dengan properti. (Lampiran 1 PBI No. 3/10/PBI/2001).
Pedoman Standar Penerapan KYCP
Implementasi dari Peraturan BI di atas telah disusun sebuah pedoman yang disebut Pedoman Standar Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. Pedoman ini dikeluarkan berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) tanggal 13 Desember 2001 No. 3/29/DPNP, yang dapat dipergunakan bank-bank sebagai acuan standar minimum yang wajib dipenuhi oleh bank-bank dalam menyusun Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
Pedoman ini memperinci hal-hal penting mengenai kebijakan umum, prosedur penerimaan dan identifikasi (procedures for customer acceptance and identification), pemantauan dan laporan (monitoring and reporting) dan pelatihan pegawai (employee training).
Kebijakan Umum ini meliputi hal-hal:
• Kebijakan Pengorganisasian;
• Kebijakan Penerimaan dan Identifikasi Nasabah;
• Kebijakan Pemantauan dan Pelaporan;
• Kebijakan Manajemen Risiko;
Mengenai prosedur penerimaan dan identifikasi nasabah, terdiri dari:
• Prosedur penerimaan nasabah;
• Prosedur Identifikasi dan verifikasi;
• Prosedur Persetujuan Penerimaan Calon Nasabah.
Prosedur Pemantauan dan Pelaporan, meliputi kebijakan¬-kebijakan dalam masalah:
• Prosedur dokumentasi profil nasabah;
• Prosedur pemantauan rekening dan identifikasi Transaksi;
• Prosedur identifikasi Transaksi yang Mencurigakan;
• Prosedur pelaporan internal dan pelaporan kepada BI
Kecuali hal-hal di atas, ditetapkan pula pedoman mengenai pelatihan karyawan.
Sebagai upaya pencegahan money laundering. Bank Indonesia membentuk Unit Kerja Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (UKPN)
Tugas UKPN diperinci dalam hal-hal sebagai berikut:
• Menjamin pengembangan sistem untuk mengidentifikasi nasabah dan transaksi yang mencurigakan;
• Memonitor profil nasabah dan transaksinya termasuk meng¬identifikasi dan memantau para nasabah yang dianggap memiliki risiko tinggi;
• Mengkoordinasikan dan memantau penerapan Prinsip Mengenali Nasabah dengan unit-unit kerja yang terkait; menerima dan menganalisis laporan-laporan transaksi yang mencurigakan yang diserahkan oleh unit-unit terkait;
• Mempersiapkan laporan atas transaksi yang mencurigakan untuk diserahkan ke BI;
• Memonitor, menganalisis dan merekomendasikan perlunya pelatihan staf dan pejabat bank.
Adapun pengidentifikasian yang dilakukan terhadap nasabah setidaknya meliputi hal-hal sebagai berikut:
• Syarat mengenai calon nasabah, berupa identitas nasabah, maksud dan tujuan hubungan bisnis yang dibuat oleh nasa¬bah dengan bank, informasi lain yang perlu, identitas pihak-¬pihak lain dalam hal nasabah bertindak untuk dan atas nama pihak lain;
• Permohonan untuk bukti identitas dan dokumen pelengkap dari calon nasabah;
• Verifikasi bukti identitas dan dokumen pelengkap dari calon nasabah;
• Pertemuan dengan calon nasabah harus dilakukan paling tidak waktu pembukaan rekening, termasuk pembukaan re¬kening yang dilakukan secara elektronik;
• Jika dipandang perlu, dilakukan interviu dengan calon na¬sabah untuk memastikan akurasi dari informasi, bukti iden¬titas dan dokumen-dokumen pendukung lainnya;
• Menolak pemohon nasabah yang tidak melengkapi informasi, bukti identitas dan dokumen-dokumen pelengkap yang meragukan.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Persoalan money laundering sebagai transnational organized crime menjadi isu bagi Indonesia karena secara hukum internasional Indonesia tidak dapat melapaskan diri dari komponen masyarakat dunia, bahwa Indonesia merupakan bagian dari masyarakat internasional yang harus berperan dalam upaya pencapaian kepentingan dunia.
Sebagai negara nasional, aspek-aspek hukum Internasional juga melekat pada Indonesia. Konvensi tentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi (UN Convention Against Transnational Organized Crime Tahun 2000) yang di dalamnya diatur mengenai kejahatan pencucian uang juga meletakkan dasar-dasar bagi hukum nasional akan berptisipasi Indonesia dalam pemberantasan pencucian uang sebagai kejahatan lintas batas yang terorganisasi.
Kelahiran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai amanah UU No. 15 Tahun 2002 menjadi sebuah harapan bagi upaya pemberantasan pencucian uang di Indonesia. Kesiapan-kesiapan Indonesia memerangi pencucian uang secara maksimal diupayakan oleh penegak hukum.
Dalam rangka mendukung pemberantasan tindak pidana pencucian uang, diperlukan adanya lembaga koordinasi yang bertugas mengkoordinasikan keterkaitan kegiatan yang berada di berbagai departemen atau instansi. Seperti diketahui ada beberapa departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen (LPND) yang membawahi kegiatan-kegiatan yang terkait dengan upaya pencegahan dan pemberantasan pencucian uang. Misalnya, kantor Menko Polkam, Kantor Menko Perekonomian, Bank Indonesia, Departemen Kehakiman dan HAM, Kejaksaan Agung, Kepolisian, Bapepam, Badan Intelijen Nasional (BIN), Departemen Luar Negeri, dan lain-lain. Untuk itu, Pasal 29 B UUTPPU tampaknya memberikan isyarat dapat dibentuk Komite Koordinasi Nasional guna mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Komite demikian dibentuk oleh Presiden atas usul Kepala PPATK dengan prinsip keterpaduan dan komprehensif di antara berbagai departemen atau instansi non departemen.
Lahirnya Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 yang diubah oleh Undang-Undang no. 25 Tahun 2003, pembentukan PPATK dan Badan Kordinasi Nasional, kemudian intensitas kerja sama internasional mengisyaratkan kesiapan Indonesia untuk melakukan upaya-upaya hukum dalam memerangi kejahatan pencucian uang di Indonesia dan di dunia.
Wujud lain sebagai bentuk kesiapan Indonesia melakukan penegakkan kejahatan money laundering sebagai bentuk kejahatan lintas negara adalah dengan intensitas pelaksanaan kerjasama internasional. Walau ada beberapa negara yang masih tertutup terhadap upaya kerjasama dengan Indonesia padahala negara-negara tersebut merupakan negara yang memiliki kaitan dengan pencucian uang dari Indonesia, misalnya Singapura yang hingga kini masih belum memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia.
B. Saran
Upaya untuk mencegah dan memerangi pemberantasan tindak pidana pencucian uang buklanlah hal yang mudah. Perkembangan teknologi, komunikasi, informasi dan ilmu pengetahuan menjadikan kejahatan ini berkembang pula. Diperlukan keseriusan Indonesia untuk memberantas pencucian uang yang telah merusak sendi-sendi perekonomian bangsa. Bahkan Indonesia dijadikan surga bagi moneylaunder untuk menghalalkan uang hasil kejahatan mereka.
Ada beberapa saran dalam upaya pemberantasa pencucian uang di Indonesia:
• Mengimplementasikan Undang-Undang tentang Pengesahan UN Convention Against Transnational Organized Crime Tahun 2000.
• Memperbaiki aturan hukum khususnya di bidang perbankan yang masih memiliki kelamahan-kelamahan (Loophiles in financial regulations). Misalnya tidak adanya peraturan-peraturan pengawasan terhadap lembaga keuangan, kurang memadainya ketentuan bagi perjininan dan pendirian lembaga keuangan, termasuk ketentuan mengenai penilaian terhadap latar belakang para menejer dan pemilik sebenarnya lembaga keuangan.
• Indonesia harus mengintensifkan kerja sama internasional. Hal ini perlu karena pencucian uang merupakan salah-satu bentuk dari kejahatan lintas batas yang terorganisasi sehingga hambatan-hambatan otoritas administratif dan otoritas yudisial dapat diselesaikan melalui bentuk-bentuk kerja sama internasional, baik secara bilateral maupun multilateral.
• Memperleuas fungsi dan wewenang PPATK sebagaimana FinCEN (Financial Crime Enforcement Network) Amerika Serikat dimana tugas FinCEN sebagai Financial Intelligence Unit yang memiliki hak untuk melakukan penyidikan dan penuntutan. Hal tersebut didasari oleh kinerja penyidik di tingkat kepolisian dan kejaksaan belum memiliki integritas dan dedikasi yang tinggi dalam upaya pemberantasan kejahatan money laundering. Hanya beberapa perkara saja yang mampu divonis dengan putusan pencucian uang dari banyaknya perkara yang didakwa.
Demikian saran yang cukup relevan dalam upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan pencucian uang. Terlepas dari itu semua teori Friedmen tentang efektifitas berlakunya hukum yakni struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum harus dipandang sebagai suatu perspektif untuk mencegah dan memberantas kejahatan pencucian uang sebagai bentuk kejahatan lintas negara terorganisasi di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Amrullah, M Arief: Tindak Pidana Pencucian Uang, Malang: Penerbit Bayu Media, 2004.
Atmasasmita, Romli : Pengantar Hukum Pidana Internasional, Bandung: Refika Aditama, 2000.
Effendi, Mansyur: Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia, Bogor: Ghalia Indonesia,2005.
Fuady, Munir :Hukum Perbankan Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya, 2001.
Irianto, Sulistyowati, dkk: Perdagangan Perempuan Dalam Jaringan Perdagangan Narkotika. Jakarta: Yayasasn Obor, 2005.
