ASSALAMU'ALAIKUM WR.WB.
SELAMAT DATANG DI BLOG PEMIKIRANREDI
"MENAWARKAN PERSPEKTIF KRITIS MELALUI PERPADUAN FILSAFAT, TEORI, DAN DOGMATIKA"

Minggu, 26 Oktober 2014

ILMU PERUNDANG-UNDANGAN DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MENGENAI PERTAMBANGAN MINERBA DI TINGKAT DAERAH


Oleh:
Dr. Ahmad Redi, S.H.,M.H
(redi.ahmad2010@gmail.com)

A. Pendahuluan
Sebagai negara hukum, Indonesia meletakkan peraturan perundang-undangan sebagai perangkat hukum yang digunakan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Peraturan perundang-undangan pulalah yang menjadi bingkai dalam pencapaian tujuan bernegara. Tanpa suatu peraturan perundang-undangan maka alas hak atau dasar pelaksanaan suatu perbuatan tidak memiliki dasar pembenar. Peraturan perundang-undanganlah yang menjadi dasar pembenar secara formal mengenai apakah suatu tindakan dibenarkan atau tidak dibenarkan untuk dilakukan. Hal ini didasarkan oleh karakteristik suatu peraturan perundang-undangan sebagai peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

Fungsi krusial peraturan perundang-undangan inilah yang menjadi tantangan agar suatu peraturan perundang-undangan dapat memiliki kebenaran baik secara formal maupun materiil. Kebenaran secara formal ialah kebenaran dalam prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Sedangkan, kebenaran secara meteriil ialah kebenaran substansi/isi/materi muatan peraturan perundang-undangan telah sesuai dengan asas, kaidah, norma, nilai yang berkembang dalam suatu masyarakat. Bila kebenaran formil mengarah kepada benar atau tidak benar suatu bentuk/bungkus suatu peraturan perundang-undangan, maka kebenaran materill mengarah kepada adil-tidak adil dan baik-buruknya suatu peraturan perundang-undangan.

Didasari hal tersebut di atas, peran pembentukan peraturan perundang-undangan sangat penting. Peraturan perundang-undangan yang baik secara formil dan materiil akan menjadi suatu peraturan perundang-undangan yang efektif dan tujuan pembentukan peraturan perundang-undangan untuk mencapai kemanfaatan rakyat akan terwujud. Peraturan perundang-undangan menjadi sarana untuk merekayasa sosial (law as a tool of social engineering). Artinya mau dibentuk seperti apakah tatanan hidup masyarakat, maka alat yang digunakan ialah peraturan perundang-undangan.

Dalam konteks peraturan daerah (selanjutnya disebut ’Perda’) maka sebagai bentuk peraturan perundang-undangan dti tingkat daerah, selain peraturan perundang-undangan yang berlaku nasional, Perda dibentuk dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan tugas perbantuan penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, menampung kondisi khusus daerah, dan penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Perda memiliki peran strategis dalam upaya pengaturan tatanan hidup rakyat di daerah agar proses penyelenggaraan kehidupan masyarakat di daerah berjalan dengan tertib sehingga tujuan yang lebih besar untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sentosa tercapai.

B. Ilmu Perundang-undangan
Ilmu perundang-undangan merupakan ilmu yang termasuk dalam rumpun Hukum Tata Negara. Ilmu ini berusaha menyoroti pengertian peraturan perundang-undangan, baik dalam arti formal maupun dalam arti material, menyoroti kedudukannya, kekuatan berlakunya dan lain-lainnya serta apa saja yang termasuk pengertian peraturan perundang-undangan dalam arti material. Ilmu perundang-undangan menyoroti pula mengenai kaidah-kaidah teknik dan proses pembuatan berbagai jenis peraturan perundang-undangan, bahasa perundang-undangan, dan pilihan kata perumusan norma dalam peraturan perundang-undangan. Ilmu perundang-undangan akan sangat terpengaruh oleh ilmu lainnya. Ia bersifat multidisipliner yang terkait dengan ilmu bahasa, ilmu ekonomi, sosiologi, filsafat, dan cabang ilmu lainnya.

Untuk dapat memahami mengenai ilmu peraturan perundang-undangan, terlebih dahulu dijelaskan mengenai pengertian perundang-undangan. Secara teoritis istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving, atau gesetzgebung), mempunyai beberapa pengertian berikut:
1. Sebagai proses pembentukan atau proses membentuk peraturan-peraturan negara, baik di tingkat Pusat maupun Daerah ;
2. Segala peraturan negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat Pusat maupun Daerah ;
3. Peraturan yang berkaitan dengan Undang-Undang, baik peraturan itu berupa Undang-Undang sendiri, Undang-Undang Dasar yang memberi delegasi konstitusional maupun peraturan di bawah Undang-Undang sebagai atribusi atau delegasi dari Undang-Undang tersebut . Atas dasar atribusi dan delegasi kewenangan perundang-undangan.
4. Semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah, baik di tingkat Pusat maupun di Daerah, serta semua Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di tingkat Pusat maupun Daerah.

Peraturan perundang-undangan yang bersifat mengikat umum (algemeen verbinden voorshrift) disebut juga dengan istilah Undang-Undang dalam arti materiil (wet in materiele zin) , yaitu semua hukum tertulis dari Pemerintah yang mengikat umum (ieder rechtsvoorschrift van de overheid met algemeen strekking). Sebagai sebuah bentuk peraturan hukum yang bersifat in abstracto atau general norm, maka perundang-undangan mempunyai ciri mengikat atau berlaku secara umum dan bertugas mengatur hal-hal yang bersifat umum (general).
Kata perundang-undangan apabila merupakan terjemahan wetgeving berarti:
1. perbuatan membentuk peraturan-peraturan negara tingkat pusat atau tingkat daerah menurut tata cara yang ditentukan;
2. keseluruhan peraturan-peraturan negara tingkat pusat dan tingkat daerah.

Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, secara teorititis terdapat beberapa asas peraturan perundang-undangan. Asas-asas tersebut antara lain:
1. Asas Tingkatan Hirarki
Suatu perundang-undangan isinya tidak boleh bertentangan dengan isi perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatan atau derajatnya. Berdasarkan asas ini dapatlah dirinci hal-hal berikut:
a. Perundang-undangan yang lebih rendah derajatnya tidak dapat mengubah atau mengesampingkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi, tetapi yang sebaliknya dapat;
b. Perundang-undangan hanya dapat dicabut, diubah atau ditambah oleh atau dengan perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi tingkatannya;
c. Ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak mengikat apabila bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya;
d. Ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum serta mengikat, walaupun diubah, ditambah diganti atau dicabut oleh perundang-undangan yang lebih rendah;
e. Materi yang seharusnya diatur oleh perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya tidak dapat diatur oleh perundang-undangan yang lebih rendah, tetapi yang sebaliknya dapat. Namun demikian, tidak tepat apabila perundang-undangan yang lebih tinggi mengambil alih fungsi perundang-undangan yang lebih rendah. Apabila terjadi demikian, pembagian wewenang mengatur dalam suatu negara menjadi kabur. Di samping itu, badan pembentuk perundang-undangan yang lebih tinggi tersebut akan teramat sibuk dengan persoalan-persoalan yang selayaknya diatur oleh badan pembentuk perundang-undangan yang lebih rendah.

2. Peraturan perundang-undangan tidak dapat diganggu gugat
Asas ini berkaitan dengan hak menguji perundang-undangan (toetsingsrecht). Sebagaimana diketahui hak menguji perundang-undangan ada 2 (dua) macam yakni:
a. Hak menguji secara materiel (materiele toetsingsrech) yaitu, menguji materi atau isi dari perundang-undangan apakah bertentangan dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya;
b. Hak menguji secara formal (formele toetsingsrecht) yaitu menguji apakah semua formalitas atau tata cara pembentukan sudah dipenuhi.

3. Undang-Undang yang Bersifat Khusus Mesampingkan Undang-Undang yang Bersifat Umum (Lex Specialis Derogat Lex Generalis)
Pada prinsipnya, Undang-Undang yang bersifat umum mengatur persoalan-persoalan pokok dan berlaku secara umum pula. Selain itu ada juga Undang-Undang yang menyangkut persoalan pokok dimaksud, tetapi pengaturannya secara khusus menyimpang dari ketentuan Undang-Undang yang umum tersebut (Undang-Undang yang bersifat khusus).

