ASSALAMU'ALAIKUM WR.WB.
SELAMAT DATANG DI BLOG PEMIKIRANREDI
"MENAWARKAN PERSPEKTIF KRITIS MELALUI PERPADUAN FILSAFAT, TEORI, DAN DOGMATIKA"

Kamis, 13 Agustus 2015

MENIMBANG PERPANJANGAN OPERASI TAMBANG PT FREEPORT


Dr. Ahmad Redi, S.H.,M.H
(Pengajar di FH Universitas Tarumanagara, Pengamat Hukum Sumber Daya Alam)

Momentum berakhirnya Kontrak Karya (KK) PT Freeport di Indonesia pada tahun 2021 harus digunakan secara baik dan benar oleh Pemerintah dengan menetapkan kebijakan yang pro sebesar-besar kemakmuran rakyat, bukan hanya pro pemilik modal semata. Salah menentukan kebijakan, kerugian negara baik materiil maupun imateriil atas kebijakan tersebut akan terjadi, tidak hanya kerugian bagi bangsa dan negara untuk generasi sekarang namun juga untuk generasi yang akan datang. Kesalahan pengambilan kebijakan terhadap nasib PT Freeport dapat saja mengulang kesalahan masa lalu yang merugikan kepentingan bangsa dan negara sejak 1967 (perpanjangan KK tahun 1991) sampai saat ini.
Polemik Kontrak Karya
Wacana perpanjangan operasi PT Freeport dari skema Kontrak Karya (KK) ke Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) semakin menguat. Walaupun dari aspek hukum, ekonomi, sosial, dan politik, perpanjangan usaha tersebut masih berpolemik. Misalnya, terkait dengan aspek hukum, secara regulatif, telah banyak ketidakpatuhan yang dilakukan oleh PT Freeport terhadap UU Minerba dan peraturan pelaksanaannya. Ketidakpatuhan yang paling kasat mata yaitu mengenai kewajiban pelaksanaan pengolahan dan pemurnian konsentrat yang harus dilaksanakan di dalam negeri. Kewajiban tersebut secara jelas dan tegas dipertintahkan dalam Pasal 170 UU Minerba bahkan dalam KK yang disepakati antara Pemerintah Indonesia dengan PT Freeport terdapat klausula mengenai pembangunan smelter apabila memenuhi syarat keekonomian untuk mengolah dan memurnikan konsentrat di dalam negeri.
Namun, faktanya UU Minerba yang diterbitkan tahun 2009 dengan memberi waktu lima tahun sejak UU Minerba terbit pada 2014, PT Freeport harus melakukan pengolahan dan pemurnian hasil tambangnya di dalam negeri. Namun, jangankah untuk melakukan pemurnian di dalam negeri atas konsetratnya, smelter pun belum juga dibangun hingga detik ini. Begitu pula dengan kewajiban pembayaran royalti sebesar 3.75 persen yang diperintahkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2012 tidak dilaksanakan oleh PT Freeport seketika Peraturan Pemerintah tersebut terbit, baru tahun 2014 PT Freeport mau membayar royalti melalui MOU antara Kementerian ESDM dengan PT Freeport.
Namun, sayangnya kemauan pembayaran royalti tersebut harus dibayar mahal oleh Pemerintah karena dengan MOU tersebut, Pemerintah memberikan waktu enam bulan pertama dan enam bulan kedua kepada PT Freeport untuk dapat melakukan ekspor konsentrat. Pahadal menurut UU Minerba dan PP No.1 Tahun 2014, tidak ada lagi ekspor mineral mentah. Akibatnya, Pemerintah melanggar UU Minerba dan PP No.1 Tahun 2014. Upaya Pemerintah harus dibayar sedemikian mahalnya.
Begitu pula aspek ekonomi, belum ada scientific evidence yang menyatakan bahwa PT Freeport menguntungkan bangsa dan negara ini lebih besar dibandingkan keuntungan yang mereka terima. Bila dihitung secara kasar, bahwa sejak tahun pertama kali beroperasi tahun 1967 PT Freeport membayar royalti 1 persen dan sejak 2014 membayar 3.75 persen, pajak badan 35 persen, serta dividen atas kepemilikan 9.36 persen saham Pemerintah. Bahkan pembayaran dividen untuk Pemerintah oleh PT Freeport pun sempat menunggak 2 tahun.