Mapaung, Leden :Kejahatan Perbankan, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1993.
Mauna, Boer: Hukum Internasional, Pengetian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. Jakarta: Penerbit Alumni, 2005.
Moelyatno: Asas-Asas Hukum Pidana, Banding: Refika Aditama: 1987.
Muladi: Konsep Indonesia Tentang Tindak Pidana di Bidang Perekonomian. Bandung: Alumni, 1992.
Nasarudin, M.Irsan, dkk: Aspek Hukum Pasar Modal. Jakarta: Kencana, 2004.
________. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: BP Undip, 1995.
S dan M Thomas: Buku Penuntun Membuat Tesis, Skripsi, Disertasi, Makalah, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta, 2002.
Arief, Barda Nawawi: Tindak Pidana Mayantara, perkembangan kajian cyber crme di Indonesia ,Jakarta: PT Raja Grafindo Persadan, 2006.
___________, Beberapa Masalah Perbandingan Hukum Pidana , Jakarta: Rajawali Press,2004.
Pathriana, I Wayan .Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi. Bandung: Penerbit Yrama Widya, 2004.
Paredede, Marulak. Hukum Pidana Bank . Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995.
Robinson, Jeffrey: The Laundryman. Simon and Sculter. 1994
Sjahdeni, Remy : Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, Jakarta: PT Temprint, 2004.
Starke,J.G : International Law Introduction terjemahan dalam bahasa Indonesia, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2004.
__________: International Law Introduction terjemahan dalam bahasa Indonesia, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2004.
Sudarto : Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1983.
_______, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, kajian terhadap pembaharuan hukum pidana , Bandung:Sinar Baru,1983.
Siahaan, NHT: Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan. Jakarta: Sibar Harapan, 2005.
Singgih. Kejahatan Korporasi yang Mengerikan. Jakarta: Penerbit Universitas Pelita Harapan,2005.
Soekanto, Soerjono: Pengantar Penelitian Hukum, Peberbit Universitas Indonesia, Jakarta,2005.Nasution,
_________________, Tata Cara Penyusunan Karya Ilmiah Bidang Hukum, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983.
_________________ dan Sri Mamudji: Penelitian Hukum Normatif, Penerbit Rajawali Press, Jakarta, 2006.
Thontowi, Jawahir: Hukum Internasional di Indonesia, Penerbit Madya Press, Yogyakarta, 2002.
Istrumen Hukum Internasional dan Hukum Nasional
Dokumen PBB No. E/CONF.88/2 tanggal 18 Agustus 1994 dan telah dibicarakan dalam World Ministerial Conference on Organized Transnationa; Crime di Naples,21-23 November 1994 dengan tema Problem and Dangers Posed by Organized Transnational Crime in the Various Regions of the World, untuk disampaikan dalam Kongres PBB ke-9 tentang Prevention of Crime and the Treatment of Offenders di Kairo, 29 April-8 Mei 1995,hal.17-22.
Tenth United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, Vienna,10-17 April 2000, A/CONF.187/9.
Financial Action Task Force on Money Laundering, Basic Facts about Money Laundering .http://www1.oecd.org/fatf/Mlaundeing_en.htm, diakses tanggal 15 September 2006.
UN Office for Drug Control and Crime Prevention, Conventions Against Terrorism. http:///www.odccp.org/odccp/terrorism_conventions.html, diakses 15/9/2006.
United Nations Convention Against Transnational Organized Crime, 2000.
United Nations Convention Against Corrupstion, 2003.
United Nations Convention for the Supression of the Financing Terrorism, 2000.
Vienna Conventioan 1969 Againt International Treaty.
United Nations Protocol to Suppress, Prevent and Punish Trafficking in Persons especially Women and Children supplementing the Convention against Transnational Organized Crime.
Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Perubahan Undang-Undang No. 20 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Internet/ Jurnal/Makalah/Majalah
Atmasasmita, Romli: Efektifitas Pemberantasan Pencucian Uang di Indonesia, http:/www.google.com/pencucian_uang/, diakses tanggal 15/9/2006.
BEI News: Jalan Perilaku Memberentas Money Laundering, http:/www.google.com/pencucian_uang/, diakses tanggal 15/9/2006.
Financial Action Task Force on Money Laundering. The Forty Recommendations. http://www.fatf-gafi.org/40recs.
Friedman, Thomas L. The Lexus and the Olive Tree: Understanding Globalization, New York, NY: Farrar, Straus, Giroux, 1999, dalam William r. Schroeder, Money laundering; A global threat and the international Community’s response, http://www.moneylaundering/ theory, http://www.yahoo.com/
Gerhard O. W. Mueller, Transnational Crime, Definitions and Concepts:, dalam P. Williams dan D. Vlassis (eds), Combating Transnational Crime, a Special Issue of Transnational Organized Crime, 4 (3&4), Autum/Winter 1998, hal 18 dalam Ralf Emmers,The Securitization of Transnational Crime in ASEAN, Institute of Defence and Strategic Studies Singapore No. 39, November 2002, htpp:/www.moneylaundering.com/.
Hendar, Frans: Tindak Pidana Pencucian Uang Merupakan Buah Simalakam”, http:/www.google.com/pencucian_uang/, diakses tanggal 15/9/2006.
Husein, Yunus: Hubungan Antara Kejahatan Peredaran Gelap Narkoba dan Tindak Pidana Pencucian Uang ,http:/www.google.com/pencucian_uang/, diakses tanggal 15/9/2006.
Muttaqien, Khoirul: Indonesia Keluar dari NCCT List: Apa Pengeruh dan Konsekuensinya bagi Pasar Modal Indonesia . http:/www.google.com/pencucian_uang/, diakses tanggal 15/9/2006.
FATF, Non Cooperative Countries and Territories. NCCT Inisiative.htm, 20 June 2003. http://www.fatf-gafi.org.
Attina, Fulvio Globalization and crime, The emerging role of international institutions, Working Paper, Department of Political Studies - University of Catania, Pebruari 1997.
Emmers, Ralf: The Securitization of Transnational Crime in ASEAB, Working Paper No. 39, Institute of Strategic Studies Singapore,2002.
Elvani, Malkian, Ceramah : Pencucian Uang Sebagai Kejahatan Terorganisasi, Fakukltas Hukum Unsri, disampaikan pada seminar Anti-Money Laundering, Palembang , 22 September 2005.
FATF Annual Report 2003-2003, 20 Juni 2003.
Thontowi, Jawahir Pemberantasan Terorisme dalam Kaitannya dengan Penyelundupan Obat Terlarang, Senjata, dan Pencusian Uang di Kawasan Asia, Jurnal Hukum. No. 21 Vol. 9, September 2002.
McFarlane, John dan Keren McLennan: Trannational Crime : The New Security Paradigm, Working Papaer No. 19, Canberra: Strategic and Defence Studies Centre, Australia National University, 1996.
Muladi: Hukum Positif Indonesia dalam Penanggulangan Kejahatan Lintas Negara, Makalah disampaikan pada Lokakarya Kerja Sama ASEAN dalam Menanggulangi Kejahatan Lintas Negara, Dirjen Kerja Sama Deplu RI, Semarang, 25 September 2001.
Pusat Pelaparan dan Analisis Transasksi Keuangan (PPATK), Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang oleh Penyedia Jasa Keuangan, Lampiran Keputusan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor: 2/1/KEP.PPATK/2003.
Ramli, Ahmad M Malakah dalam Ceramah, Prinsip-Prinsip Cyber Law dan Kendala Hukum Positif dalam Menanggulangi Cyber Crime:, Dalam Rangka Seminar Money Laundering di Universitas Padjajaran, Bandung, 30 Desember 2004.
Setiono, Bambang. Menggunakan UU Anti Money Laudering Untuk Memerangi Kejahatan Kehutan di Indonesia , Center for International Forestry Research (CIFOR),2002.
_____, Annual Report 2000-2001, 22 June 2001.
Indonesia, Australia TAMF. Laporan Pendahuluan Tentang Indonesia Sehubungan Dengan Kriteria Penilaian Negara-negara dan Wilayah-Wilayah yang Tidak Kooperatif, 19 Mei 2001.
Printing paper, ASEAN Cooperation in Combating Transnational Crime, di dapat dari Sekretariat ASEAN, Pebruari 2005.
US Government, Secretary of the Treasure and Attorney General, The National Money Strategy 2000, US Government, March 2000.
PENDAHULUAN
Transnational Organized Crime has been serious problem for most of the 20th century, but it has only recently been recognized as a threat to world order. This criminality undermines the integrity of individual countries, but it not yet e threat to the nation-state. Failure to develop viable, coordinated international policies in the face of ever-growing transnational criminality, however, may undermine the nation-state in the 21st century.
The struggle against organized or transnational crimes will be the defining security concern of the twenty-first century.
Komentar Shelley dan Mark diatas memberikan sinyal kepada aktor internasional khususnya negara untuk bersiap menghadapi berbagai kejahatan transnasional yang semakin “agresif” di abad 2I ini. Kejahatan transnasional terorganisasi (transnational organized crimes) dengan segala manifestasinya berusaha membangun jejaring disegala pojok bumi. Menghadapi ancaman ini kerja sama internasional adalah sebuah keniscayaan. Tak terkecuali di tingkat regional. Organisasi yang mewadahi kerja sama regional-pun berinisiatif membuat kesepakatan dan komitmen baru guna mengantispasi, menghalangi dan memerangi kejahatan yang melintas batas yuridiksi ini. Misalnya kerja sama regional di Asia Tenggara, ASEAN. Sebagai respon maraknya kejahatan transnasional, sejak tahun 1995 ASEAN telah mengadakan rangkaian pertemuan yang mencapai titik kulminasi dengan disepakatinya ASEAN Security Community 2004 di Vientien, Laos bulan Oktober tahun lalu. Tidak dapat dipungkiri bahwa tindak kejahatan transnasional kini semakin ektensif. Teror yang dilakukan oleh kelompok tertentu semakin mengancam stabilitas keamanan ASEAN.
