ASSALAMU'ALAIKUM WR.WB.
SELAMAT DATANG DI BLOG PEMIKIRANREDI
"MENAWARKAN PERSPEKTIF KRITIS MELALUI PERPADUAN FILSAFAT, TEORI, DAN DOGMATIKA"

Minggu, 28 Agustus 2016

POLEMIK IZIN EKSPOR PT FREEPORT



Polemik status kewarganegaraan Arcandra Tahar, menimbulkan polemik pula terkait kebijakan pemberian rekomendasi ekspor mineral kepada PT Freeport Indonesia. Rekomendasi ekspor mineral kepada PT Freeport oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) atas nama Menteri ESDM pada tanggal 9 Agustus 2016 menyulut polemik di masyarakat.

Surat rekomendasi ini dianggap sebagian pihak penuh dengan kepentingan PT Freeport sehingga penerbitannya di era Arcandra Tahar pada saat menjadi Menteri ESDM selama dua puluh hari menambah bumbu-bumbu kekisruhan pengangkatan Achandra sebagai Menteri ESDM. Bahkan untuk mengamankan posisi Arcandra sebagai Menteri ESDM dua puluh hari saat itu, beredar di media pernyataan Luhut Binsar Panjaitan yang akan mem-buldozer setiap orang yang mengganggu Arcandra, selain pula penyataan Luhut bahwa surat rekomendasi ekspor kepada PT Freeport ditandatangani oleh Menteri ESDM pada saat dijabat oleh Sudirman Said.

Muara Polemik
Muara polemik rekomendasi ekspor konsentrat ini bermula dari adanya pengaturan yang visioner dan sangat merah putih dalam UU No. 4 Tahun 2009 tetang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), khususnya dalam Pasal 170 UU Minerba yang mengatur bahwa pemegang kontrak karya yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan. Kewajiban pemurnian bagi PTFI ini dimaksudkan antara lain untuk mengoptimalkan nilai tambah produk, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan nilai tambah di dalam negeri. Melalui kewajiban pemurnian mineral ini, mineral dari Indonesia tidak diangkut mentah-mentah berupa ore atau konsentrat ke luar negeri.

Kenyataannya, ketika pada tahun 2014 atau lima tahun setelah UU Minerba diterbitkan PT Freeport belum dapat memurnikan seluruh hasil tambangnya sebelum diekspor belum juga melakukannya. PT Freeport belum membangun fasilitas pemurnian di dalam negeri untuk memurnikan hasil tambangnya. Padahal UU Minerba telah memberikan waktu lima tahun agar PT Freeport membangun fasilitas ini sejak 2009.

Celakanya, Januari 2014 harus ada kepastian hukum agar Pasal 170 UU Minerba dilaksanakan padahal PT Freeport dkk, termasuk pemegang izin usaha pertambangan, belum menyelesaikan pembangunan fasilitas pemurnian baik secara sendiri maupun bekerja sama. Pemerintah saat itu menerbitkan PP No. 1 Tahun 2014 yang intinya mempertegas bunyi Pasal 170 UU Minerba. Namun, melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 PT Freeport diberi jangka waktu sampai 2017 untuk tetap mengekspor mineral dengan catatan 2017 harus telah selesai membangun smelter dengan harus membayar bea keluar dengan kisaran antara 20 persen sampai dengan 25 persen dari 12 Januari-31 Desember 2014, 30 persen sampai dengan 40 persen dari 1 Januari 2015-31 Desember 2015, 50 persen sampai dengan 60 persen dari 1 Januari 2016-31 Desember 2017 sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6 Tahun 2014, namun Peraturan Menteri Keuangan ini diubah dengan Peraturan Menteri Nomor 153 Tahun 2014 yang besaran bea keluarnya paling banyak sebesar 7.5 persen.

Sebagai pedoman pemberian izin ekspor mineral yang belum dimurnikan maka Menteri ESDM saat itu menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pemberian dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Penjualan Mineral ke Luar Negari Hasil Pengolahan dan Pemurnian. Peraturan Menteri ini mengatur mengenai tata cara permohonan rekomendasi kepada Menteri ESDM, persyaratan, rencana pembangunan smelter, jaminan kesungguhan, dan evaluasi oleh Menteri ESDM atas perkembangan pembangunan smleter. Dalam Peraturan Menteri ESDM ini, PT Freeport diharuskan membayar jaminan kesungguhan sebesar lima persen dari nilai investasi baru atau lima persen dari sisa nilai investasi yang belum terealisasi bagi pembangunan fasilitas pemurnian yang sudah berjalan.