4. Undang-Undang tidak berlaku surut
Asas ini berkaitan dengan lingkungan kuasa hukum (geldingsgebied van het recht), meliputi:
a. Lingkungan kuasa tempat (ruimtegebied, territorial sphere), yang menunjukkan tempat berlakunya hukum atau perundang-undangan. Suatu ketentuan hukum atau perundang-undangan berlaku untuk seluruh wilayah negara atau hanya untuk sebagian wilayah negara (pemerintah daerah tertentu saja);
b. Lingkungan kuasa personel (zakengebied, material sphere), yaitu menyangkut masalah atau persoalan yang diatur. Misalnya, apakah mengatur persoalan perdata atau mengatur persoalan publik. Lebih sempit lagi, apakah mengatur persoalan pajak ataukah mengatur persoalan kewarganegaraan, dan lain sebaginya;
c. Lingkungan kuasa orang (personengebied, personal sphere), yaitu menyangkut orang yang diatur, apakah berlaku untuk setiap penduduk atau hanya untuk Pegawai Negeri atau hanya untuk kalangan anggota TNI/POLRI saja, dan lain sebagainya;
d. Lingkungan kuasa waktu (tijdsgebied, temporal sphere), yang menunjukkan sejak kapan dan sampai kapan berlakunya sesuatu ketentuan hukum atau perundang-undangan.

5. Undang-Undang yang baru mengeyampingkan undang-undang yang lama (Lex Posteriori Derogat Lex Priori)
Apabila ada suatu maslah yang diatur dalam suatu Undang-Undang yang lama diatur pula dalam Undang-Undang yang baru, maka ketentuan Undang-Undang yang baru yang berlaku. Dalam hal ini tentunya apabila ada perbedaan, baik mengenai maksud, tujuan maupun maknanya.

Berlakunya asas ini ada juga pengecualian dalam penggunaan Undang-Undang. Misal, ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP memungkinkan pula masih tetap dapat diberlakukan ketentuan Undang-Undang yang lama apabila memang ketentuan itu yang paling menguntungkan tersangka atau terdakwa. Dengan demikian asas tersebut di atas tidak mutlak karena ada pengecualian, tetapi harus didasarkan pula pada ketentuan Undang-Undang. Memang tidak ada hukum yang mutlak, tetapi senantiasa ada pengecualian, sesuai dengan adagium “geenrecht zonder uitzondering”.

Berkenaan dengan asas tersebut di atas, agar suatu peraturan perundang-undangan dapat berlaku dengan baik maka terdapat 3 (tiga) landasan pembentukan peraturan perundang-undangan. Ketiga landasan tersebut, yaitu landasan: (1) filosofis, (2) sosiologis, (3) yuridis. Landasan filosofis peraturan perundang-undangan merupakan dasar yang berkaitan dengan dasar filosofis/ideologi negara. Dasar filosofi Indonesia misalnya bahwa tujuan hukum ialah untuk menciptakan keadilan, ketertiban, kesejahteraan. Hal ini yang disebut dengan cita hukum, yaitu yang berkaitan dengan baik dan buruk, adil atau tidak. Hukum diharapkan dapat mencerminkan nilai-nilai yang tumbuh dan dirasa adil dalam masyarakat. Dalam kaitan ini, penyusunan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan secara sungguh-sungguh nilai-nilai (cita hukum) yang terkandung dalam Pancasila.
Dasar sosiologis peraturan perundang-undangan adalah dasar yang berkaitan dengan kondisi/kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Kondisi atau kenyataan ini dapat berupa kebutuhan atau tuntutan yang dihadapi oleh masyarakat, kecenderungan dan harapan masyarakat. Dengan memperhatikan kondisi semacam ini peraturan perundang-undangan diharapkan dapat diterima oleh masyarakat dan mempunyai daya laku secara efektif. Sebagai contoh, peraturan perundang-undangan harus memperhatikan struktur masyarakat kita yang lebih bersifat agraris. Selanjutnya, dasar yuridis ini sangat penting dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Dasar yuridis berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:
1. Keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan.
2. Keharusan adanya kesesuaian antara jenis dan materi muatan peraturan perundang-undangan.
3. Keharusan mengikuti tata cara atau prosedur tertentu.
4. keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, misalnya undang-undang.
Sebagai dasar yuridis maka pembentukan peraturan perundang-undangan bersumber pada dasar hukum antara lain:
1. UUD NRI 1945;
2. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
3. UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
(terkait pembentukan peraturan di bidang pertambangan minerba)
4. UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD;
5. UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Dalam rangka pelaksanaan kewenangan pengaturan di bidang pertambangan minerba, missal diatur dalam Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 UU No. 4 Tahun 2009 yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kab/Kota untuk membuat peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan minerba sesuai dengan kewenangannya.
Untuk tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan, pengaturannya telah lengkap dalam UU No. 12 Tahun 2010 yang mengatur mengenai teknik penyusunan peraturan perundang-undangan. Selain teknik penyusunan, diatur pula mengenai jenis dan hierarki, asas, dan materi muatan. Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
1. kejelasan tujuan;
2. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
3. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
5. dapat dilaksanakan;
6. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
7. kejelasan rumusan; dan
8. keterbukaan.

Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas:
1. pengayoman;
2. kemanusiaan;
3. kebangsaan;
4. kekeluargaan;
5. kenusantaraan;
6. bhinneka tunggal ika;
7. keadilan;
8. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
9. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
10. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi:
1. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
3. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
4. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
5. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang. Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Penyelenggaraan otonomi daerah berkaitan dengan desentralisasi dan dekosentrasi. Desentralisasi merupakan penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan dekonsentrasi merupakan pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Selanjutnya, tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

C. Kegagalan Dalam Pembentukan Perda
Untuk menganalisis data sebagai pisau analisis mengenai apakah suatu Perda gagal atau tidak dapat digunakan teori Lon L Fuller mengenai morality of law untuk menganalisis data dalam penelitian ini. Teori Morality of Law Lon L Fuller pertama kali dipublikasi pada tahun 1964 dan merupakan karya Lon L Fuller yang paling terkenal dan paling kontroversial karena lahir pada saat positivisme hukum masih mendominasi.
Lon L Fuller merupakan salah satu teoritisi hukum dari kelompok naturalis, yaitu kelompok naturalis yang fokus pada hukum yang baik dan hukum yang tidak baik yang diukur dari etik dan moral. Dalam teorinya, Lon L Fuller mengemukakan pentingnya moral dalam hukum termasuk dalam pembentukan aturan. Moralitas, baik morality of duty maupun morality of aspiration menjadi bangunan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dalam mengatur masyarakat.

Lon L Fuller membedakan moral menjadi 2 (dua) yaitu (1) morality of duty dan (2) morality of aspiration. Morality of duty berkenaan dengan moral yuridis yaitu syarat-syarat minimal yang harus dipenuhi oleh tatanan kemasyarakatan. Morality of duty ditunjukan pada sikap warga masyarakat itu, dapat ditetapkan dengan bantuan membentuk aturan hukum. Morality of duty inilah yang ditransformasikan ke dalam hukum positif sehingga Morality of duty terbuka untuk diubah atau disesuaikan dengan hukum positif. Sedangkan morality of aspiration yaitu mengarah kepada manusia individual dalam upayanya mencapai kesempurnaan. Moral aspirasi lebih banyak memiliki jalan daripada estetika dan memberikan kebebasan kepada individu untuk menempuh jalannya sendiri.

Lon L Fuller juga membedakan moralitas menjadi moralitas hukum internal dan moralitas hukum ekternal. Moralitas hukum internal merupakan syarat yang harus dipenuhi agar moral dapat menjadi hukum atau moral layak mendapat nama ‘hukum’. Syarat formal inilah yang menjadi bahan untuk membentuk hukum, ia menjadi sejenis aturan teknis yang diperlukan dalam membentuk hukum. Aturan yang tidak memenuhi syarat moral hukum internal, tidak dapat menjadi aturan hukum. Sedangkan moralitas hukum eksternal berkaitan dengan syarat substantif bagi hukum agar hukum dapat disebut adil, termasuk bahwa hukum harus melindungi pihak-pihak yang lemah.