Ancaman yang datang bukan dalam bentuk tradisional, akan tetapi lebih bersifat abstrak dan sulit diprediksi. Perdagangan manusia dan obat terlarang (drug and human trafficking), pencucian uang (money laundering), perdagangan kayu ilegal (ilegal logging), penyelundupan senjata (arms smuggling) perompakan di jalur laut strategis merupakan ancaman dalam bentuknya yang lain. Permasalahan semakin rumit manakala muncul kejahatan lintas negara yang menggunakan sistem teknologi komunikasi dan informasi seperti penipuan kartu kredit (credit card fraud), pemalsuan produk (product counterfeiting), serta pemalsuan atau kecurangan dokumen-dokumen perjalanan (fraudulent travel documents). Sebagai akibatnya pertumbuhan ekonomi dan stabilitas keamanam kawasan Asia Tenggara khususnya negara-negara yang tergabung dalam ASEAN mengalami hambatan. Oleh Karena itu antisipasi dengan mengedepankan kerja sama regional mutlak dilakukan.
Era globalisasi ditandai dengan munculnya teknologi informasi dan komunikasi yang memungkinkan interaksi individu antar negara makin intensif. Komunikasi dan pertukaran informasi bisa dengan cepat dilakukan. Munculnya teknologi informasi dan komunikasi disatu sisi “menyerdahanakan dan memuaskankan” kerja, baik individu maupun suatu organisasi. Namun, di sisi lain juga menjadi instrumen bagi para pelaku kriminal untuk menaikkan intensitasnya operasinya baik pada tataran domestik maupun global seperti yang dikemukakan Thomas L. Friedman bahwa teknologi mendorong terjadinya globalisasi yang melibatkan integrasi global, bahkan lebih jauh menurutnya dunia seolah menjadi kampung global (global village). Dampak dari hubungan lintas batas dari globalisasi ini pada gilirannya mengakibatkan masyarakat, negara, dan pemerintah tidak mampu untuk memenuhi keamanan individu, pertumbuhan ekonomi, perlindungan sosial, bahkan hak-hak individu itu sendiri.
Kejahatan yang memiliki jaringan antar negara ini selanjutnya disebut kejahatan transnasional (transnational crime atau trasnational organized crime). Dalam definisi yang dikeluarkan Perserikatan bangsa-Bangsa (PBB) transnational crime diartikan sebagai suatu kejahatan yang memiliki dampak langsung maupun tidak langsung dengan melibatkan lebih dari satu negara, “as offences whose inception, prevention and/or direct or indirect effects involve more than one country”. Ditambahkan Fulvio Attina bahwa kejahatan transnasional memiliki struktur hirarkis dalam melakukan tindakan-tindakan illegal, a crime committed by groups of people equipped with stable, generally hierarchical organization which perpetrate illegal actions, usually with violent means, in order to enrich themselves without consideration for international frontiers.
Kejahatan yang melemahkan kredibilitas negara ini memiliki beragam bentuk. PBB mengidentifikasikan 18 bentuk kejahatan transnasional yakni: pencucian uang (money laundering) , terorisme, pencurian seni dan objek budaya (theft of art and cultural object), pencurian kekayaan intelektual (theft of intellectual property), perdagangan senjata gelap (illicit traffict in arms), pembajakan pesawat terbang (aircraft hijacking), pembajakan di laut (sea piracy), penipuan asuransi (insurance fraud), kejahatan komputer (computer crime) kejahatan lingkungan (environmental crime), perdagangan manusia (trafficking in person), perdagangan anggota tubuh manusia (trade in human body part), perdagangan obat bius (illicit drug trafficking), kebangkrutan bank (Fraudulent Bankruptcy), bisnis illegal (infiltration of illegal bussines), korupsi dan penyogokan pejabat pemerintah (corruption and bribey of public officials), dan kejahatan yang dilakukan oleh kelompok terorganisasi lainnya (and others offences commited by organized criminal group). Alan Castle menyebutkan walaupun tidak menyeluruh, namun kejahatan transnasional menurutnya dapat dikelompokan sebagai berikut: money laundering, perdagangan gelap narkotika dan psikotrapika, penyelundupan senjata, penyelundupan bahan nuklir, penyelundupan manusia (anak dan wanita), penggelapan pajak, korupsi dan terorisme. Sementara itu pada tahun 1997 dalam deklarasinya di Manila, Filipina, ASEAN sepakat menggolongkan kejahatan transnasional berupa: money laundering, terorisme, perdagangan obat terlarang, penyelundupan senjata, penyelundupan manusia dan pembajakan.
Kejahatan transnasional sebagaimana sifatnya yang merusak tatanan keamanan dan ekonomi suatu negara merupakan suatu aktifitas yang dilakukan aktor-aktor professional, terlatih dan memiliki keberanian dan loyalitas yang tinggi terhadap kelompok dan jaringan pasar internasional dan nasional, demikian dikatakan Jawahir Thontowi. Ironisnya, dalam mengatasi kejahatan transnasional seringkali harus menghindari penggunaan cara-cara militer. Hal sangat bertentangan secara diametral dengan agenda keamanan selama ini yang biasanya direspons secara militeristik dalam mengatasi ancaman-ancaman yang dianggap merongrong kewibawaan negara. Uniknya penggunaan cara-cara non-militer sesuai dengan prinsip dan modalitas yang telah disepakati Association of Southeast Asia Nations (ASEAN) selama ini. Menurut Ralf Emmers sejak awal pendiriannya tanggal 8 Agustus 1976 negara-negara ASEAN menolak untuk mengadakan kerja sama militer.
Memang, kesepakatan-kesepakatan yang dibuat ASEAN selanjutnya tidak satupun yang menunjukkan kerja sama militer, bahkan justeru berusaha membangun kawasan yang damai dengan menghindari perlombaan senjata dan penggunaan kekerasaan dalam menyelesaikan setiap konflik. Usaha tersebut tercermin dalam kesepakatan-kesepakatan seperti; Zone of Peace, Freedom and Nuetrality Declaration (1971), Declaration of ASEAN Concord (Bali Concord/ 1976), Treaty of Amity and Cooperation in Sotheast Asia (1976), ASEAN Declaration on South China Sea (1992), Treaty on the Southeast Asia Nueclear Weapon-Free Zone (1995). Bahkan ASEAN kini telah membangun mekanisme penyelesaian konflik secara damai dengan negara-negara luar kawasan dengan membuat ASEAN Regional Forum (1995).
Semakin rumitnya penanganan transnational organized crime menjadikan kejahatan ini sebagai common enemy yang merupakan sebuah agenda bersama negara-negara dunia dalam upaya pencegahan dan penindakan kejahatan tersebut. Perkembangan kejahatan transnasional terorganisasi ini bersintesa dengan perkembangan teknologi dan komunikasi yang mengubah begitu cepat prilaku dan peradaban manusia secara global. Perkembangan teknologi dan informasi telah pula menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial yang secara signifikan berlangsung demikian cepat.
Perubahan teknologi, komunikasi dan infomasi inilah yang menjadikan perubahan dimensi hidup manusia termasuk juga kejahatan. Munculnya berbagai bentuk kejahatan dalam dimensi baru, akhir-akhir ini, menunjukan bahwa kejahatan berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat termasuk kejahatan pencucian uang. Hal itu sebagaimana yang ditulis oleh Benedict S.Alper sebagaimana dikutip oleh Arief Amrullah bahwa kejahatan sebenarnya merupakan problem sosial yang paling tua. Sehubungan dengan ini maka telah tercatat 80 kali konferensi internasional yang dimulai pada tahun 1825 hingga tahun 1970. Konferensi-konferensi ini membahas upaya-upaya untuk mengatasi persoalan kejahatan. Bahkan, Kongres PBB ke-5 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders yang diselenggarakan di Jenewa tahun 1975 memfokuskan pembicaraan mengenai crime as business at the national and transnational levels yang meliputi organized crime, white-collar crime, dan corruption. Crime as business diakui sebagai ancaman serius terhadap masyarakat dan ekonomi nasional dibandingkan dengan bentuk kejahatan tradisional salah-satu bentuk kejahatan bisnis yang menjadi ancaman ini adalah money laundering yang pada saat ini, lebih dari sebelumnya, pencucian uang, sudah merupakan fenomena dunia dan merupakan tantangan internasional.
Munir Fuady mengemukakan pendapat bahwa dalam sejarah hukum bisnis munculnya money laundering dimulai dari negara Amerika Serikat tahun 1830. Pada waktu itu banyak orang yang membeli perusahaan dengan uang hasil kejahatan (uang panas) seperti hasil perjudian, penjualan narkotika, minuman keras secara ilegal dan hasil pelacuran. Pusat-pusat gengster besar yang piawai masalah pencucian uang di Amerika Serikat yang terkenal dengan nama kelompok legendaris Al Capone (Chicago). Meyer Lansky memutihkan uang kotor milik kelompok Al Capone dengan mengembangkan pusat perjudian, pelacuran, serta bisnis hiburan malam di Las Vegas (Nevada). Lalu dikembangkan lagi offshore banking di Havana (Cuba) dan Bahama. Kegiatan pencucian uang yang dilakukan oleh kelompok Meyer Lansky sehingga membuat ia dijuluki bapak Money Laundering Modern.