Melalui jaminan kesungguhan ini, diharapkan PT Freeport akan membangun smelter. Dalam Pertaruran inilah, surat rekomendasi ekspor kepada PT Freeport, termasuk PT Newmont dan lain-lain, muncul. Rekomendasi ekspor diberikan setiap enam bulan oleh Dirjen Mineran atas nama Menteri ESDM. Maksud pemberian rekomendasi tiap enam bulan ini untuk mengevaluasi perkembangan pembangunan smelter tiap enam bulan sekali sebelum diberikan perpanjangan enam bulan berikutnya.

Dalam Pasal 14 Permen ESDM No. 11 Tahun 2014 diatur bahwa perpanjangan permohonan untuk enam bulan selanjutnya dapat diberikan apabila pemegang kontrak karya, dalam hal ini PT Freeport, telah memenuhi paling sedikit 60 persen pembangunan smleter dari target setiap enam bulan. Sayangnya, melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2016 yang mengubah Peraturan Menteri Nomor 11 Tahun 2014, ketentuan pemenuhan paling sedikit 60 persen ini diganti menjadi berapapun target yang dipenuhi, perpanjangan ekspor dapat tetap diberikan oleh Dirjen Minerba atas nama Menteri ESDM.

Persoalan Hukum
Terdapat persoalan hukum dalam pemberian rekomendasi ekspor mineral kepada PT Freeport, yaitu, pertama, pemberian ekspor kepada PT Freeport menyimpangi Pasal 170 UU Minerba yang melarang mineral yang belum dimurnikan di dalam negeri, diekspor. Ekspor mineral secara terus menerus pasca 12 Januari 2014 (lima tahun sejak UU Minerba diterbitkan) ini merupakan bentuk pelecehan PT Freeport pada UU Minerba.

Kedua, penerbitan rekomendasi ekspor kepada PT Freeport telah ada sejak masa Menteri ESDM Jero wacik yang menerbitkan Permen ESDM No. 11 Tahun 2014 yang berimplikasi pada penerbitan rekomendasi ekspor mineral kepada PT Freeport. Ketiga, tidak hanya PT Freeport yang menyimpangi kewajiban dalam Pasal 170 UU Minerba dengan tidak terbangunnya fasilitas pemurnian mineral di dalam negeri, namun Pemerintah saat itu yaitu pada tahun 2009-2014 juga tidak melakukan pembinaan dan pengawasan agar PT Freeport membangun smelter sebelum 12 Januari 2014. Akhirnya permasalahan tiadanya pembinaan dan pengawasan kepada PT Freeport menyisahkan persoalan pada Pemerintah setelah 2014.

Keempat, Pemerintah saat ini dapat dianggap pula menyimpangi UU Minerba karena tidak dapat memaksa PT Freeport untuk melakukan pemurnian di dalam negeri atas mineralnya. Kelima, Pemerintah terlalu memberikan kemudahan kepada PT Freeport untuk dapat terus melakukan ekspor mineral yang belum dimurnikan, padahal langkah ini mempersulit Pemerintah karena harus terus menerus menyimpangi UU Minerba dan diprotes oleh DPR, termasuk masyarakat luas.

Langkah Tegas
Sebagai negara hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, mau tidak mau, suka tidak suka, Pemerintah harus konsisten dengan UU Minerba. Pasal 170 UU Minerba harus ditegakkan sebagaimana mestinya. Pemerintah harus menghetikan memberikan rekomendasi dan izin ekspor kepada PT Freeport selama PT Freeport belum membangun smelter. Substansi kewajiban mengolah dan/atau memurnikan di dalam negeri atas mineral sesungguhnya pernah diajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi dalam perkara nomor 10/PUU-XII/2014 Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 102 dan Pasal 103 mengenai kewajiban pengolahan dan/atau permunian mineral bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan/Izin Usaha Pertambangan Khusus tidak bertentangan dengan UUD 1945. Walau subjek hukumnya berbeda, yaitu kepada pemegang IUP/IUPK, namun Pasal 170 yang memiliki kesamaan norma namun subjeknya pemegang Kontrak Karya, sehingga secara substansional kewajiban Pasal 170 pun dapat dianggap sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Akhirnya, PT Freeport harus memiliki ittikad baik untuk melaksanakan aturan hukum nasional Indonesia sebagaimana mestinya, apalagi dalam Kontrak Karya PT Freeport dinyatakan bahwa PT Freeport akan menaati undang-undang Indonesia from time to time, dari waktu ke waktu. Kekayaan alam Indonesia ini harus memberikan sebesar-besar kemakmuran bagi rakyat Indonesia, salah satunya melalui pengolahan dan pemurnian hasil tambang PT Freeport di dalam negeri. PT Freeport harus menghargai hukum Indonesia dan sebagai investor yang baik jangan hanya ingin untungnya dan maunya sendiri. Sumber daya alam Indonesia harus memberikan sebesar-besar kemakmuran bagi rakyat Indonesia.