Menurut Lon Fuller, ‘morality that makes law possible’, moralitas membuat hukum menjadi mungkin. Peranan moral dalam hukum sangat erat, sehingga hukum dan moral tidak dapat dipisahkan sebagaimana pandangan aliran hukum alam pada umumnya. Sebagaimana ditulis oleh Lon L Fuller:
“Rex’s bungling career as legislator and judge illustrates that the attempt to create and maintain system of legal rules may miscarry in at least eight way; there are ini this enterprise, if you will, eight distinct routes to disaster. “The first and most obvious lies in a failure to achive rules at all, so that every issue must be decided on an ad hoc basic. (2) a failure to publize, or at least to make available to the affected pary, the rules he isi expected to observe; (3) the abuse of rectroactive legislation,...; (4) a failure to make rules understandable; (5) the enactment of contradictory rules or; (6) rules that require conduct beyond the power of the affected party; (7) introducing such frequent changes in the rules that the subject cannot orient his action by them; and finally (8) a failure of congruence between the rules as announced and their actual administration.

Menurut Fuller, terdapat 8 (delapan) hal yang menjadi penyebab kegagalan hukum. Delapan kegagalan hukum tersebut dapat dihindari bila terjadi penekanan pada isi hukum positif dengan 8 (delapan) persyaratan moral tertentu yang meliputi:
a. laws should be general.
Harus ada aturan-aturan sebagai pedoman dalam pembuatan keputusan sehingga perlunya sifat tentang persyaratan sifat keumuman. Aturan-aturan ini menjadi pedoman kepada otoritas sehingga keputusan otoritatif tidak dibuat atas suatu dasar ad hoc dan atas dasar kebijakan yang bebas, melainkan atas dasar aturan-aturan yang umum yang berlaku untuk umum.
b. they should be promulgated, that citizens might know the standards to which they are being held.
Setiap aturan-aturan yang menjadi pedoman bagi otoritas tidak boleh dirahasiakan melainkan harus diumumkan (publikasi). Persyaratan bahwa hukum harus dipromulgasi (dipublikasikan) karena orang tidak akan mematuhi hukum yang tidak diketahui oleh pihak yang menjadi sasaran penerapan hukum (norm adressaat).
c. retroactive rule-making and application should be minimized.
Aturan-aturan harus dibuat untuk menjadi pedoman bagi kegiatan di masa mendatang sehingga hukum diminimalisasi berlaku surut.
d. laws should be understandable.
Hukum harus dibuat agar dapat dimengerti oleh rakyat.
e. free of contradiction.
Aturan-aturan tidak boleh bertentangan satu sama lain baik secara vertikal maupun horizontal.
f. laws should not require conduct beyond the abilities of those effected.
Aturan-aturan tidak boleh mensyaratkan perilaku atau perbuatan di luar kemampuan pihak-pihak yang terkena akibat hukum, artinya hukum tidak boleh memerintahkan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan.
g. they should remain relatively constant through time.
Hukum tidak boleh diubah sewaktu-waktu, sehingga hukum harus tegas.
h. they should be a congruence between the laws as announced and their actual administration.
Hukum harus ada konsistensi antara aturan-aturan sebagaimana yang diumumkan dengan pelaksanaan kenyataannya.
Lebih lanjut sebagaimana digambarkan dalam gambar di bawah ini:

Delapan kriteria tersebut, diperlukan sebagai kondisi dalam melaksanakan kegiatan pembentuk peraturan perundang-undangan dalam membuat peraturan perundang-undangan (law making process). Menurut Lon L Fuller, hukum merupakan “the enterprise of subjecting human conduct to the governance of rules” , sehingga apabila pembentuk peraturan perundang-undangan menerapkan delapan prinsip aturan hukum tersebut, maka hukum dapat mempengaruhi alasan praktis norm adresaat sehingga ia dapat mengambil tindakan hukum tentang bagaimana harus bertindak. Jadi selama pembentuk peraturan perundang-undangan menghindari kegagalan sehubungan dengan setiap prinsip dari delapan hal yang mengakibatkan kegagalan hukum, pembentuk peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

D. Perda di Bidang Pertambangan Minerba

Dalam UU No. 4 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah pelaksanaan UU No. 4 Tahun 2009, terdapat beberapa Pasal yang mengatur mengenai pelaksanaan lebih lanjut mengenai noma tertentu diatur dalam Peraturan Daerah. Pasal-pasal tersebut meliputi:
1. Pasal 26 UU 4/2009: Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan mekanisme penetapan WPR, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal 23 diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota.
2. Pasal 72 UU 4/2009: Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian IPR diatur dengan peraturan daera kabupaten/kota.
3. Pasal 143 UU 4/2009: Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan pertambangan rakyat diatur dengan peraturan daerah kabupaten/ kota.
4. Pasal 46 PP 78/2010: Ketentuan lebih lanjut mengenai reklamasi dan pascatambang pada wilayah pertambangan rakyat diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah ini.
5. Pasal 51 PP 78/2010: Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif kepada pemegang IPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 diatur dengan peraturan daerah kabupaten/ kota.
Namun, di luar perintah pengaturan dalam Perda sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 4 Tahun 2009 dan PP No. 78 Tahun 2010, Pemerintah Daerah dapat membentuk peraturan daerah dalam rangka pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sebagaimana dijelaskan terdahulu bahwa Pemerintah Daerah berwenang membentuk peraturan perundang-undangan di tingkat daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan tugas perbantuan penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, menampung kondisi khusus daerah, dan penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal tersebut dipertegas dengan pengaturan dalam Pasal 8 dan 9 UU No. 4 Tahun 2009 tentang mengatur bahwa pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota berwenang membuat peraturan perundang-undangan daerah.

E. Penutup
Pembentukan peraturan perundang-undangan di tingkat daerah baik sebagai pelaksanaan otonomi daerah, tugas perbantuan, menampung kondisi khusus daerah, maupun penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi haru sesuai dengan asas dan materi muatan peraturan perundang-undangan di tingkat daerah. Dalam konteks pelaksanaan pengaturan di bidang Pertambangan Mineba maka secara organik harus merujuk pada Pasal 33 UUD 1945, UU No. 4 Tahun 2009, PP No. 22 Tahun 2010, PP No. 23 Tahun 2010 sebagaimana diubah beberapa kali terakhir dengan PP No. 1 Tahun 2014, PP No. 55 Tahun 2010, dan PP No. 78 tahun 2010.
Pembentukan peraturan di tingkat daerah mengenai pertambangan minerba secara yuridis normatif diperintahkan Dalam Pasal 8 dan 9 UU No. 4 Tahun 2009 yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk membuat aturan mengenai pertambangan minerba di tingkat daerah. Berdasarkan landasan yuridis tersebut maka hal-hal yang perlu diatur di tingkat daerah sesuai dengan kebutuhan daerah perlu diatur selama memenuhi asas, prinsip, dan teknis pembentukan peraturan perundang-undangan.
*****

Senin, 01 September 2014

KETERANGAN AHLI PERKARA NOMOR 10/PUU-XII/2014 TENTANG PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

KETERANGAN AHLI
PERKARA NOMOR 10/PUU-XII/2014
TENTANG PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA
Oleh:
Dr. Ahmad Redi,S.H.,M.H
(Pengajar FH UniversitasTarumanagara Jakarta)

Yang saya muliakan Majelis Hakim Konstitusi
Yang saya hormati Wakil Pemerintah, Wakil DPR, dan Tim Kuasa Hukum Pemohon
Yang saya hormati Bapak/Ibu hadirian yang berbahagia