BAB II
PEMBAHASAN
Supervisors around the world are increasingly recognizing the importance of ensuring that their banks have adequate controls and procedures in place so that they know the customers with whom they are dealing. Adequate due diligence on new and existing customers is a key part of these controls. Without this due diligence, banks can become subject to reputational, operational, legal and concentration risks, which can result in significant financial cost. Whereas ensuring that credit and financial institutions require identification of there customers when entering into business relations or conducting transactions, exceeding certain thresholds, are necessary to avoid launderers' taking advantage of anonymity to carry out their criminal activities; whereas such provisions must also be extended, as far as possible, to any beneficial owners.
The principle of Know Your Customer (KYC) has been the backbone of anti-money laundering and counter terrorist financing measures which have been introduced to financial service providers in recent years, and this should also be the case for the MVT service sektor. Customer identification.
Requirements in the formal financial sektor have had a deterrent effect, causing a shift in money laundering activities to other sektors.
Transaksi Bank dan Prinsip Mengenal Nasabah
Transaksi di bank dalam bentuk simpanan diharuskan untuk menyerahkan identitas cera lengkap dan benar. Hal tersebut berlaku terhadap semua calon nasabah, baik perorangan maupun korporasi. Data-data yang dibutuhkan oleh bank tercantum dalam formulir yang harus diisi oleh calon nasabah. Ini merupakan suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh calon nasabah apabila ingin bertransaksi (menyimpan dananya) dengan bank.
Kewajiban demikian juga berlaku bagi perorangan atau korporasi yang menempatkan dananya dalam bentuk reksa dana dan yang membeli efek, apakah efek atas nama maupun atas unjuk. Pihak Penyelenggara Jasa Keuangan (PJK) seperti: bank, pengelola reksa dana dan perusahaan efek, dan lain-lain diwajibkan memiliki catatan lengkap dan benar mengenai identitas nasabahnya.
Ketentuan Pasal 17 di atas merupakan keharusan bagi pihak lembaga keuangan, khususnya bank untuk hati-hati mengelola segala sesuatu yang berhubungan dengan transaksi bank beserta para nasabahnya. Bank diharuskan supaya lebih menerapkan prinsip kehati-hatian sebagaimana ditentukan dalam prudential regulation.
Bahkan lebih dari sekadar untuk tidak merugikan dirinya dilihat dari sudut profit, maka bank demi menghindarkan ancaman hukum pidana harus pula mengetahui persis tentang keadaan dan identitas dari para nasabahnya. Tidak cukup hanya sekedar formalitas demi untuk memperoleh dana pemasukan simpanan/deposito kepada banknya dari para nasabah. Kewajiban sama pula kepada para nasabah penerima kredit, penerima transfer, bahkan para pengguna instrumen-¬instrumen lain dalam lalu lintas perbankan.
Transaksi keuangan mencurigakan (suspicious transaction) merupakan pola pengidentifikasian atas kegiatan-kegiatan transaksi dalam lingkup jasa keuangan yang patut dicurigai berindikasi tindak pidana di bidang/lingkup transaksi keuangan. Pola pengidentifikasian ini perlu dipahami, khususnya oleh lembaga Penyedia Jasa Keuangan, agar dengan demikian, dapat dilakukan pelaporan kepada PPATK.
Transaksi keuangan meliputi semua aktivitas yang menimbulkan hak atau kewajiban, melahirkan hubungan hukum antara berbagai pihak, di dalamnya termasuk transfer dan atau pemindahbukuan sejumlah dana yang dilakukan oleh lembaga penyedia jasa keuangan. Penyedia Jasa Keuangan adalah korporasi atau orang perorangan yang menyediakan jasa di bidang keuangan, termasuk jasa-jasa yang erat terkait dengan keuangan. Berbagai penyedia jasa keuangan antara lain bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing (money changer) , dana pensiun, perusahaan asuransi, kantor pos. Pihak-pihak inilah yang diwajibkan untuk mengidentifikasi kegiatan-kegiatan bisnis keuangan yang mencuri¬gakan (suspicious transaction).
Dalam UUPU No. 15 Tahun 2000, pengertian transaksi ke¬uangan mencurigakan hanya dirumuskan secara limitatif. Kemu¬dian dengan adanya pengubahan melalui UU No. 25 Tahun 2003, pengertiannya diperluas dalam 3 (tiga) sifat/keadaan, sebagai¬mana didapati dalam Pasal 1 butir 7. Khusus dengan tugas-tugas perbankan yang berhubungan dengan masalah transaksi keuang¬an mencurigakan (suspicious transaction) ini, akan dijelaskan pada bab di depan tentang prinsip-prinsip Know Your Customers .
Adapun transaksi keuangan dikategorikan sebagai mencurigakan apabila di dalam suatu transaksi keuangan didapati keadaan sebagai berikut:
• Apabila transaksi itu menyimpang dari biasanya dari sang nasabah bersangkutan, dan hal demikian dapat dilihat dari profil, karak¬teristik, atau kebiasaannya. Misalnya si nasabah tidak memiliki tujuan ekonomis dan bidang usaha yang jelas; menyimpan atau mengambil uang dalam jumlah relatif banyak atau secara berulang ulang. Atau transaksi yang dilakukan nasabah tidak biasa atau di luar hal wajar;
• Apabila transaksi patut diduga dilakukan untuk menghindari kewajiban pelaporan transaksi oleh Penyedia Jasa Keuangan;
• Transaksi yang dilakukan dengan menggunakan dana atau harta kekayaan yang diduga berasal dan merupakan hasil tindak pidana. Termasuk juga dapat dikategorikan sebagai telah “merupakan” transaksi mencurigakan sekalipun tran¬saksi itu batal dilakukan tetapi transaksi keuangan demikian berasal dari kejahatan.
Semua jenis transaksi demikian harus dipantau dengan prinsip-prinsip yang telah ditentukan peraturan perundang¬-undangan perbankan guna lebih mempermudah pengidentifi¬kasian kejahatan money laundering dan itulah yang kemudian disebut dengan prinsip mengenal nasabah.
Prinsip Mengenal Nasabah, lazim dikenal dengan Know Your Customers Principle (KYCP) ini seharusnya memang menjadi penekanan penting bagi lembaga keuangan Indonesia. Hal demikian ditekankan dalam berbagai prinsip organisasi internasional.
Beberapa contoh hal yang perlu dievaluasi oleh Indonesia dalam mengantisipasi money laundering antara lain adalah dalam hal-hal:
• Tidak adanya atau kurang memadainya peraturan dan pengawasan lembaga-lembaga keuangan. Berdasarkan UU No 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan UU No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, terdapat dua jenis bank. Masing-masing dengan Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat.
Kedua jenis bank ini diperiksa izin untuk melaksanakan kegiatan menerima tabungan dan memberikan pinjaman.
Bank Indonesia (BI) mengeluarkan peraturan yang melarang modal bank atau dana yang digunakan untuk membeli saham bank tidak boleh merupakan dana yang berasal dari atau untuk tujuan money laundering, namun tidak ada laporan tentang langkah-langkah yang telah diambil dalam money laundering itu.
Berdasarkan Peraturan BI tentang Pemantauan Kegiatan Arus Valuta Asing Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank, bank wajib mengumpulkan data nasabah dalam transaksi valas yang dilakukan melalui dampak positif untuk mencegah money laundering, namun masih belum menyeluruh dalam pencegahan dan pendeteksian pencucian uang dalam usaha perbankan.
• Belum ada pedoman khusus yang dikeluarkan oleh BI, Bapepam, instansi atau asosiasi industri lain kepada bank atau lembaga keuangan nonbank, yang mengharuskan mereka menyusun kebijakan, prosedur atau kendali yang memadai untuk mencegah money laundering. Demikian pula tidak ada kesepakatan di antara asosiasi industri perbankan, lembaga keuangan dan lembaga keuangan nonbank untuk mencapai tujuan tersebut.
• Dalam melaksanakan uji kelayakan dan kepatutan atas pemegang saham mayoritas, direksi dan pejabat eksekutif dari sebuah bank umum, BI akan memastikan agar orang-¬orang yang bersangkutan tidak termasuk dalam daftar orang tercela dan dianggap memiliki integritas tinggi untuk menja¬lankan peran mereka masing-masing di bank tersebut. Per¬syaratan menunjuk kepada Basle Core Principles for Effec¬tive Banking Supervision. Namun, persyaratan itu tidak berlaku untuk bank-bank perkreditan rakyat, walaupun BI me¬nyatakan telah mengeluarkan pedoman wawancara untuk mengurus bank perkreditan rakyat pada tahun 2000 untuk mendapatkan informasi tentang kemampuan para pengurus untuk mengelola bank. Pedoman wawancara tersebut tidak tersedia untuk penilaian lebih lanjut.
Peraturan BI tentang Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer)
Melihat arus sorotan hingga jatuhnya vonis “black list” ke pada negara Indonesia, maka pada tanggal 18 Juni 2001 Bank Indonesia mengeluarkan peraturan mengenai pentingnya diterapkan oleh bank-bank tentang penerapan mengenali nasabah. Peraturan mengenai penerapan prinsip tersebut tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia No 3/10/PBI/2001 Lembaran Negara 2001 No 78, Tambahan Lembaran Negara No 4107. Peraturan Bank Indonesia, selanjutnya disebut PBI ini mengatur tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles-KYCP).