Berdasarkan hitungan sederhana tersebut, tentunya profit Pemerintah hanya dalam kisaran 38-40 persen. Hal tersebut berbeda di sektor migas yaitu Pemerintah dapat memperoleh profit 60-85 persen. Pahadal, menurut Pasal 33 ayat (3) negara harus mendapatkan sebesar-besar manfaat kekayaan alam bagi kemakmuran rakyat. Belum lagi masalah sosial dan politik yang hingga saat ini keberadaan PT Freeport menimbulkan kontraversi bagi sebagian rakyat Indonesia.
Revisi UU Minerba
Bila Pemerintah ingin memperpanjang usaha PT Freeport, maka: pertama, PT Freeport harus melaksanakan kewajiban sesuai peraturan perundang-undangan Indonesia, antara lain menyelesaikan pembangunan smelter, mendivestasikan sahamnya sebesar 30 persen sesuai PP No. 77 Tahun 2014, membayar dividen atas saham Pemerintah. Kedua, DPR bersama Pemerintah harus merevisi UU Minerba dengan memasukkan substansi, antara lain sebelum memperoleh IUPK PT Freeport (pemegang KK/PKP2B secara menyeluruh) harus mendivestasikan sahamnya 51% kepada Pemerintah/pemerintah daerah/BUMN/BUMD, pemegang KK/PKP2B harus membayar royalti/iuran produksi dengan besaran 20-30 persen.
Selain itu, perpanjangan KK menjadi IUPK tidak dapat dilaksanakan apabila pemegang KK belum memiliki smelter baik sendiri maupun kerjasama untuk memurnikan seluruh hasil tambangnya di dalam negeri, dan pemberian IUPK tidak langsung selama 20 tahun namun diberikan secara bertahap yaitu 10 tahun dahulu kemudian dievaluasi untuk diberikan 10 tahun selanjutnya.
Melalui substansi baru tersebut maka kepemilikan Indonesia atas saham pemegang KK (PT Freeport) bersifat mayoritas sehingga akan terjadi peralihan keuntungan (dividen) dan kepemilikan, selain itu penerimaan negara bukan pajak sebesar 20-30 persen ditambah pajak badan 25 persen, bagian pemerintah sebesar 10 persen sesuai Pasal 129 UU Minerba (4 persen pemerintah pusat dan 6 persen pemerintah daerah). Dengan demikian, negara Indonesia akan memperoleh manfaat maksimal atas keberadaan tambang emas dan tembaga di Papua.
Nasionalisasi Usaha PT Freeport
Bagi penulis, nasionalisasi pengusahaan KK PT Freeport dengan mengusahakan sendiri wilayah tambang bekas PT Freeport akan lebih baik. Pemerintah dapat menugaskan BUMN untuk mengusahakannya sebagaimana misalnya BUMN PT Inalum yang dibentuk dalam rangka melanjutkan proyek raksasa PLTA dan pabrik aluminium yang sebelumnya melalui Perjanjian Induk untuk PLTA dan Pabrik Peleburan Aluminium Asahan antara Pemerintah Indonesia dengan Nippon Asahan Aluminium Co., Ltd,. Pada tahun 2013, Pemerintah berani memutus kontrak/tidak memperpanjang dan mengolah sendiri Proyek Inalum. Begitupula dengan keberanian Pemerintah untuk merebut Blok Mahakam dengan kepemilikan saham mayoritas kepada Pertamina padahal sebelumnya Blok ini dikelola oleh PT Total E4P dan Inpex Corp.
Ini kembali ke politik hukum Pemerintah dan DPR, kesempatan untuk tidak memperjang KK sesungguhnya telah tertuang dalam Pasal 112B ayat (9) yang menyatakan bahwa Menteri ESDM dapat tidak memberikan IUPK atas perpanjangan KK apabila pemegang KK tidak menunjukkan kinerja perngusahaan pertambangan yang baik.
Akhirnya, Pemerintah dan DPR harus memastikan bahwa pasca 2021, rakyat Indonesia sebagai pemilik sumber daya alam yang ada di negerinya harus memperoleh manfaat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bukan sebesar-besar kemakmuran kapitalis asing.