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Semoga segala keberkahan, kebaikan, dan kemuliaan tercurah pada bangsa dan negara kita, Indonesia.
Bismillahirohmanirohim.
1. Pendahuluan
Mendiskursuskan mengenai kegiatan ‘pengusahaan’ pertambangan mineral dan batubara (minerba), tidak akan terlepas dari konsepsi ‘penguasaan’ pertambangan minerba. Keduanya merupakan kesatuan utuh dan mutlak yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Apabila keduanya terpisah, maka jiwa dari penyelengaraan pertambangan minerba tersebut telah tercabut dari akarnya. Kesatuan utuh dan bulat tersebut, terlihat secara jelas dari pengaturan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 dalam frasa “dikuasai oleh negara” dan “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Kedua frasa tersebut merupakan 2 (dua) frasa sakral yang harus menjadi jiwa dari penyelenggaraan pertambangan minerba di Indonesia. Frasa “dikuasai oleh negara” merupakan jiwa ‘penguasaan’ atas pertambangan minerba, sedangkan frasa “sebesar-besar kemakmuran rakyat” merupakan jiwa dari tujuan penyelenggaraan pertambangan minerba dalam suatu kegiatan usaha atau ‘pengusahaan’. Jadi, jiwa Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 menjadi jiwa yang mutlak dan bulat dalam penyelenggaraan pertambangan minerba yang secara organik dilaksanakan dalam level peraturan perundang-undangan di bawah UUD NRI 1945.
Keterkaitan penguasaan oleh negara untuk kemakmuran rakyat akan mewujudkan kewajiban negara dalam hal: (1) segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang didapat (kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat; (2) melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam atau di atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam tertentu yang dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat; (3) mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan haknnya dalam menikmati kekayaan alam”. (Bagir Manan, Masdar Maju, 1995).
Jiwa Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 tersebut telah pula dimaknai oleh Mahkamah Konstitusi sebagaimana dalam Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003:
“Bahwa rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif) dalam rangka sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat”
Landasan mengadakan kebijakan, pengurusan, dan pengaturan menjadi landasan terpenting dalam penyelenggaraan penguasaan oleh negara atas pertambangan minerba. Landasan terpenting pula bagi pengadaan kebijakan, pengurusan, dan pengaturan negara terkait pelaksanaan peningkatan nilai tambah serta pengelolaan dan pemurnian di dalam negari oleh Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus(IUPK).
Penyelenggaran kebijakan, pengurusan, dan pengaturan terkait pelaksanaan pengelolaan dan pemurnian di dalam negari oleh Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi tentunya memiliki tantangan bagi Pemerintah dan pemerintah daerah. Hal ini antara lain disebabkan faktor realitas pertambangan minerba yang merupakan komoditas yang bernilai ekonomi tinggi, sehingga sektor pertambangan terus dilirik oleh perusahaan-perusahaan untuk dapat melakukan eksplorasi dan eksploitasi tambang di negara-negara berkembang. Pemburuan terhadap komoditas tambang didasari pula oleh adanya kepentingan negara-negara maju dalam pemenuhan kebutuhan dalam negeri negara tersebut yang yang sangat tinggi untuk melakukan aktifitas kehidupan, terutama konsumsi energi (batubara) dan industri (mineral) yang menjadi tumpuan dalam perekonomian negara-negara maju. Tidak heran bila negara-negara maju berusaha keras untuk mendapatkan potensi sumber daya alam (pertambangan) tersebut dengan memburunya di berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. Diburu karena, komoditas pertambangan minerba tidak dapat dipindahkan dari suatu wilayah ke wilayah lain. Ia melekat di perut bumi Indonesia. Pengusahaan oleh perusahaan-perusahaan tersebut di Indonesia bukan menjadi suatu persoalan apabila selain memberikan manfaat tekonomi bagi perusahaan tersebut maka Indonesia sebagai penguasa sumber daya alam tersebut pun harus mendapatkan manfaat ekonomi dan sosial yang lebih banyak dibandingkan perusahaan-perusahaan tersebut.
Namun di sisi lain, minerba sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sebagai kekayaan yang tak terbarukan, maka minerba harus benar-benar memberikan manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan yang baik bagi bangsa Indonesia sebagaimana asas penyelenggaraan pertambangan minerba yang manfaat, berkeadilan, dan keseimbangan, serta kebeperpihakan pada kepentingan bangsa. Sehingga, penyelenggaraan pertambangan minerba tersebut harus memberikan nilai tambah yang maksimal bagi bangsa Indonesia.
Salah-satu peningkatan nilai tambah tersebut dilakukan melalui pelaksanaan pengelolaan dan pemurnian pertambangan mineral di dalam negeri. Agar hasil tambang mineral Indonesia tidak diangkut mentah-mentah ke luar negeri oleh perusahaan tambang, namun sebelum dibawa ke luar negeri harus dilakukan pengelolaan dan pemurnian terlebih dahulu di dalam negeri. Tanah air Indonesia di bawah ke luar negeri tambah memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan bangsa Indonesia, padahal bangsa Indonesia-lah yang sesungguhnya merupakan penguasa, pemilik, dan penikmat utama dari kekayaan alam Indonesia.
Pelaksanaan pemurnian di dalam negeri dimaksudkan antara lain untuk:
a. meningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambah dari produk;
b. tersedianya bahan baku industri;
c. penyerapan tenaga kerja; dan
d. peningkatan penerimaan negara.
Pelaksananaan pengelolaan dan pemurnian dengan segala instrumen kebijakan, pengurusan, pengaturan, dan pengelolaan menjadi bentuk pelaksanaan norma penguasaan negara atas pertambangan minerba. Sehingga, pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 (UU Minerba), Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010, Peraturan Nomor 24 Tahun 2012, dan Peraturan Nomor 1 Tahun 2014 merupakan bentuk instrumen kebijakan, pengurusan, pengaturan, dan pengelolaan sebagai pelaksanaan norma penguasaan negara atas pertambangan minerba sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 yaitu agar minerba dalam hal ini mineral dapat memberikan sebesar-besar kemakmuran bagi rakyat Indonesia. Terlebih bahwa peraturan perundang-undangan di bawah UUD NRI 1945 tersebut merupakan bentuk penguasaan oleh negara sebagaimana dinyatakan oleh MK dalam Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 dalam hal fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) yaitu dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah dengan membentuk UU No.4 Tahun 2009, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif) dengan membentuk peraturan pelaksanaan UU No. 4 Tahun 2009dalam rangka sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat.

2. Perizinan Pengusahaan Mineral Bukanlah Bentuk Peralihan Penguasaan dan Pemilikan Dari Negara ke Pemegang IUP
Dalam keterangan ahli Pemohon, Ir. Simon Sembiring, Ph.D menyatakan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 92 UU Minerba bahwa “Pemegang IUP dan IUPK berhak memiliki mineral, termasuk mineral ikutannya, atau batubara yang telah diproduksi apabila telah memenuhi iuran eksplorasi atau iuran produksi kecuali mineral ikuran radioaktif”. Menurut Ir. Simon Sembiring, Ph.D, ketentuan ini menjamin adanya kebebasan bagi pemegang IUP/IUPK produksi, setelah membayar iuran produksinya (royalti) untuk memiliki dan memperdagangkan hasil mineral yang telah diproduksinya. Secara hukum, dengan membayar royalti maka telah terjadi pemindahan kepemilikan dari negara kepada pemegang IUP/IUPK, sehinggga pemegang IUP/IUPK berhak memperdagangkannya termasuk mengekspornya.
Menurut saya, keterangan dari Ir. Simon Sembiring, Ph.D justru bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945. Untuk menafsirkan kepemilikan mineral dan batubara sebagaimana diatur dalam Pasal 92 UU Minerba harus diikatkan dengan:
a. Kepemilikan merupakan konsep keperdataan.
Dalam konteks pertambangan minerba, aspek hukum pelaksanaannya harus dimaknai sebagai bentuk penguasaan oleh negara atas sumber daya alam. Dalam konteks kepemilikan ini sebagaimana pelaksanaan jual beli yang mengakibatkan peralihan kepemilikan atas objek yang dijual-belikan. Antara Pemerintah dengan pemegang IUP tidak dalam rangka pelaksanaan jual beli. Istilah royalti pun mengisyaratkan bahwa tidak terjadi peralihan kepemilikan. Royalti bermakna sebagai kewajiban dari seseorang kepada pemilik hak atas suatu objek, misalnya royalti dari penerbit buku kepada pengarang buku yang atas royalti tersebut tidak terjadi peralihan kepemilikan ciptaannya. Sehingga, pembayaran royalti tidaklah mengubah status kepemilikan atas suatu objek tertentu, kecuali melalui skema jual beli sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Padahal, pengusahaan pertambangan minerba tidak dilakukan dalam konteks jual beli antara Pemerintah atau pemerintah daerah dengan Pemegang IUP/IUPK.Konsep kepemilikan dalam mineral termasuk mineral ikutan dalam konsepsi hukum pertambangan Indonesia, bukanlah konsep kepemilikan akibat jual beli sebagaimana diatur dalam Pasal 1457 KUPerdata yang menyatakan bahwa “jual beli adalah persetujuan yang mengikat pihak penjual berjanji menyerahkan sesuatu barang/benda dan pihak lain yang bertindak sebagai pembeli mengikat diri berjanji untuk membayar harga”. Namun, dalam konteks Pasal 93 UU Minerba dan dikaitkan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945, terhadap mineral dan ikutannya maka walaupun Pemegang IUP/IUPK telah memenuhi iuran eksplorasi atau iuran produksi, namun pemegang IUP/IUPK tidak dapat semau dan sekehendaknya memperlakukan mineral dan ikutannya, akan tetapi Pemagang IUP/IUPK termasuk mineral dan mineral ikutannya tetap dikenai kewajiban-kewajiban sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, termasuk kewajiban pengelolaan dan pemurnian di dalam negeri.
Dengan demikian, jelas bahwa konsep pemilikan dalam Pasal 92 UU Minerba bukanlah konsep keperdataan sebagaimana dalam KitabUndang-Undang HukumPerdata (hukum privat) namun ia merupakan konsep kepemilikan dalam hukum tata negara (hukum publik).