---




GADUH STATUS KEWARGANEGARAAN MENTERI ESDM




Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar (AT) dipastikan mengantongi paspor Amerika Serikat (AS) yang otomatis berstatus kewarganegaraan AS. Demikian yang disampaikan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly Senin, 15 Agustus 2016. Kepastian status kewearganegaraan ini menjadikan kegaduhan baru yang terjadi setelah ditetapkannya AT sebagai Menteri ESDM. Kegaduhan pertama yaitu terkait diberikan izin ekspor konsentrat mineral kepada PT Freeport yang sesungguhnya pemberian izin ini bertentangan dengan Pasal 170 UU Minerba yang melarang ekspor mineral yang belum diolah dan/atau dimurnikan di dalam negeri. Kedua, isu kewarganegaraan asing Menteri AT.

Terkait isu kedua maka paling tidak terdapat lima persoalan yang dapat menjadi catatan yang akan menjadi kegaduhan hukum, yaitu, pertama, UU 12/2006 tentang Kewarganegaraan mengatur bahwa WNI yang menjadi WNA maka status kewarganegaraanya hilang. Hal ini, tepatnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a dan huruf b UU 12/2006 bahwa WNI kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan: (a) memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri; dan (b) tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan yang bersangkutan mendapatkan kesempatan itu. Bila memang Menteri Arcandra Tahar pernah mendapatkan kewarganegaraan asing maka secara otomatis ia telah kehilangan WNI-nya.

Dalam UU 12/2006 memang tidak diatur mengenai bagaimana proses kehilangan status kewarganegaraan itu, apakah melalui suatu penetapan pengadilan atau suatu penetapan dari Presiden atau dari Menteri Hukum dan HAM. Terkait perlu atau tidaknya penetapan kehilangan kewarganegaraan dari Pejabat Indonesia, maka menurut Penulis hal itu tidak perlu penetapan lagi. Mengingat, subjek hukum yang akan ditetapkan kehilangan kewarganegaraan secara hukum bukan lagi subjek hukum yang sah karena yang bersangkutan telah menjadi WNA. Artinya kewenangan penetapan kehilangan kewarganegaraan seseorang WNA tidak dapat lagi menjadi kewenangan dari Menteri Hukum dan HAM. Selain itu, secara praktis

Kedua, bila yang bersangkutan telah menjadi WNA dan atas ke-WNA-annya ia tetap memiliki paspor atau mengajukan perpanjangan paspor maka perbuatan hukum tersebut dapat diduga sebagai tindakan pidana kewarganegaraan sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UU 12/2006 bahwa setiap orang dilarang memberikan keterangan palsu, membuat surat/dokumen palsu untuk memperoleh kewarganegaraan Indonesia. Sebagai akibat kehilangan ke-WNI-an maka segala dokumen ke-WNI-an seseorang secara otomatis hapus atau tidak berlaku seketika sejak yang bersangkutan menerima kewarganegaraan asing. Mengingat Indonesia menganut prinsip kewarganegaraan tunggal.
Ketiga, dalam UU No. 39/2008 tentang Kementerian Negara diatur bahwa untuk dapat diangkat menjadi menteri, seseorang harus memenuni persyaratan sebagai WNI (Pasal 22 ayat (2) huruf a). Artinya bila Menteri Achandra Tahar terbukti memiliki kewarganegaraan asing maka statusnya sebagai menteri pun tidak berlaku dan dianggap tidak pernah ada. Akibatnya maka setiap kebijakan yang dibuatnya harus dianggap tidak pernah ada karena kebijakan itu dibuat oleh seseorang yang tidak berwenang.