Senin, 22 Juni 2015

NASIONALISASI KONTRAK KARYA FREEPORT



Dr. Ahmad Redi, S.H.,M.H
(Pengamat Hukum Sumber Daya Alam dari FH Universitas Tarumanagara)


Pada tahun 2021, Kontrak Karya (KK) PT Freeport Indonesia di Komplek tambang Grasberg, Papua, akan berakhir. Kompleks tambang Grasberg merupakan salah satu penghasil tembaga dan emas terbesar di dunia dan mengandung cadangan tembaga terbesar di dunia. Grasberg berada di jantung wilayah mineral yang sangat melimpah dan berusia panjang. KK PT Freeport ditandatangani pada 7 April 1967 dan telah diperbarui pada 30 Desember 1991. PTFI telah melakukan eksplorasi, menambang, dan memproses bijih yang mengandung tembaga, emas, dan perak di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Erstberg (sejak 1967) dan tambang Grasberg (sejak 1988), di kawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.

Mengapa dikelola Sendiri?
Tambang Grasberg, Papua, merupakan kekayaan alam bangsa Indonesia yang semestinya dapat dikelola sendiri oleh Indonesia untuk mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945. Ada beberapa hal yang menjadi alasan mengapa Indonesia harus mengelola sendiri tambang Grasberg, Papua, yaitu: (1) sebagai tambang emas terbesar di dunia tentu secara ekonomi akan memberikan manfaat penerimaan negara yang besar bagi negara ini apabila dikelola langsung oleh bangsa Indonesia sendiri; (2) selama ini PT Freeport cenderung ‘bandel’ atas kebijakan pemerintah, misalnya mengenai kewajiban pemurnian di dalam negeri dan membangun smelter; (3) besaran royalti yang sulit untuk dinaikkan dari 1% ke 3.75% sebagaimana diatur dalam PP No. 9 tahun 2010 tentang PNBP di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral padahal sebagai pemilik sumber daya alam Indonesia harusnya bangsa Indonesia mendapat royalti tidak hanya 3.75% tetapi puluhan persen; (4) PT Freeport sulit mendivestasikan sahamnya kepada pemerintah dan BUMN sebagaimana perintah UU No. 4 Tahun 2009; (5) kebijakan pemerintah yang berusaha ‘membela’ kepentingan PT Freeport menjadi beban bagi pemerintah sendiri, misalnya mengenai perpanjangan ekspor konsentrat selama enam bulan oleh pemerintah melalui MOU kepada PT Freeport membuat pemernitah harus digugat ke pengadilan karena dianggap melanggar peraturan perundang-undangan; (6) hasil tambang PT Freeport tidak memberikan nilai tambah bagi bangsa Indonesia secara maksimal misalnya untuk ketersediaan bahan baku industri dalam negeri.

Strategi Pengelolaan Sendiri

Berbagai alasan tersebut memperkuat posisi pemerintah untuk mengelola sendiri Komplek tambang Grasberg peninggalan PT Freeport pada 2021 nanti. Adapun skema yang dapat dilakukan pemerintah, yaitu: pertama, pemerintah membentuk BUMN baru untuk melanjutkan operasi produksi tambang Grasberg. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Pemerintah dengan membentuk BUMN PT Inalum setelah Pemerintah memutus kontrak dan mengambil alih saham yang dimiliki pihak konsorsium peruhasaan Jepang pada 2013. Kedua, Pemerintah dapat menugaskan konsorsium atau holding BUMN baru yang terdiri atas PT Bukit Asam, PT Nikel, PT Antam, dan beberapa BUMN di bidang perbankan untuk mengelola tambang Grasberg. Ketiga, dengan skema pembelian saham divestasi PT Freeport sebagaimana yang diatur dalam Pasal 112 UU No.4/2009 bahwa pemegang KK harus mendivestasikan sahamnya kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, dan perusahaan swasta nasional. Kepemilikan saham pemerintah PT Freeport harus 51% sesuai denganketentuan dalam PP No. 1/2014. Melalui saham mayoritas maka akan terjadi peralihan kepemilikan dan peralihan keuntungan dari PT Freeport kepada pemerintah Indonesia. Pilihan ketiga tersebut, bukanlah pilihan yang ideal karena saham divestasi yang akan dibeli oleh pemerintah tentunya memerlukan dana yang sangat besar dan akan membebani APBN. Sehingga upaya menunggu tahun 2021 ketika berakhirnya KK PT Freeport dan atas KK tersebut tidak diperpanjang dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan (IUP) serta memberikan Izin Usaha Pertambangan Khusus kepada BUMN tentunya menjadi pilihan terbaik agar dapat mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Secara prosedural. Perpanjangan KK menjadi IUP yaitu sebagaimana dalam Pasal 112 ayat (2) PP No. 23/2010 diatur bahwa KK yang belum memperoleh perpanjangan pertama dan/atau kedua dapat diperpanjang menjadi IUP perpanjangan tanpa melalui lelang dan kegiatan usahanya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan PP No.23/2010 mengenai penerimaan negara yang lebih menguntungkan. Perpanjangan KK menjadi IUP diberikan oleh Menteri ESDM (Pasal 112B PP No.24 Tahun 2012). Untuk memperoleh IUP, pemegang KK harus mengajukan permohonan kepada Menteri ESDM paling cepat dalam jangka waktu dua tahun dan paling lambat dalam jangka waktu enam bulan sebelum KK berakhir (Pasal 112B ayat (2) PP No. 24 Tahun 2012). Berdasarkan ketentuan tersebut, Pemerintah memiliki kewenangan yang kuat untuk tidak memperpanjang KK PT Freeport dengan IUP. Selanjutnya pada 2018/2019 PT Freeport sudah dapat mengajukan permohonan perpanjangan KK menjadi IUP. Momentum permohonan perpanjangan inilah yang harus dipertegas oleh pemerintah untuk tidak memperpanjang dan mengakhiri KK PT Freeport.
Saat ini tahun 2016, tahun 2018/2019 saat PT Freeport oleh peraturan perundang-undangan dapat mengajukan permohonan perpanjangan KK untuk menjadi IUP telah semakin dekat. Pemerintah harus telah menyiapkan rencana kebijakan sejak saat ini karena apabila pemerintah salah menentukan kebijakan maka akan menjadi warisan penderitaan bagi bangsa dan negara. Perlu juga dihindari upaya-upaya perubahan peraturan perundang-undangan yang sudah baik saat ini untuk kemudian diubah demi menguntungkan PT Freeport semata. Upaya penyelundupan kepentingan perusahaan dan merugikan kepentingan nasional melalui pengubahan peraturan perundang-undangan sangat berpotensi dilakukan oleh unit pemerintah yang memiliki tugas pokok dan fungsi pembentukan regulasi. Akhinya, bangsa Indonesia harus bersatu untuk menentukan bahwa tambang Grasberg milik bangsa Indonesia dan harus dikelola sendiri oleh bangsa Indonesia.
***