b. Pengusahaan pertambangan dilakukan melalui IUP
Dalam pengusahaan pertambangan sejak terbitnya UU Minerba, skema pengusahaan pertambangan minerba melalui rezim perizinan sebagaiberikut:



PerbedaanKontrak/Perjanjian, Izin, dan Hak
Aspek Kontrak/Perjanjian Izin Hak
HubunganHukum Perdata Publik Publik
PenerapanHukum Para Pihak Pemerintah Pemerintah
Subjek Para Pihak Perorangan dan badan usaha Perorangan, badan usaha, masyarakat hukum adat
PilihanHukum Berlaku pilihan hukum dan pilihan forum Tidakberlaku Tidakberlaku
PenyelesaianSengketa Arbitrase/Alternative Dispute Resolution PTUN PTUN
AkibatHukum Kesepakatan Pihak Sepihak Sepihak
KepastianHukum Kesepakatan Pihak Terjamin Terjamin
HakdanKewajiban DuaPihak Pemerintah lebih besar Pemerintahlebihbesar
SumberHukum Peraruran perjanjian itu sendiri Peraturan perundang-undangan Peraturanperundang-undangangan

Contoh KontrakKarya (KK), Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), Kontrak Kerja Sama Migas. Izin Usaha Pertambangan, Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu, Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu HakHutanAdat, Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3), Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Milik, Hak Guna Bangunan.
Dalam skema perizinan, pemberi izin memiliki posisi tinggi/superior dibanding penerima izin. Pemberi izin, dapat menyaratkan apapun persyaratan bagi setiap pemohon izin agar dapat mendapatkan izin. Hubungan hukum antara pemberi izin dan penerima izin bukanlah seperti para pihak secara kontraktual yang seimbang dan setara. Namun, pemberi izin (Pemerintah dan pemerintah daerah) berkedudukan lebih tinggi dari calon pemegang IUP/IUPK dan pemegang IUP/IUPK. Sehingga, setiap persyaratan dari pemberi izin (Pemerintah dan pemerintah daerah) harus dipenuhi oleh pemegang IUP/IUPK, termasuk pensyaratan kewajiban pengelolaan dan pemurnian di dalam negeri (Pasal 103 UU Minerba).Ini terkait pula dengan fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie).

C. Pemegang IUP/IUPK Seketika Harus Melakukan Pengelolaan dan Pemurnian di Dalam Negeri Pada Tahap Operasi Produksi
Dalam Pasal 103 UU Minerba diatur kewajiban Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi (OP) untuk melakukan pengelolaan dan pemurnian di dalam negeri. Status pemegang IUP dan IUPK dalam rezim pengaturan pertambangan minerba terdiri atas 2 (dua) pemegang IUP/IUPK OP, yaitu (1) Pemegang IUP/IUPK OP hasil perubahan dari KP, Surat Izin Pertambangan Daerah (SIPD), dan Surat Izin Pertambangan Rakyat (SIPR); dan (2) Pemegang IUP/IUPK OP baru yang bukan hasil perubahan dari KP, SIPD, dan SIPR. Kedua jenis izin tersebut memiliki perbedaan kewajiban pelaksanaan pengelolaan dan pemurnian di dalam negeri.
Perbedaan tersebut, yaitu Pemegang IUP/IUPK OP hasil perubahan dari KP, SIPD, dan SIPR diwajibkan melakukan pengelolaan dan pemurnian di dalam negeri paling lambat 5 (lima) tahun sejak Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 diundangkan (Pasal 112 ayat (4) huruf c). Hal ini sama dengan Pemegang KK/PKP2B yaitu paling lambat 5 (lima) tahun sejak UU Minerba diundangkan (Pasal 170 UU Minerba). Namun, sebaliknya bagi Pemegang IUP/IUPK OP pelaksanaan pengelolaan dan permunian di dalam negeri, mengikuti tahapan pertambangan sebagaimana tahapan pertambangan yang diatur dalam Pasal 36 ayat (1) UU Minerba yang mengatur bahwa tahapan kegiatan IUP Eksplorasi (kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan) dan IUP OP (kegiatan konstruksi, penambangan, pengelolaan dan pemurnian, serta pengakutan dan penjualan). Bahkan dalam Pasal 39 ayat (2) huruf d UU Minerba diatur bahwa dalam IUP OP harus dimuat lokasi pengelolaan dan pemurnian, sehingga bagi Pemegang IUP Eksplorasi tidak dapat diberikan IUP OP apabila tidak memiliki lokasi pengelolaan dan pemurnian. Lokasi pengelolaan dan pemurnian tersebut harus berada di dalam negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 103 UU Minerba baik dibangun sendiri, maupun bekerja sama dengan badan usaha, koperasi, atau perserorangan yang telah mendapatkan IUP/IUPK.
Dilihat dari konteks pengaturan dalam Pasal 36, Pasal 39, dan Pasal 103 UU Minerba tersebut, maka pelaksanaan pengelolaan dan pemurnian di dalam negeri harusoleh Pemegang IUP harus dilakukan seketika pada saat tahapan pengelolaan dan permunian telah dilaksanakan. Sehingga, apabila pengelolaan dan pemurnian tidak dilakukan di dalam negeri maka telah terjadi pelecehan UU Minerba dan telah terjadi pula pelecehan atas act of will rakyat Indonesia karena UU Minerba merupakan kehendak rakyat Indonesia yang diwakili oleh DPR dan Pemerintah yang pula sebagai amanat Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945.
D. Larangan Ekspor Tidak Dikenal Dalam Rezim Hukum Pertambangan Minerba
Dalam pasal-pasal di UU Minerba, PP Nomor 23 Tahun 2010, PP Nomor 24 Tahun 2012, dan PP Nomor 1 Tahun 2014 tidak dikenal frasa “larangan ekspor” apabila Pemegang IUP/IUPK tidak melaksanakan kewajiban pengelolaan dan pemurnian di dalam negeri. Munculnya frasa “larangan ekspor” pertama kali muncul dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2010 yaitu bahwa pemegang IUP OP dan IPR diterbitkan sebelum berlakunya Permen ESM Nomor 7 Tahun 2010 dilarang untuk menjual bijih (raw material atau ore) mineral keluar negeri dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Permen ESDM No. 7 Tahun 2012. Namun, Permen ESDM No. 7 Tahun 2012 tersebut telah diuji ke Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung pun telah membatalkannya.
Selanjutnya, apabila dilihat, dalam PP No. 1 Tahun 2014 secara normatif terkait pengaturan kepada Pemegang IUP dengan materi muatan yang sangat jelas, terdiri atas unsur: (1) kewajiban melakukan pengelolaan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri; (2) pemegang IUP yang telah melakukan pengelolaan dapat menjual ke luar negeri hasil pertambangannya dalam jumlah tertentu yang ketentuan lebih lanjutnya diatur dalam Pertaturan Menteri. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 112C PP No.1 Tahun 2014 tersebut, tidak ada keraguan bahwa tidak ada pengaturan mengenai larangan ekspor. Pun bila dianggap ada maka PP tersebutlah yang harusnya diuji ke Mahkamah Agung atau bila peraturan pelaksanaan dari PP tersebut, yaitu Peraturan Menteri ESDM No.1 Tahun 2014 yang dianggap melarang ekspor maka Peraturan Menteri tersebutlah yang diuji ke Mahkamah Agung.
Berdasarkan hal tersebut, nomenklatur “larangan ekspor” dan substansi “larangan ekspor” tersebut tidak ada satu pun dalam rezim pengaturan pertambangan Minerba. Pun, seandainya ada dalam PP dan Permen ESDM maka hal tersebut pun dibenarkan karena sebagaimana diatur dalam Pasal 103 ayat (3) UU Minerba bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan dan pemurnian diatur dalam Peraturan Pemerintah. Norma dalam Pasal 103 UU Minerna bukanlah norma yang selesai, sehingga Presiden dapat menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya (Pasal 5 ayat (2) UUD NRI 1945). Dalam PP No. 1 Tahun 2014 pun, norma (pengaturan) pengelolaan dan pemurnian belum selesai yaitu pelaksanaan pengelolaan dan pemurnian serta batasan minimun pengelolaan dan pemurnian diatur oleh Peraturan Menteri ESDM (Pasal 112C angka 5 PP No. 1 Tahun 2014).
Berdasarkan hal tersebut, maka Pemohon telah salah melakukan pengujian peraturan perundang-undangan, karena:
1. Pemerintah tidak pernah mengatur mengenai larangan ekspor mineral dan batubara dalam UU Minerba dan PP No. 23 Tahun 2010, PP No. 24 Tahun 2012, dan PP No. 1 Tahun 2014 ;
2. Pemerintah tidak pernah menfasirkan Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba sebagai bentuk pelarangan ekspor;
3. Larangan ekspor pernah ada di Permen ESDM No.7 Tahun 2010 yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung.
Jadi, tafsiran larangan ekspor dan tuduhan Pemerintah telah melakukan larangan ekspor dalam UU No.4 Tahun 2009 merupakan hal yang mengada-ada.