Peraturan ini kemudian diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No 3/23/PBI/2001 tertanggal 13 Desember 2001 (Lembaran Negara 2001 No 151, Tambahan Lembaran Negara No 4160). Bersamaan dengan Perubahan Peraturan Bank Indonesia tersebut, dikeluarkan pula Surat Edaran Bank Indo¬nesia No 3/29/DPNP Perihal Pedoman Standar Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
Peraturan BI ini, seperti diakui oleh BI sendiri dalam kete¬rangan persnya tidak secara mutlak mengatur tentang money laundering. Namun dengan KYCP, yakni mengetahui latar belakang nasabah dan usahanya secara seksama, menumbuhkan rasa curiga terhadap keganjilan-keganjilan arus masuknya dana ke rekening nasabah, bisa menjadi tindak preventif bagi kemungkinan terjadinya money laundering.
Prinsip mengenal nasabah diartikan sebagai prinsip yang diterapkan bank untuk mengetahui segala sesuatu yang berhu¬bungan dengan identitas nasabah yang dilanjutkan kemudian dengan memantau kegiatan transaksi nasabah dan bilamana terdapat kegiatan transaksi yang mencurigakan supaya dila¬porkan. Kewajiban pokok dari lembaga bank dalam KYCP terdiri dari 4 (empat) hal, yakni:
• Menetapkan kebijakan penerimaan nasabah;
• Menetapkan kebijakan dan prosedur dalam mengiden¬tifikasi nasabah;
• Menetapkan kebijakan dan prosedur pemantauan terhadap rekening dan transaksi nasabah;
• Menetapkan kebijakan dan prosedur manajemen risiko PBI ini menentukan, sebelum melakukan transaksi dengan nasabah, bank wajib meminta informasi mengenai antara lain identitas calon nasabah, maksud dan tujuan diadakan transaksi dan meminta informasi lainnya serta identitas lain yang lebih lengkap.
Calon nasabah dibedakan dalam 4 (empat) golongan, meliputi:
1. Nasabah perorangan;
2. Nasabah perusahaan;
3. Nasabah kelembagaan;
4. Nasabah bank.
a. Untuk Nasabah perorangan
Ditentukan supaya paling sedikit, dokumen pendukung yang diperlukan meliputi: identitas nasabah (nama, alamat domisili, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan); keterangan mengenai pekerjaan, specimen tanda tangan dan keterangan sumber dana dan penggunaan dana.
b. Nasabah Perusahaan
Sekurang-kurangnya bagi nasabah perusahaan tergolong kecil, disyaratkan:
• akte pendirian/anggaran dasar;
• izin usaha atau izin lain;
• nama, specimen tanda tangan, surat kuasa;
• keterangan sumber dan penggunaan dana;
Sedangkan bagi perusahaan yang tergolong di luar golongan kecil:
• akte pendirian/anggaran dasar;
• izin usaha;
• NPWP;
• Laporan keuangan perusahaan atau deskripsi kegiatan usaha;
• Struktur manajemen perusahaan;
• Dokumen identitas pengurus yang mewakili perusahaan;
• Nama, specimen tandatangan, kuasa yang ditunjuk untuk melakukan hubungan usaha dengan bank;
• Keterangan sumber dana dan tujuannya.
Nasabah kelembagaan, yakni lembaga pemerintah, lembaga internasional, dan perwakilan asing:
• nama;
• specimen tanda tangan;
• surat penunjukan bagi yang berwenang mewakili.
Nasabah berupa bank:
• akte pendirian/anggaran dasar bank;
• izin usaha;
• nama;
• specimen tandatangan;
• surat kuasa melakukan hubungan usaha dengan bank.
Bank yang telah menggunakan media elektronis, wajib melakukan pertemuan dengan calon nasabah, sekurang-kurangnya pada saat pembukaan rekening. Jadi di sini dibutuhkan supaya berhadapan fisik (face to face principle).
Dalam melayani calon nasabah yang bertindak sebagai pe¬rantara atau kuasa pihak lain (beneficial owner), bank wajib memperoleh dokumen pendukung identitas dan hubungan hukum, penugasan, serta kewenangan bertindak sebagai benef¬icial owner. Jika calon nasabah merupakan bank lain di dalam negeri, verifikasi atau konfirmasi atas identitas beneficial owner dilakukan oleh bank lain di dalam negeri tersebut.
Tetapi jika si calon nasabah merupakan bank lain di luar negeri di mana bank tersebut telah menerapkan Know Your Customer Principle, bank cukup menerima pernyataan tertulis bahwa identitas beneficial owner telah diperoleh dan ditatausa¬hakan oleh bank di luar negeri tersebut.
Pemantauan Rekening dan Transaksi
Setiap bank diwajibkan untuk menatausahakan dokumen-¬dokumen dalam masa sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sejak nasabah menutup rekening pada bank. Diwajibkan pula melakukan pengkinian data jika terdapat perubahan terhadap dokumen-dokumen. Dokumen-dokumen ini bukanlah dokumen sebagaimana dimaksudkan dalam pengertian UU No 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan. Namun dokumen tersebut ialah dokumen-dokumen yang diperlukan di dalam keperluan KYCP ini.
Dalam tujuan memantau rekening dan transaksi nasabah ini, bank diwajibkan untuk memiliki sistem informasi yang dapat mengidentifikasi, menganalisa, memantau dan menyediakan laporan secara efektif mengenai karakteristik transaksi oleh nasabah bank (Pasal 9). Sistem informasi demikian perlu guna memungkinkan bank dapat menelusuri setiap transaksi, karena hal ini diperlukan untuk keperluan di dalam bank atau BI, juga dalam hal adanya kasus peradilan.
Setiap bank diwajibkan untuk memelihara profil nasabah, yang meliputi informasi mengenai:
• pekerjaan atau bidang usaha;
• jumlah penghasilan;
• rekening lain yang dimiliki;
• aktivitas transaksi normal; dan
• tujuan pembukaan rekening.
Manajemen Risiko dan Pelaporan
Manajemen risiko adalah menetapkan beberapa kebijakan dalam suatu organisasi supaya risiko yang akan terjadi dapat dihilangkan atau diperkecil sedapat mungkin dengan cara mem¬fungsikan unit-unit yang sudah ada. Manajemen demikian perlu ditempuh untuk mengurangi be¬berapa hal seperti operational risk, legal risk, concentration risk atau reputational risk. Operational risk, yakni suatu risiko di mana bank tidak dapat melakukan kegiatan operasionalnya secara normal karena misalnya ada kesalahan dan penyalahgunaan wewenang, ketidakpastian terhadap ketentuan, kele¬mahan struktur pengendalian intern, prosedur yang tidak mema¬dai, gangguan sistem informasi manajemen dan komunikasi, gangguan sistem pembayaran bank.
Kebijakan manajemen risiko yang ada dalam suatu bank, diharuskan untuk memasukkan unsur-unsur kebijakan mana¬jemen risiko yang berkaitan dengan penerapan KYCP Dalam rangka ini maka manajemen risiko meliputi beberapa aspek:
• Aspek management oversight, yakni pengawasan oleh pimpinan bank, misalnya dilakukan oleh Dewan Komisaris atau melalui Direktur Kepatuhan bank
• Aspek pendelegasian wewenang, yakni memberikan kewe¬nangan kepada unit-unit terkait dalam bank;
• Aspek pemisahan tugas, yakni melakukan pemisahan fungsi operasional dan pengawasan intern;
• Aspek internal supervision, yakni aspek yang berhubungan dengan sistem pengendalian intern, baik yang bersifat fungsional maupun melekat;
• Aspek training untuk karyawan, yakni aspek yang bertujuan supaya para karyawan yang menangani secara teknis KYCP memiliki integritas dan kemampuan yang trampil.
Personil khusus ini menangani masalah-masalah bersifat high risk ini juga:
• Nasabah yang dianggap berisiko tinggi;
• Nasabah termasuk penyelenggara negara;
• Transaksi-transaksi yang dianggap mencurigakan (suspicious).
Mengenai pelaporan diatur di dalam Pasal 13. Semula masalah pelaporan ini di dalam PBI No 03/10/PBI/2001 tanggal 18 Juni 2001 sifat pengaturannya tidak begitu mendetil, karena hanya menetapkan kewajiban bagi bank untuk menyampaikan fotokopi kebijakan dan prosedur yang dibuat kepada BI paling lambat 6 bulan setelah diterapkannya PBI. Lalu kemudian materi ketentuan Pasal 13 ini dirubah dengan PBI No 3/23/PBI/ 2001 tanggal 13 Desember 2001 di mana sifat ketentuannya diperdetil.
Masalah yang diatur di dalam Pasal 13 yang telah dirubah adalah antara lain:
• Penyusunan kebijakan dan prosedur KYCP supaya mengacu kepada Pedoman Standar Penerapan Mengenal Nasabah sesuai SEBI;
• Menetapkan dan menyampaikan Pedoman pelaksanaan pene¬rapan KYCP kepada BI paling lambat 2 bulan sejak diberlakukannya PBI;
• Setiap perubahan terhadap Pedoman, wajib dilaporkan kepada BI paling lambat 7 hari sejak perubahan;
• Menerapkan KYCP bagi nasabah yang sudah ada, paling lambat 6 bulan sejak berlakunya PBI;
• Melaksanakan program pelatihan kepada karyawan bank mengenai KYCP, termasuk pengkinian database nasabah;
• Menerapkan sistem informasi paling tidak 6 bulan sejak berlakunya PBI.