Keempat, untuk menjadi eselon 1 di Kementerian/lembaga, keterlibatan Badan Intelejen Negara saja ada, lalu apakah dalam pemilihan seorang menteri yang notabenenya atasan eselon 1 BIN tidak dilibatkan? Mengingat informasi intelenjen tidak hanya menyangkut status kewarganegraan yang bersangkutan, namun lebih dari itu terakit pula track record yang bersakutan selama ini. Seharusnya BIN pasti dilibatkan. Bila akhirnya, ternyata tidak melalui penelusuran intelejen maka ini merupakan bentuk kelalaian yang semestinya tidak teejadi karena isu kewargangeraan bukan hanya isu larangan kewarganegaraan ganda bagi WNI namun ini juga menyangkut isu ketahanan nasional.

Kelima, Arcandra Tahar ditetapkan menjadi Menteri ESDM yang sesungguhnya Kementerian ini erat kaitannya dengan isu kepentingan strategis nasional, di dalamnya ada kepentingan nasionalisme. ESDM erat kaitannya dengan cita hukum kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sebagaimana ada dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Tentu sangat mengkhawatirkan apabila sektor ini tidak dikelola oleh seorang Menteri yang jiwanya tidak "Merah Putih" atau diragukan "Merah Putihnya" apalagi dikelola oleh seseorang yang status ke-WNI-annya dipertanyakan. Terlebih bahwa isu kewarganegaraan asingnya yang bersangkutan yaitu Amerika Serikat yang kepentingan eksploitasi sumber daya alam Indonesia sangat besar-besaran.
Akhirnya, istana dan Menteri Arcandra Tahar harus segera merespon. Semakin lama respon dari istana dan dari Menteri Arcandra Tahar maka makin menguatkan dugaan publik mengenai kewarganegaraan ganda Arcandra Tahar. Tentu apabila isu itu tidak benar, pasti yang bersangkutan akan segera merespon karena ini menyangkut fitnah dan pencemaran nama baik.
Semoga, isu ini salah dan sektor ESDM dapat dikelola oleh WNI tang tidak diragukan posisi berdirinya yaitu penyelenggaraan ESDM untuk sebesar-bedar kemakmuran rakyat Indonesia.



HAK DISKRESI AHOK

Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi saksi dalam persidangan di PN Tipikor Jakarta pada 25 Juli 2016 atas terdakwa Ariesman, Presiden Direktur Agung Podomoro Land, yang didakwa atas pemberian uang Rp 2 miliar kepada mantan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, Mohamad Sanusi. Dalam kesaksiannya, setidaknya terdapat dua poin besar yang disampaikan Ahok di PN Tipikor yaitu: (1) bahwa pelaksanaan reklamasi di Pantai Utara Jakarta didasari oleh Keppres No. 52 Tahun 1995 tentang Pengembangan Pantai Utara Jakarta; dan (2) Ahok melakukan diskresi untuk menentukan angka kontribusi tambahan sebesar 15% kepada para pengembang dalam pengerjaan proyek reklamasi.

Alibi Keppres No.52/1995
Dasar pelaksanaan reklamasi pantai utara Jakarta ada dalam beberapa peraturan, antara lain UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah dalam UU No. 1 Tahun 2014 UU, P No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Perpres No.54 tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur, dan Peraturan Presiden No.122 Tahun 2012 tentang Reklamasi Di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Berdasarkan ketentuan di atas, beberapa poin penting, yaitu, pertama, bahwa berdasarkan PP No. 26 Tahun 2008, kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur (Jabodetabekpunjur) ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional. Penetapan ini dioperasionalisikan dalam Perpres No. 54/2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur.

Konsekuensi penetapan DKI Jakarta sebagai Kawasan Strategis Nasional maka berdasarkan Pasal 16 ayat (2) Perpres No. 112/2012 kewenangan pemberian izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi pada Kawasan Strategis Nasional Tertentu, berada dalam kewenangan Menteri Kelautan dan Perikanan (Menteri KKP), sedangkan kewenangan Gubernur yaitu pada pemberian pertimbangan atas izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi yang diajukan ke Menteri KKP. (Pasal 16 ayat (3).

Selanjutnya, pelaksanaan reklamasi harus dilakukan berdasarkan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K). RZWP-3-K ini ditetapkan dalam Perda. Artinya harus ada RZWP-3-K yang ditetapkan dalam Perda baru kemudian diterbitkan izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi. Namun, hingga saat ini Pemrop DKI Jakarta belum memiliki Perda tentang RZWP-3-K, di sisi lain pelaksanaan reklamasi telah dilakukan. Dugaan suap dalam pe,bahasan Rancangan Perda inilah yang membuat Mohamad Sanusi dimeja-hijaukan oleh KPK. Dengan demikian, secara hukum pelaksanaan reklamasi pantai utara hingga saat ini belum memiliki payung hukum.
Bahkan PTUN Jakarta melalui Putusan Nomor 193/G/LH/2015/PTUN-JKT dalam sengketa reklamasi Pulau G memerintakan Ahok untuk mencabut Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G Kepada PT MWS.