E. Politik Hukum Kewajiban Pengelolaan dan Pemurnian di Dalam Negeri
Kewajiban pengelolaan dan pemurnian telah muncul sebelum lahirnya UU Minerba. Misalnya, dalam Kontrak Karya antara Pemerintah RI dengan PT Freeport dan Kontrak Karya antara Pemerintah RI dengan PT Newmont Nusa Tenggara telah dimuat kewajiban pengelolaan dan pemurnian di dalam negeri dengan mempertimbangkan aspek keekonomian. Dilihat dari konteks dalam Kontrak Karya tersebut bahwa Pemerintah telah lama menganggap pentingnya pelaksanaan pengelolaan dan pemurnian di dalam negeri. Artinya kewajiban pengelolaan dan pemurnian di dalam negeri bukanlah hal yang baru dan ujug-ujug, tapi sudah diupayakan sejak lama oleh Pemerintah.Akhirnya kewajiban tersebut tidak hanya tertuang secara kontraktual namun juga dituangkan secara legislatif (UU) dan regulatif dalam peraturan perundang-undangan (PP dan Permen).

Bahkan tidak hanya dalam rezim pengaturan dlaam bidang Minerba, dalam bidang perdagangan pun sebagaimana diatur dalam Pasal 50 UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan diatur bahwa semua barang dapat diekspor atau diimpor, kecuali yang dilarang, dibatasi, atau ditentukan lain oleh undang-undang. Pemerintah melarang ekspor barang untuk kepentingan nasional dengan alasan. untuk melindungi kepentingan umum. Lebih lanjut dalam Pasal 54 ayat (2) UU No. 7 Tahun 2014 tersebut, diatur pula bahwa Pemerintah dapat membatasi Ekspor Barang dengan alasan: a. menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri; b. menjamin ketersediaan bahan baku yang dibutuhkan oleh industri pengolahan di dalam negeri; c. melindungi kelestarian sumber daya alam; d. meningkatkan nilai tambah ekonomi bahan mentah dan/atau sumber daya alam; e. mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditas Ekspor tertentu di pasaran internasional; dan/atau f. menjaga stabilitas harga komoditas tertentu di dalam negeri.
Berdasarkan hal tersebut di atas, jelas bahwa politik hukum Pemerintah dalam hal kewajiban pengelolaan dan pemurnian di dalam negeri merupakan pilitik hukum yang responsif. Melalui pengelolaan dan pemurnian di dalam negeri, terdapat peningkatan nilai tambah secara ekonomis, sosial, dan lingkungan. Jelas bahwa dengan pengelolaan dan pemurnian di dalam negeri akan berdampak pada penerimaan negara, tersedianya bahan baku di dalam negeri, penyerapan tenaga kerja, dan menjaga stabilitas harga komoditas tertentu di dalam negeri.

F. Kewajiban Pengelolaan dan Pemurnian Bukanlah Instrumen Pengendalian Produksi dan Ekspor
Dalam keterangan ahli Pemohon, Bapak Simon Sembiringmenyatakan bahwa guna kepentingan nasional, maka apabila bermaksud mengendendalikan produksi dan ekspor, seharusnya menggunakan Pasal 5 UU Minerba dan tidak adan relevansinya dengan Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba.
Berdasarkan pendapat Bapak Simon Sembiring, menurut saya terdapat perebedaan yang mendasar antara Pengendalian Produksi dan Ekspor dengan Kewajiban Pengelolaan dan Pemurnian di Dalam Negeri

Berikut ini saya sampaikan, perbedaan pengendalian produksi dan ekspor dengan kewajiban pengelolaan dan pemurnian di dalam negeri:

Perbedaaan Pengendalian Produksi dan Ekspor dengan Kewajiban Pengelolaan dan Pemurnian di Dalam Negeri
Aspek Pengelolaan dan Pemurnian di Dalam Negeri Pengendalian
Norma Pasal 5 Pasal 103
Tujuan Pengendalian produksi dan ekspor Penerimaan negara, tersedianya bahan baku di dalam negeri, penyerapan tenaga kerja,
Proses Persetujuan DPR RI Tidak perlu persetujuan DPR RI
Hasil Penetapan jumlah produksi perprovinsi/tahun Pembangunan smelter

Kedua hal tersebut berbeda. Artinya dua hal kebijakan tersebut dapat dilakukan oleh Pemerintah dalam aspek yang berbeda, yaitu dalam kontek peningkatan nilai tambah atau dalam konteks pengendalian produksi dan ekspor. Dalam kaitannya dengan Pasal 103 UU Minerba dan peraturan pelaksanaannya, maka jelas bahwa Pemerintah dalam hal ini sedang mengatur, mengurus, dan membuat kebijakan mengenai kewajiban pengelolaan dan pemurnian. Hal ini didasari oleh misalnya, dalam pengaturan, pengurusan, dan pembuatan kebijakan tersebut tidak dilakukan dengan persetujuan DPR dan hasulnya bukan melalui penetapan jumlah produksi perprovinsi/tahun, namun Pemerintah menekankan kewajiban menegenai pengelolaan dan pemurnian di dalam negeri bagi pemegang KK dan pemegang UIP hasil perubahan KP, SIPD, dan SIPR sejak tanggal 12 Januari 2014. Sedangkan IUP baru yang dikeluarkan setelah UU Minerba memiliki kewajiban pengelolaan dan pemurnian di dalam negeri sejak IUP tersebut diberikan, tepatnya pada saat tahapan operasi produksi.

G. Penutup
Majelis Hakim yang mulia,
Hadirian yang saya hormati,

Perusahaan tambang jangan hanya mementingkan ‘perut’nya sendiri, namun meninggalkan kepentingan ‘perut’ ibu pertiwi. Harus ada keadilan dan kemanfaatan pertambangan bagi bangsa Indonesia. Hasil tambang mentah-mentah yang di bawah ke luar negeri tanpa diolah dan dimurnikan di dalam negeri merupakan bentuk pelecehan pelaku usaha baik kepada UUD NRI 1945, UU Minerba, dan peraturan pelaksanaannya maupun kepada rakyat Indonesia yang sesungguhnya penikmat utama hasil tambang untuk sebesar-besar kemakmurannya. Pengaturan mengenai kewajiban bagi Pemegang IUP/IUPK untuk melakukan pengelolaan dan pemurnian di dalam negeri telah sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945.

Perintah kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri sebagaimana tertuang dalam Pasal 112 UU Minerba yang secara tegas memerintahkan pemegang IUP/IUPK untuk melakukan pemurnian di dalam negeri telah tepat sebagai bentuk perlawanan kepada Pemegang IUP/IUPK lebih memilih memurnikan mineral mentah Indonesia ke negara lain, seperti Spanyol dan Jepang. Mineral mentah tersebut dibawa keluar negeri tanpa memberikan nilai tambah bagi bangsa dan negara, pun ketika UU Minerba lima tahun lalu (2009) memerintahkan agar para pemegang IUP/IUPK untuk memurnikan di dalam negeri, perusahaan pemegang IUP dan IUPK tidak mematuhinya. Padahal pemurnian di dalam negeri diperuntukkan agar terjadinya manfaat nilai tambah dari mineral, tersedianya bahan baku industri, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan penerimaan negara bagi Indonesia.