Bagi bank berbadan hukum Indonesia yang berada di luar negeri, ketentuan KYCP ini jugs berlaku sesuai ketentuan di negara tersebut, yang minimal sama atau bahkan lebih ketat daripada yang diatur oleh PBI. Tetapi bila belum menerapkan atau menerapkan prinsip tersebut namun bersifat lebih longgar, maka ketentuan yang berlaku ialah PBI. Jika dengan penerapan demikian dipandang sebagai pelanggaran bagi ketentuan negara yang ber¬sangkutan, maka diwajibkan segera menginformasikan hal itu ke kantor pusat bank bersangkutan dan Bank Indonesia.
Transaksi Yang Mencurigakan (Suspicious Transactions)
Pasal 14 PBI No. 3/23/PBI/2001 menetapkan supaya setiap transaksi yang mencurigakan (suspicious transactions), pihak bank yang bersangkutan wajib melaporkan kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah diketahui oleh bank bersangkutan.
PBI tidak memberikan pengertian tentang transaksi yang mencurigakan dalam ketentuan umumnya. Tetapi dapat dilihat di dalam penjelasan Pasal 12 dengan istilah “transaksi dengan kategori mencurigakan”. Dimaksudkan di sini ialah transaksi yang tidak sesuai dengan karakteristik dan profil nasabah.
Pengertian di atas lebih elementer jika dibandingkan dengan pengertian yang diberikan oleh UUPU, yang memberikan pengertian yang lebih jelas sebagaimana dapat dilihat di dalam Pasal 1 butir 7, yang diistilahkan dengan “transaksi keuangan mencurigakan”. Pengertian transaksi mencurigakan menurut ketentuan ini dirumuskan sebagai berikut:
“Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah:
• transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan;
• transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini; atau
• transaksi keuangan yang dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana”.
BI dalam peraturan ini membuat 6 (enam) kategori terhadap transaksi yang bersifat mencurigakan (suspicious transaction) sebagaimana biasa digunakan dalam praktik money laundering. Kategori itu ialah:
• Transaksi dengan menggunakan pola tunai berupa antara lain penyetoran dalam jumlah besar yang tidak lazim, penyetoran tanpa penjelasan yang memadai, penyetoran dengan beberapa slip serta penyetoran dalam jumlah besar melalui rekening titipan setelah jam kerja kas;
• Transaksi dengan menggunakan rekening bank. Termasuk dalam kategori ini antara lain pemeliharaan beberapa rekening atas nama pihak lain;
• Transaksi yang berkaitan dengan investasi. Transaksi dengan jenis ini biasanya terkait dengan pembelian surat berharga untuk disimpan di bank sebagai kustodian;
• Transaksi melalui aktivitas bank luar negeri yang di antaranya melalui penghimpunan saldo dalam jumlah besar yang tidak sesuai dengan karakteristik perputaran usaha, serta transfer elektronis tanpa penjelasan yang memadai;
• Transaksi yang melibatkan karyawan bank atau agen di mana terjadi peningkatan kekayaan karyawan bank dalam. Kecuali itu, hubungan transaksi melalui agen yang tidak dilengkapi dengan informasi yang memadai;
• Transaksi pinjam meminjam di mana terjadi pelunasan pinjaman secara tidak terduga, serta permintaan pembiayaan di mana porsi dana nasabah tidak jelas asal usulnya.
Supaya lebih jelas dipahami mengenai apa yang dimaksud dengan transaksi mencurigakan ini, maka di bawah ini dikemu¬kakan beberapa contoh transaksi yang dapat dikategorikan sebagai transaksi mencurigakan (Suspicious Transactions).
Transaksi mencurigakan dengan menggunakan pola transaksi tunai
• Penyetoran tunai dalam jumlah besar yang tidak lazim oleh perorangan atau perusahaan yang memiliki kegia¬tan usaha tertentu dan penyetoran tersebut biasanya dilakukan dengan menggunakan cek atau instrumen non-tunai lainnya;
• Peningkatan penyetoran tunai yang sangat material pada rekening perorangan atau perusahaan tanpa diser¬tai penjelasan yang memadai, khususnya apabila setoran tunai tersebut langsung ditransfer ke tujuan yang tidak mempunyai hubungan atau keterkaitan dengan per¬orangan atau perusahaan tersebut;
• Penyetoran tunai dengan menggunakan beberapa slip setoran dalam jumlah kecil sehingga total penyetoran tunai tersebut mempunyai jumlah sangat besar;
• Penggunaan rekening perusahaan yang lazimnya dilaku¬kan dengan menggunakan cek atau instrumen non-tunai lainnya namun dilakukan secara tunai;
• Pembayaran atau penyetoran dalam bentuk tunai untuk penyelesaian tagihan wesel, transfer atau instrumen pasar uang lainnya;
• Penukaran uang tunai berdenominasi kecil dalam jumlah besar dengan uang tunai berdenominasi besar;
• Penukaran uang tunai ke dalam mata uang asing dalam frekuensi yang tinggi;
• Peningkatan kegiatan transaksi tunai dalam jumlah yang sangat besar untuk ukuran suatu kantor atau Bank;
• Penyetoran tunai yang di dalamnya selalu terdapat uang palsu;
• Transfer dalam jumlah besar dari atau ke negara lain dengan instruksi untuk dilakukan pembayaran tunai;
• Penyetoran dalam jumlah besar melalui rekening titipan setelah jam kerja kas untuk menghindari hubungan langsung dengan petugas Bank.
Transaksi mencurigakan dengan menggunakan rekening Bank
• Pemeliharaan beberapa rekening atas nama pihak lain yang tidak sesuai dengan jenis kegiatan usaha nasabah;
• Penyetoran tunai ke dalam jumlah kecil ke dalam bebe¬rapa rekening yang dimiliki nasabah pada Bank sehingga total penyetoran tersebut mempunyai jumlah sangat besar;
• Penyetoran dan atau penarikan dalam jumlah besar dari rekening perorangan atau perusahaan yang tidak sesuai atau tidak terkait dengan usaha nasabah;
• Pemberian informasi yang sulit dibuktikan atau memerlukan biaya yang sangat besar bagi Bank untuk melakukan pembuktian;
• Pembayaran dari rekening nasabah yang dilakukan setelah adanya penyetoran tunai pada rekening dimaksud pada hari yang sama atau hari sebelumnya;
• Penarikan dalam jumlah besar dari rekening nasabah yang semula tidak aktif atau dari rekening nasabah yang menerima setoran dalam jumlah besar dari luar negeri;
• Penggunaan petugas teller yang berbeda oleh nasabah yang secara bersamaan untuk melakukan transaksi tu¬nai dalam jumlah besar atau transaksi mata uang asing;
• Pihak yang mewakili perusahaan selalu menghindar untuk berhubungan dengan petugas Bank;
• Peningkatan yang besar atas penyetoran tunai atau ne¬gotiable instruments oleh suatu perusahaan dengan menggunakan rekening klien perusahaan, khususnya apabila penyetoran tersebut langsung ditransfer di antara rekening lainnya;
• Penolakan oleh nasabah untuk menyediakan tambahan dokumen atau informasi penting, yang apabila diberikan memungkinkan nasabah menjadi layak untuk memperoleh fasilitas pemberian kredit atau jasa perbankan lainnya;
• Penolakan nasabah terhadap fasilitas perbankan yang lazim diberikan, seperti penolakan untuk diberikan tingkat bunga yang lebih tinggi terhadap jumlah saldo tertentu;
• Penyetoran untuk untung rekening yang sama oleh banyak pihak tanpa penjelasan yang memadai;
Transaksi mencurigakan melalui transaksi yang berkaitan dengan investasi
• Pembelian surat berharga untuk disimpan di Bank seba¬gai kustodian yang seharusnya tidak layak apabila mem¬perhatikan reputasi atau kemampuan finansial nasabah;
• Transaksi pinjaman dengan jaminan dana yang diblokir (back to back deposit/loan transactions) antara Bank dengan anak perusahaan, perusahaan afiliasi, atau institusi di negara lain yang dikenal sebagai negara tempat lalu lintas perdagangan narkotika;
• Permintaan nasabah untuk jasa pengelolaan investasi dengan sumber dana investasi yang tidak jelas sumbernya atau tidak konsisten dengan reputasi atau kemam¬puan financial nasabah;
• Transaksi dengan pihak lawan (counterparty) yang tidak dikenal atau sifat, jumlah dan frekuensi transaksi yang tidak lazim;
• Investor yang diperkenalkan oleh bank di negara lain, perusahaan afiliasi, atau investor lain dari negara yang diketahui umum sebagai tempat produksi atau perdagangan narkotika.
Transaksi mencurigakan melalui aktivitas Bank di luar negeri
• Pengenalan nasabah oleh kantor cabang di luar negeri, perusahaan afiliasi atau bank lain yang berada di negara yang diketahui sebagai tempat produksi atau perdagangan narkotika;
• Penggunaan Letter of Credits (L/C) dan instrumen perda¬gangan internasional lain untuk memindahkan dana antar negara di mana transaksi perdagangan tersebut tidak sejalan dengan kegiatan usaha nasabah;
• Penerimaan atau pengiriman transfer oleh nasabah dalam jumlah besar ke atau dari negara yang diketa¬hui merupakan negara yang terkait dengan produksi, proses dan atau pemasaran obat terlarang atau kegiatan terorisme;
• Penghimpunan saldo dalam jumlah besar yang tidak sesuai dengan karakteristik perputaran usaha nasabah yang kemudian ditransfer ke negara lain;
• Transfer secara elektronis oleh nasabah tanpa disertai penjelasan yang memadai atau tidak dengan menggu¬nakan rekening;
• Permintaan travelers cheques, wesel dalam mata uang asing, atau negotiable instrument lainnya dengan frekuensi tinggi;
• Pembayaran dengan menggunakan travelers cheques atau wesel dalam mata uang asing khususnya yang diter¬bitkan oleh negara lain dengan frekuensi tinggi.