Kedua, Ahok berpendapat bahwa dasar hukum pelaksanaan reklamasi sangat kuat yaitu sesuai Kepres 52/1995. Secara normatif, dalam Pasal 70 huruf c Perpres No.54/2008 dinyatakan bahwa Kepres No. 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti dengan peraturan pelaksanaan baru. Pertanyaannya apakah Kepres No. 52/1995 bertentangan dengan Perpres 54/2008 dan Perpres No.112/2012 sehingga Kepres No. 52/1995 yang menjadi dasar hukum bagi Ahok melaksanakan reklamasi di Pantai Utara Jakarta dinyatakan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan? Dalam Pasal Kepres No. 52/1995 diatur bahwa wewenang dan tanggung jawab Reklamasi Pantura berada pada Gubernur DKI Jakarta, namun berdasarkan Pasal 16 Perpres 112/2012, kewenangan perizinan lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi di Jakarta berada dalam kewenangan Menteri KKP.

Artinya jelas bahwa dasar hukum yang digunakan oleh Ahok yaitu Perpres 52/1995 yang menjadi dasar kwenangannya untuk menerbitkan izin pelaksanaan reklamasi kepada beberapa pengembang tidak sesuai dengan Perpres 112/2012 dan Perpres No. 54/2008, sehingga secara legal drafting dasar hukum yang digunakan oleh Ahok, yaitu Kepres No.52/1995 telah ‘terbunuh’ oleh Perpres No.112/2012 dan Perpres No. 54/2008. Selain itu, ada asas dalam hukum yaitu asas lex posterior derogat legi priori yang menyatakan bahwa hukum yang terbaru (Perpres 54/2008 dan Perpres 112/2012) mengesampingkan hukum yang lama (Kepres 52/1995).

Diskresi Ahok
Diskresi diatur dalam UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Dikresi dilakukan bertujuan untuk: melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum, dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Adapun persyaratan diskresi yaitu: sesuai dengan tujuan diskresi, tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik; berdasarkan alasan-alasan yang objektif, tidak menimbulkan Konflik Kepentingan, dan dilakukan dengan ittikad baik.

Lalu apakah diskresi yang dilakukan Ahok soal kontribusi tambahan sebesar 15% kepada pengembang sudah sesuai dengan rezim administrasi pemerintahan? Jawabannya ada dalam UU No. 30/2014 yang dapat mengkategorisasikan apakah tindakan Ahok itu merupakan diskresi atau penyalagunaan wewenang. Diskresi dapat dilakukan oleh pejabat pemerintahan yang memiliki hak untuk menggunakan kewenangan dalam mengambil keputusan dan/atau tindakan, termasuk hak menggunakan dikresi. Artinya diskresi harus dilakukan oleh seorang pejabat yang berwenang. Lalu apakah Ahok berwenang dalam menerapkan diskresi terhadap suatu tindakan yang bukan kewenangannya padahal jelas bahwa pelaksanaan reklamasi pantai untuk DKI Jakarta berada dalam kewenangan Menteri KKP bukan kewenangan Gubernur DKI Jakarta?

Tentu tindakan Ahok dapat berpotensi sebagai penyalahgunaan wewenang dan bukan merupakan tindakan diskresi. Penyelagunaan wewenang ialah tindakan (1) melampaui wewenang; (2) mencampuradukkan wewenang; dan/atau (3) bertindak sewenang-wenang. Dalam kasus Ahok, melampui wewenang mengacu pada tindakan dan/atau keputusan Ahok yang melampaui batas wilayah berlakunya wewenang yaitu seharusnya wewenang Menteri KKP namun oleh Ahok dijadikan kewenangannya tanpa dasar hukum. Selanjutnya, tindakan sewenang-wenang Ahok mengacu pada keputusan dan/atau tindakan yang dilakukannya tanpa dasar kewenangan.

Untuk itu, KPK harus jeli mana tindakan diskresi mana tindakan penyalagunaan wewenang yang dapat berujung pada sanksi administrasi atau bahkan tindakan pidana.