Politi khukum kewajiban pengelolaan dan pemurnian di dalam negeri merupakan politik hukum yang responsif dari DPR dan Pemerintah. Politik hukum yang berlandaskan pada konsep the greatest happiness of the greatest number. Politik hukum yang merupakan pelaksanaan konsepsi Indonesia sebagai negara hukum dan konsep bahwa kekayaan alam harus dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Bahwa peraturan yang baik ialah peraturan yang mampu memberikan kebahagiaan/manfaat terbesar bagi seluruh rakyat. Pilihan substansi pengaturan harus berpihak pada mayoritas banyak orang (rakyat), walaupun menimbulkan sedikit kerugian bagi pihak lain.
Salam “Pertambangan Untuk Kemakmuran Rakyat”!
--------

Selasa, 25 Februari 2014

MENGGAGAS OTONOMI KHUSUS BATAM


(Dr. Ahmad Redi.,S.H.,M.H
Pengajar FH Universitas Tarumanagara dan peneliti di Satjipto Rahardjo Institute)


BJ Habibie, Presiden ketiga Indonesia dan mantan Ketua Otorita Batam, dalam beberapa kesempatan menyampaikan bahwa pengembangan Batam pada awalnya dimaksudkan untuk menjadi pesaing negara Singapura. Wong Poh Kom dan Ng Kwan Kee dari National University of Singapore menyatakan pula bahwa, Habibie memperkenalkan ‘teori balon’ dalam pengembangan Batam pada tahun 1970-an. Melalui teori itu, Habibie bersintesis bahwa Singapura seperti balon yang terisi dengan udara. Jika balon udara pertama (Singapura) telah penuh maka ia akan mencari balon kedua (Batam), karena apabila balon pertama tetap dipaksa untuk diisi maka balon pertama akan meledak. Batam dari Indonesia bisa mendapatkan keuntungan dari "pertumbuhan berlebihan" Singapura karena wIlayah yang berdekatan dengan Singapura sehingga dapat diposisikan sebagai perpanjangan dari basis perkembangan Singapura. Selain itu, secara geografis batam terletak di jalur perdagangan internasional, sehingga potensi Batam sangat luar biasa bagi kepentingan nasional Indonesia.
Diawali dengan penetapan Pulau Batam sebagai basis logistik dan operasional bagi usaha-usaha yang berhubungan dengan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi Pertamina (Keppres No.65 Tahun 1970), penetapan sebagian dari Pulau Batam sebagai daerah industri yang diberi status sebagai entrepot partikelir (Keppres No.74 Tahun 1971), penetapan seluruh Pulau Batam menjadi daerah industri (Kepres 41 Tahun 1973), dan terakhir penetapan Batam sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Batam (PP No 46 Tahun 2007), membuktikan bahwa kebijakan pembangunan Batam sangat spesial dibandingkan daerah lain di Indonesia. Bahkan, melalui Kepres No.41 Tahun 1973 dan dipertegas kembali dalam PP No.46 Tahun 2007, seluruh Pulau Batam diberikan hak pengelolaan atas tanah kepada Otorita Batam (sekarang Badan Pengusahaan). Satu-satunya di Indonesia, daerah yang memiliki kekhususan pengelolaan tanah melalui hak pengelolaan atas tanah. Berdasarlan fakta perkembangan tersebut, Batam telah diperlakukan secara khusus dan berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Tentunya, kekhususan Batam tersebut dilaksanakan untuk kepentingan nasional Indonesia.
Otonomi Asitmetri
Pembahasan mengenai otonomi asimetri pertama kali dibahas oleh Charles Tarlton (1965) dari University of California. Menurutnya, pembeda utama antara otonomi biasa (simetri) dengan otonomi asimetri terletak pada tingkat kesesuaian (conformity) dan keumuman (commonality) dalam hubungan suatu level pemerintahan (negara bagian/daerah) dengan sistem politik dan sistem pemerintah pusat maupun antar negara bagian/daerah. Pola simetris ditandai oleh “the level of conformity and commonality in the relations of each separate political unit of the system to both the system as a whole and to the other component units”, di sisi lain pola asimetris merupakan satu atau lebih unit politik atau pemerintah local “possessed of verying degrees of autonomy and power”.
Kerangka pemikiran Tarlton tersebut diadopsi dan diperbarui oleh John McGarry (2007) dari Queen’s University. McGarry mengembangkan otonomi asimetri Tarlton tidak hanya terkait substansi asimetri tetapi juga bentuk dasar pengaturan hukumnya. Menurut McGarry, model asimetri akan terjadi apabila otonomi semua unit pemerintahan substansional dijamin Konstitusi dan terdapat sekurang-kurangnya satu unit lokal yang menikmati level otonomi yang berbeda (umumnya otonomi yang lebih luas).
Di Indonesia, konsep otonomi asimetri McGarry secara teori dan praktik telah diterapkan. Pertama, negara telah mengatur perlakuan khusus atau istimewa terhadap satuan-satuan pemerintahan daerah yang secara konstitusional diatur dalam Pasal 18B UUD NRI 1945 yang mengatur bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Kedua, Indonesia telah memiliki empat daerah di level pemerintahan provinsi yang menikmati otonomi asimetri, yaitu DKI Jakarta, Nangroe Aceh Darusalam, Papua, dan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang keempat daerah tersebut memiliki dasar pembentukan kekhususan/keistimewaan berdasarkan undang-undang khusus.
Otonomi Khusus Batam
Otonomi khusus Batam merupakan suatu hal yang pasti apabila pemerintah berkeinginan pengembangan Batam sebagai daerah yang maju dan berkembang seperti Singapura. Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi alasan kekhususan Batam, pertama, alasan yuridis. Pasal 18B UUD 1945 menjadi dasar pengakuan kekhususan atau keistimewaan daerah-daerah di Indonesia, termasuk Batam dan dipertegas dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, UU No.32 Tahun 2004 tidak mengatur kriteria dan tata cara secara lengkap mengenai kekhususan/keistimewaan tersebut. Pun apabila mengatur mengenai kekhususan hanya terkait dengan kawasan khusus yang tidak terkait dengan otonomi khusus satuan-satuan pemerintahan daerah.
Kedua, alasan kesejarahan-politis. Secara historis, Batam telah diberlakukan khusus oleh pemerintah pusat sejak tahun 1970-an yang berbagai penetapan kekhususan batam, mulai dari gudang minyak Pertamina, entrepot partikelir, daerah industri, dan terakhir sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. Berbagai fasilitas di bidang kepabean, cukai, perpajakan, ekspor-impor, keimigrasian khusus berlaku di Batam yang berbeda dengan daerah lainnya. Bahkan seluruh Pulau Batam diberikan hak pengelolaan atas tanah kepada Otorita Batam (Badan Pengusahaan) yang membuat badan ini dapat merencanakan, memperuntukan, dan menggunakan lahan tersebut untuk menunjang industrialisasi Batam. Sejarah hukum tersebut mengandung politik hukum pemerintah memberlakukan Batam secara afirmatif.
Ketiga, alasan akademik-komperatif. Dalam khasanah ilmu politik dan pemerintahan, pola pengaturan yang tidak seragam ini disebut sebagai assymetrical decentralization, asymetrical devolution atau assymetrical federalis, atau secara umum assymetrical intergovernmental arrangements. Secara prinsipil, berbagai bentuk penyebaran kekuasaan yang bercorak asimetris menjadi instrumen kebijakan yang dimaksudkan untuk mengatasi dua hal fundamental yang dihadapi suatu negara, yakni persoalan bercorak politik dan persoalan yang bercorak teknokratik-managerial, yakni kapasitas suatu daerah atau suatu wilayah dalam menjalankan fungsi dasar pemerintahan. Persoalan yang bercorak teknokratik-managerial yang membuat Batam saat ini tidak mampu berkembang secara maksimal, diupayakan suatu assymetrical decentralization sebagai debotlleneck pengembangan Batam.
Akhirnya, Batam mampu menjadi daerah yang berkembang seperti Singapura apabila penyelenggaraan Batam dilakukan secara khusus dengan menjadikan Batam sebagai provinsi baru yang bersifat khusus. Kewenangan-kewenangan khusus yang dituangkan dalam undang-undang pembentukan pemerintah daerah provinsi Batam, misalnya menjadikan Kepala Badan Pengusahaan sekaligus Gubernur Batam akan menyelesaikan persoalan misalnya tumpang tindih kewenangan antara Walikota Batam dengan Kepala Badan Pengusahaan Batam yang selama ini membuat Batam terhambat berkembang. Dengan demikian, cita-cita pengembangan Batam di masa lalu untuk mampu menyaingi Singpura dapat terwujud.
-------------