Transaksi mencurigakan yang melibatkan karyawan Bank dan atau agen
• Peningkatan kekayaan karyawan dan agen Bank dalam jumlah besar tanpa disertai penjelasan yang memadai;
• Hubungan transaksi melalui agen yang tidak dilengkapi dengan informasi yang memadai mengenai penerima akhir (ultimate beneficiary).
Transaksi mencurigakan melalui transaksi pinjam meminjam
• Pelunasan pinjaman bermasalah secara tidak terduga;
• Permintaan fasilitas pinjaman dengan agunan yang asal usulnya dari aset yang diagunkan tidak jelas atau tidak sesuai dengan reputasi dan kemampuan finansial nasabah;
• Permintaan nasabah kepada Bank untuk memberikan fasilitas pembiayaan di mana porsi dana sendiri Nasabah dalam fasilitas dimaksud tidak jelas asal usulnya, khu¬susnya apabila terkait dengan properti. (Lampiran 1 PBI No. 3/10/PBI/2001).
Pedoman Standar Penerapan KYCP
Implementasi dari Peraturan BI di atas telah disusun sebuah pedoman yang disebut Pedoman Standar Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. Pedoman ini dikeluarkan berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) tanggal 13 Desember 2001 No. 3/29/DPNP, yang dapat dipergunakan bank-bank sebagai acuan standar minimum yang wajib dipenuhi oleh bank-bank dalam menyusun Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
Pedoman ini memperinci hal-hal penting mengenai kebijakan umum, prosedur penerimaan dan identifikasi (procedures for customer acceptance and identification), pemantauan dan laporan (monitoring and reporting) dan pelatihan pegawai (employee training).
Kebijakan Umum ini meliputi hal-hal:
• Kebijakan Pengorganisasian;
• Kebijakan Penerimaan dan Identifikasi Nasabah;
• Kebijakan Pemantauan dan Pelaporan;
• Kebijakan Manajemen Risiko;
Mengenai prosedur penerimaan dan identifikasi nasabah, terdiri dari:
• Prosedur penerimaan nasabah;
• Prosedur Identifikasi dan verifikasi;
• Prosedur Persetujuan Penerimaan Calon Nasabah.
Prosedur Pemantauan dan Pelaporan, meliputi kebijakan¬-kebijakan dalam masalah:
• Prosedur dokumentasi profil nasabah;
• Prosedur pemantauan rekening dan identifikasi Transaksi;
• Prosedur identifikasi Transaksi yang Mencurigakan;
• Prosedur pelaporan internal dan pelaporan kepada BI
Kecuali hal-hal di atas, ditetapkan pula pedoman mengenai pelatihan karyawan.
Sebagai upaya pencegahan money laundering. Bank Indonesia membentuk Unit Kerja Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (UKPN)
Tugas UKPN diperinci dalam hal-hal sebagai berikut:
• Menjamin pengembangan sistem untuk mengidentifikasi nasabah dan transaksi yang mencurigakan;
• Memonitor profil nasabah dan transaksinya termasuk meng¬identifikasi dan memantau para nasabah yang dianggap memiliki risiko tinggi;
• Mengkoordinasikan dan memantau penerapan Prinsip Mengenali Nasabah dengan unit-unit kerja yang terkait; menerima dan menganalisis laporan-laporan transaksi yang mencurigakan yang diserahkan oleh unit-unit terkait;
• Mempersiapkan laporan atas transaksi yang mencurigakan untuk diserahkan ke BI;
• Memonitor, menganalisis dan merekomendasikan perlunya pelatihan staf dan pejabat bank.
Adapun pengidentifikasian yang dilakukan terhadap nasabah setidaknya meliputi hal-hal sebagai berikut:
• Syarat mengenai calon nasabah, berupa identitas nasabah, maksud dan tujuan hubungan bisnis yang dibuat oleh nasa¬bah dengan bank, informasi lain yang perlu, identitas pihak-¬pihak lain dalam hal nasabah bertindak untuk dan atas nama pihak lain;
• Permohonan untuk bukti identitas dan dokumen pelengkap dari calon nasabah;
• Verifikasi bukti identitas dan dokumen pelengkap dari calon nasabah;
• Pertemuan dengan calon nasabah harus dilakukan paling tidak waktu pembukaan rekening, termasuk pembukaan re¬kening yang dilakukan secara elektronik;
• Jika dipandang perlu, dilakukan interviu dengan calon na¬sabah untuk memastikan akurasi dari informasi, bukti iden¬titas dan dokumen-dokumen pendukung lainnya;
• Menolak pemohon nasabah yang tidak melengkapi informasi, bukti identitas dan dokumen-dokumen pelengkap yang meragukan.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Persoalan money laundering sebagai transnational organized crime menjadi isu bagi Indonesia karena secara hukum internasional Indonesia tidak dapat melapaskan diri dari komponen masyarakat dunia, bahwa Indonesia merupakan bagian dari masyarakat internasional yang harus berperan dalam upaya pencapaian kepentingan dunia.
Sebagai negara nasional, aspek-aspek hukum Internasional juga melekat pada Indonesia. Konvensi tentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi (UN Convention Against Transnational Organized Crime Tahun 2000) yang di dalamnya diatur mengenai kejahatan pencucian uang juga meletakkan dasar-dasar bagi hukum nasional akan berptisipasi Indonesia dalam pemberantasan pencucian uang sebagai kejahatan lintas batas yang terorganisasi.
Kelahiran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai amanah UU No. 15 Tahun 2002 menjadi sebuah harapan bagi upaya pemberantasan pencucian uang di Indonesia. Kesiapan-kesiapan Indonesia memerangi pencucian uang secara maksimal diupayakan oleh penegak hukum.
Dalam rangka mendukung pemberantasan tindak pidana pencucian uang, diperlukan adanya lembaga koordinasi yang bertugas mengkoordinasikan keterkaitan kegiatan yang berada di berbagai departemen atau instansi. Seperti diketahui ada beberapa departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen (LPND) yang membawahi kegiatan-kegiatan yang terkait dengan upaya pencegahan dan pemberantasan pencucian uang. Misalnya, kantor Menko Polkam, Kantor Menko Perekonomian, Bank Indonesia, Departemen Kehakiman dan HAM, Kejaksaan Agung, Kepolisian, Bapepam, Badan Intelijen Nasional (BIN), Departemen Luar Negeri, dan lain-lain. Untuk itu, Pasal 29 B UUTPPU tampaknya memberikan isyarat dapat dibentuk Komite Koordinasi Nasional guna mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Komite demikian dibentuk oleh Presiden atas usul Kepala PPATK dengan prinsip keterpaduan dan komprehensif di antara berbagai departemen atau instansi non departemen.
Lahirnya Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 yang diubah oleh Undang-Undang no. 25 Tahun 2003, pembentukan PPATK dan Badan Kordinasi Nasional, kemudian intensitas kerja sama internasional mengisyaratkan kesiapan Indonesia untuk melakukan upaya-upaya hukum dalam memerangi kejahatan pencucian uang di Indonesia dan di dunia.
Wujud lain sebagai bentuk kesiapan Indonesia melakukan penegakkan kejahatan money laundering sebagai bentuk kejahatan lintas negara adalah dengan intensitas pelaksanaan kerjasama internasional. Walau ada beberapa negara yang masih tertutup terhadap upaya kerjasama dengan Indonesia padahala negara-negara tersebut merupakan negara yang memiliki kaitan dengan pencucian uang dari Indonesia, misalnya Singapura yang hingga kini masih belum memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia.
B. Saran
Upaya untuk mencegah dan memerangi pemberantasan tindak pidana pencucian uang buklanlah hal yang mudah. Perkembangan teknologi, komunikasi, informasi dan ilmu pengetahuan menjadikan kejahatan ini berkembang pula. Diperlukan keseriusan Indonesia untuk memberantas pencucian uang yang telah merusak sendi-sendi perekonomian bangsa. Bahkan Indonesia dijadikan surga bagi moneylaunder untuk menghalalkan uang hasil kejahatan mereka.
Ada beberapa saran dalam upaya pemberantasa pencucian uang di Indonesia:
• Mengimplementasikan Undang-Undang tentang Pengesahan UN Convention Against Transnational Organized Crime Tahun 2000.
• Memperbaiki aturan hukum khususnya di bidang perbankan yang masih memiliki kelamahan-kelamahan (Loophiles in financial regulations). Misalnya tidak adanya peraturan-peraturan pengawasan terhadap lembaga keuangan, kurang memadainya ketentuan bagi perjininan dan pendirian lembaga keuangan, termasuk ketentuan mengenai penilaian terhadap latar belakang para menejer dan pemilik sebenarnya lembaga keuangan.
• Indonesia harus mengintensifkan kerja sama internasional. Hal ini perlu karena pencucian uang merupakan salah-satu bentuk dari kejahatan lintas batas yang terorganisasi sehingga hambatan-hambatan otoritas administratif dan otoritas yudisial dapat diselesaikan melalui bentuk-bentuk kerja sama internasional, baik secara bilateral maupun multilateral.
• Memperleuas fungsi dan wewenang PPATK sebagaimana FinCEN (Financial Crime Enforcement Network) Amerika Serikat dimana tugas FinCEN sebagai Financial Intelligence Unit yang memiliki hak untuk melakukan penyidikan dan penuntutan. Hal tersebut didasari oleh kinerja penyidik di tingkat kepolisian dan kejaksaan belum memiliki integritas dan dedikasi yang tinggi dalam upaya pemberantasan kejahatan money laundering. Hanya beberapa perkara saja yang mampu divonis dengan putusan pencucian uang dari banyaknya perkara yang didakwa.
Demikian saran yang cukup relevan dalam upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan pencucian uang. Terlepas dari itu semua teori Friedmen tentang efektifitas berlakunya hukum yakni struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum harus dipandang sebagai suatu perspektif untuk mencegah dan memberantas kejahatan pencucian uang sebagai bentuk kejahatan lintas negara terorganisasi di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Amrullah, M Arief: Tindak Pidana Pencucian Uang, Malang: Penerbit Bayu Media, 2004.
Atmasasmita, Romli : Pengantar Hukum Pidana Internasional, Bandung: Refika Aditama, 2000.
Effendi, Mansyur: Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia, Bogor: Ghalia Indonesia,2005.
Fuady, Munir :Hukum Perbankan Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya, 2001.
Irianto, Sulistyowati, dkk: Perdagangan Perempuan Dalam Jaringan Perdagangan Narkotika. Jakarta: Yayasasn Obor, 2005.
Mapaung, Leden :Kejahatan Perbankan, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1993.
Mauna, Boer: Hukum Internasional, Pengetian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. Jakarta: Penerbit Alumni, 2005.
Moelyatno: Asas-Asas Hukum Pidana, Banding: Refika Aditama: 1987.
Muladi: Konsep Indonesia Tentang Tindak Pidana di Bidang Perekonomian. Bandung: Alumni, 1992.
Nasarudin, M.Irsan, dkk: Aspek Hukum Pasar Modal. Jakarta: Kencana, 2004.
________. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: BP Undip, 1995.
S dan M Thomas: Buku Penuntun Membuat Tesis, Skripsi, Disertasi, Makalah, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta, 2002.
Arief, Barda Nawawi: Tindak Pidana Mayantara, perkembangan kajian cyber crme di Indonesia ,Jakarta: PT Raja Grafindo Persadan, 2006.
___________, Beberapa Masalah Perbandingan Hukum Pidana , Jakarta: Rajawali Press,2004.
Pathriana, I Wayan .Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi. Bandung: Penerbit Yrama Widya, 2004.
Paredede, Marulak. Hukum Pidana Bank . Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995.
Robinson, Jeffrey: The Laundryman. Simon and Sculter. 1994
Sjahdeni, Remy : Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, Jakarta: PT Temprint, 2004.
Starke,J.G : International Law Introduction terjemahan dalam bahasa Indonesia, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2004.
__________: International Law Introduction terjemahan dalam bahasa Indonesia, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2004.
Sudarto : Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1983.
_______, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, kajian terhadap pembaharuan hukum pidana , Bandung:Sinar Baru,1983.
Siahaan, NHT: Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan. Jakarta: Sibar Harapan, 2005.
Singgih. Kejahatan Korporasi yang Mengerikan. Jakarta: Penerbit Universitas Pelita Harapan,2005.
Soekanto, Soerjono: Pengantar Penelitian Hukum, Peberbit Universitas Indonesia, Jakarta,2005.Nasution,
_________________, Tata Cara Penyusunan Karya Ilmiah Bidang Hukum, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983.
_________________ dan Sri Mamudji: Penelitian Hukum Normatif, Penerbit Rajawali Press, Jakarta, 2006.
Thontowi, Jawahir: Hukum Internasional di Indonesia, Penerbit Madya Press, Yogyakarta, 2002.
Istrumen Hukum Internasional dan Hukum Nasional
Dokumen PBB No. E/CONF.88/2 tanggal 18 Agustus 1994 dan telah dibicarakan dalam World Ministerial Conference on Organized Transnationa; Crime di Naples,21-23 November 1994 dengan tema Problem and Dangers Posed by Organized Transnational Crime in the Various Regions of the World, untuk disampaikan dalam Kongres PBB ke-9 tentang Prevention of Crime and the Treatment of Offenders di Kairo, 29 April-8 Mei 1995,hal.17-22.
Tenth United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, Vienna,10-17 April 2000, A/CONF.187/9.
Financial Action Task Force on Money Laundering, Basic Facts about Money Laundering .http://www1.oecd.org/fatf/Mlaundeing_en.htm, diakses tanggal 15 September 2006.
UN Office for Drug Control and Crime Prevention, Conventions Against Terrorism. http:///www.odccp.org/odccp/terrorism_conventions.html, diakses 15/9/2006.
United Nations Convention Against Transnational Organized Crime, 2000.
United Nations Convention Against Corrupstion, 2003.
United Nations Convention for the Supression of the Financing Terrorism, 2000.
Vienna Conventioan 1969 Againt International Treaty.
United Nations Protocol to Suppress, Prevent and Punish Trafficking in Persons especially Women and Children supplementing the Convention against Transnational Organized Crime.
Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Perubahan Undang-Undang No. 20 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Internet/ Jurnal/Makalah/Majalah
Atmasasmita, Romli: Efektifitas Pemberantasan Pencucian Uang di Indonesia, http:/www.google.com/pencucian_uang/, diakses tanggal 15/9/2006.
BEI News: Jalan Perilaku Memberentas Money Laundering, http:/www.google.com/pencucian_uang/, diakses tanggal 15/9/2006.
Financial Action Task Force on Money Laundering. The Forty Recommendations. http://www.fatf-gafi.org/40recs.
Friedman, Thomas L. The Lexus and the Olive Tree: Understanding Globalization, New York, NY: Farrar, Straus, Giroux, 1999, dalam William r. Schroeder, Money laundering; A global threat and the international Community’s response, http://www.moneylaundering/ theory, http://www.yahoo.com/
Gerhard O. W. Mueller, Transnational Crime, Definitions and Concepts:, dalam P. Williams dan D. Vlassis (eds), Combating Transnational Crime, a Special Issue of Transnational Organized Crime, 4 (3&4), Autum/Winter 1998, hal 18 dalam Ralf Emmers,The Securitization of Transnational Crime in ASEAN, Institute of Defence and Strategic Studies Singapore No. 39, November 2002, htpp:/www.moneylaundering.com/.
Hendar, Frans: Tindak Pidana Pencucian Uang Merupakan Buah Simalakam”, http:/www.google.com/pencucian_uang/, diakses tanggal 15/9/2006.
Husein, Yunus: Hubungan Antara Kejahatan Peredaran Gelap Narkoba dan Tindak Pidana Pencucian Uang ,http:/www.google.com/pencucian_uang/, diakses tanggal 15/9/2006.
Muttaqien, Khoirul: Indonesia Keluar dari NCCT List: Apa Pengeruh dan Konsekuensinya bagi Pasar Modal Indonesia . http:/www.google.com/pencucian_uang/, diakses tanggal 15/9/2006.
FATF, Non Cooperative Countries and Territories. NCCT Inisiative.htm, 20 June 2003. http://www.fatf-gafi.org.
Attina, Fulvio Globalization and crime, The emerging role of international institutions, Working Paper, Department of Political Studies - University of Catania, Pebruari 1997.
Emmers, Ralf: The Securitization of Transnational Crime in ASEAB, Working Paper No. 39, Institute of Strategic Studies Singapore,2002.
Elvani, Malkian, Ceramah : Pencucian Uang Sebagai Kejahatan Terorganisasi, Fakukltas Hukum Unsri, disampaikan pada seminar Anti-Money Laundering, Palembang , 22 September 2005.
FATF Annual Report 2003-2003, 20 Juni 2003.
Thontowi, Jawahir Pemberantasan Terorisme dalam Kaitannya dengan Penyelundupan Obat Terlarang, Senjata, dan Pencusian Uang di Kawasan Asia, Jurnal Hukum. No. 21 Vol. 9, September 2002.
McFarlane, John dan Keren McLennan: Trannational Crime : The New Security Paradigm, Working Papaer No. 19, Canberra: Strategic and Defence Studies Centre, Australia National University, 1996.
Muladi: Hukum Positif Indonesia dalam Penanggulangan Kejahatan Lintas Negara, Makalah disampaikan pada Lokakarya Kerja Sama ASEAN dalam Menanggulangi Kejahatan Lintas Negara, Dirjen Kerja Sama Deplu RI, Semarang, 25 September 2001.
Pusat Pelaparan dan Analisis Transasksi Keuangan (PPATK), Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang oleh Penyedia Jasa Keuangan, Lampiran Keputusan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor: 2/1/KEP.PPATK/2003.
Ramli, Ahmad M Malakah dalam Ceramah, Prinsip-Prinsip Cyber Law dan Kendala Hukum Positif dalam Menanggulangi Cyber Crime:, Dalam Rangka Seminar Money Laundering di Universitas Padjajaran, Bandung, 30 Desember 2004.
Setiono, Bambang. Menggunakan UU Anti Money Laudering Untuk Memerangi Kejahatan Kehutan di Indonesia , Center for International Forestry Research (CIFOR),2002.
_____, Annual Report 2000-2001, 22 June 2001.
Indonesia, Australia TAMF. Laporan Pendahuluan Tentang Indonesia Sehubungan Dengan Kriteria Penilaian Negara-negara dan Wilayah-Wilayah yang Tidak Kooperatif, 19 Mei 2001.
Printing paper, ASEAN Cooperation in Combating Transnational Crime, di dapat dari Sekretariat ASEAN, Pebruari 2005.
US Government, Secretary of the Treasure and Attorney General, The National Money Strategy 2000, US Government, March 2000.
Langganan:
Postingan (Atom)