Dimuat di Kompas (12/02/2014),

Selasa, 07 Januari 2014

EKSPOR MINERAL MENTAH DAN PELECAHAN UNDANG-UNDANG

Dr. Ahmad Redi.,S.H.,M.H


Agar hasil tambang mineral Indonesia tidak diangkut mentah-mentah ke luar negeri oleh perusahaan tambang, perlu dibangun fasilitas pemurnian (smelter) di dalam negeri. Pelaksanaan pemurnian di dalam negeri dimaksudkan antara lain untuk meningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambah dari produk, tersedianya bahan baku industri, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan penerimaan negara.
Secara normatif, pengaturan mengenai kewajiban pemurnian mineral di dalam negeri diatur dalam Pasal 170 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 (UU Minerba) yang mengatur bahwa semua pemegang kontrak karya (KK) yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian di dalam negeri selambat-lambatnya lima tahun sejak UU Minerba diundangkan, konsekuensi yuridisnya yaitu pada tanggal 12 Januari 2014 semua pemegang KK termasuk perusahaan-perusahaan tambang raksasa seperti PT Freeport dan PT Newmont Nusa Tenggara harus talah melakukan pemurnian hasil tambangnya di dalam negeri.
Berdasarkan Pasal 170 tersebut maka beberapa hari lagi semua pemegang KK harus melakukan pemurnian di dalam negeri. Namun, apakah saat ini kegiatan pemurnian tersebut sudah terlaksana? Jawabannya. hingga saat ini, pemurnian oleh perusahaan tambang yang ditandai dengan pembangunan fasilitas smelter baik sendiri atau bersama-sama belum terlaksana. Pun bila dianggap telah ada kegiatan pemurnian, kegiatan tersebut untuk sebagian kecil hasil tambangnya dilakukan melalui kerjasama dengan pihak lain misalnya antara PT Freeport dan PT Newmont Nusa Tenggara dengan PT Smelting Gresik. Bahkan perusahaan tambang lebih memilih membangun smelter di luar negeri, misalnya di Jepang dan Spanyol untuk memrnikan mineral mentah (ore) yang berasal dari Indonesia.

Pelecehan UU?
Bila sampai 12 Januari 2014, perusahaan pemegang KK belum melakukan pemurnian di dalam negeri sebagaimana diperintahkan Pasal 170 UU Minerba maka telah terjadi pengingkaran terhadap UU Minerba. Pengingkaran terhadap UU merupakan pengingkaran terhadap kehendak rakyat. Dalam proses penyusunan RUU Minerba saat itu, diskursus mengenai kewajiban pemurnian dalam negeri ini menjadi diskursus yang panas karena ia menyangkut isu nasionalisme. Bila sudah diberi waktu yang cukup panjang (5 tahun), namun tidak juga membangun bahkan untuk tahap studi kelayakan pun belum, berarti sudah ada itikad tidak baik dari pemegang KK untuk mematuhi UU. Hal ini sama dengan pelecehan terhadap kehendak rakyat yang terkristalisasi dalam pasal-pasal UU.
Di sisi lain, akibat tidak dilakukan pemurnian di dalam negeri tersebut, Pemerintah harus menelan pil pahit karena apabila pemurnian di dalam negeri tetap dipaksakan pada 12 Januari 2014 sesuai UU Minerba maka menimbulkan berbagi persoalan baru. Terdapat dua dampak dari pelasakanaan Pasal 170 UU Minerba tersebut. Pertama, sebagai konstensi kepatuhan atas pengaturan Pasal 170 UU Minerba, Pemerintah harus melarang ekspor mineral yang tidak dimurnikan di Indonesia. Kedua, konsistensi pelaksanaan hilirisasi tersebut akan berakibat paling tidak pada tenega kerja, devisa negara, penerimaan negara, dan dampak sosial.
Pertama dampak tenaga kerja, apabila kewajiban pemurnian tetap dilaksanakan pada 12 Januari 2014, maka akan terjadi penurunan produksi bahkan berhentinya kegiatan penambangan. Hasil tambang yang dikenai kewajiban pemurnian di dalam negeri tidak dapat dimurnikan karena belum siapnya smelter yang akan memurnikan hasil tambang di dalam negeri. Dengan penurunan produksi diperkirakan akan terjadi lay off (PHK) tenaga kerja besar-besaran dan hal ini menjadi masalah baru pada saat Pemerintah bergiat pada kebijakan pro job.
Kedua, dampak devisa. Pemberlakuan larangan ekspor mineral akan mengakibatkan berkurangnya penerimaan devisa dari ekspor kurang lebih sebesar USD 5 Miliar. Selanjutnya, ketiga, dampak penerimaan negara. Berhentinya kegiatan usaha pertambangan berdampak pada penerimaan negara yang berasal dari pajak, bea keluar, dan penerimaan negara bukan pajak. Terakhir, dampak sosial, pemberlakukan larangan ekspor, akan menimbulkan permasalahan terhadap kegiatan ekonomi dan sosial khususnya di Papua dan NTB akibat turunnya kegiatan produksi pertambangan mineral PT Freeport dan PT Newmont Nusa Tenggara.

Solusi Kebijakan
Pertama, kebijakan larangan ekspor menjadi salah satu instrumen solusi bagi perusahaan tambang yang tetap tidak memurnikan hasil tambang di dalam negeri. Selama ini, tanah Indonesia berupa hasil tambang, mentah-mentah dibawa untuk dimurnikan di negara lain dan memberikan keuntungan bagi negara tersebut, padahal Indonesia sebagai penguasa sesungguhnya komoditas tersebut tidak maksimal mendapatlkan manfaat. Pemerintah harus berani untuk melarang ekspor atas komoditas yang belum diolah dan dimurnikan di dalam negeri. Bila ada perusahaan tambang yang tetap membawa komoditas tambang untuk diekspor tanpa diolah dan dimurnikan di dalam negeri, maka pengingkaran terhadap UU Minerba secara nyata terjadi. Namun di sisi lain, kebijakan ini akan berdampak luas dan sistemis.
Kedua, apabila kebijakan larangan ekspor tidak dilakukan. Presiden dapat saja mengeluarkan Perppu penundaan kewajiban pemurnian di dalam negeri. “Hal ikhwal kegentingan memaksa” dari penundaan ini, yaitu apabila tetap dipaksakan pelaksanaan pemurnian di dalam negeri maka akan berdampak pada lay off tenaga kerja besar-besaran, dampak sosial khususnya Papua dan NTB yang sebagian besar pendapatan asli daerahnya bersumber melalui penerimaan dari PT Freeport dan PT Newmont Nusa Tenggara, dampak devisa dan penerimaan negara dari pajak, bukan pajak, dan bea keluar. Namun di sisi lain, langkah ini memiliki kelemahan yaitu penerbitan Perrpu memiliki resiko politik yang tinggi. Selain itu, alasan sosiologis bahwa Pemerintah saat ini terlalu “ringan” dan sering mengalami “kegentingan yang memaksa” berdampak pada lemahnya wibawa Pemerintah.
Ketiga, revisi kedua PP No.23 Tahun 2010. Pemerintah dapat saja melarang ekspor bagi perusahaan tambang yang belum sama sekali memurnikan hasil tambangnya di dalam negeri, namun bagi perusahaan yang telah melakukan permunian sebagian, misalnya 20%-30% dari seluruh hasil tambangnya dapat melakukan ekspor namun dengan pengaturan bahwa dalam jangka waktu tahun tertentu harus telah memurnikan 100% hasil tambangnya.
Pemerintah harus segera menentukan kebijakannya, mengingat waktu yang ditentukan oleh UU Minerba yakni 12 Januari 2014 telah dekat. Tentunya Pemerintah akan mengeluarkan kebijakan yang mengakomodir semua kepentingan para pihak walau kebijakan tersebut, pasti ada penolakan dan penerimaan.


Dr. Ahmad Redi.,S.H.,M.H
Doktor Hukum Universitas Indonesia, Pengamat Hukum Pertambangan

Dimuat di Kolom Opini Koran Media Indonesia, 7 Januari 2014