Rabu, 03 Juni 2015

LARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH SUDAH TEPAT, FAISAL BASRI GAGAL PAHAM UREGENSI HILIRISASI


Oleh:
Dr. Ahmad Redi, S.H.,M.H


Faisal Basri menuding Hatta Rajasa sebagai biang keladi kekacauan industri bauksit dengan mengeluarkan kebijakan larangan ekspor mineral mentah (raw material) termasuk bauksit. Menurut Faisal Basri kebijakan larangan ekspor tersebut membuat kepentingan nasional hancur lantaran semua perusahaan bauksit nasional tidak lagi diperbolehkan mengekspor bauksit yang merupakan bahan mentah pembuatan alumunium. Faisal Basri pun menuding bahwa kebijakan Hatta Rajasa merupakan permintaan perusahaan alumunium terbesar Rusia, yaitu UC Rusal, yang saat itu berencana menanamkan investasinya di Indonesia untuk membuat pabrik pengelolaan bauksit (smelter alumina) di Kalimantan. Bagi saya pernyataan Faisal Basri tersebut sesat dan menyesatkan, sehingga saya terpanggil untuk menanggapinya.
Pernyataan Faisal Basri tersebut harus saya tanggapi dalam kapasitas: (1) sebagai akademisi di bidang hukum sumber daya alam yang memahami akar filsofis dan yuridis peraturan perundang-undangan mineral dan batubara; (2) sebagai orang yang terlibat dalam penyusunan (Tim Penyusun) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 yang di dalam Peraturan Pemerintah tersebut aturan mengenai kewajiban pengolahan dan/atau pemurnian hasil tambang di dalam negeri yang dimaknai oleh pengusaha sebagai “larangan ekspor” mineral diatur. Dalam pembahasan RPP tersebut saya sangat tegas dan keras berpendapat agar politik hukum Pemerintah konsisten dan konsekuen untuk menjalankan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 102, Pasal 103, dan Pasal 170 UU No.4 Tahun 2009.
Pertama, secara filosofis, bisnis pengusahaan pertambangan bukan bisnis jual beli tanah (dan air). Hasil tambang mentah yang dibawa ke luar negeri tanpa diolah dan/atau dimurnikan di dalam negeri merupakan bentuk pelecehan terhadap hak mengusai negara atas sumber daya alam yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan. Perusahaan pertambangan lebih memilih mengekspor mentah-mentah bahan tambang Indonesia dan memilih untuk dijual selanjutnya diolah dan/atau dimurnikan di negara-negara lain. Padahal akan terdapat nilai tambah ekonomi yang besar bagi kepentingan nasional apabila bukan raw materials yang diekspor tetapi bahan yang sudah diolah dan/atau dimurnikan-lah yang diekspor. Melalui pengolahan dan/atau pemurnian di dalam negeri maka aka nada manfaat bagi negara, antara lain: (a) meningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambah dari produk; (b) tersedianya bahan baku industri; (c) penyerapan tenaga kerja; dan (d) peningkatan penerimaan negara.
Kedua, dalam keterangan ahli saya di Mahkamah Konstitusi (saksi ahli) dari pihak Termohon (Presiden RI) atas uji materiil Pasal 102 dan Pasal 103 UU No.4 Tahun 2009 tentang Minerba dalam perkara nomor 10/PUU-XII/2014 saya mengatakan bahwa akar konstitusional kebijakan kewajiban pengolahan dan/atau pemurnian di dalam negeri atas hasil tambang mineral mentah bersumber dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 dinyatakan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Frasa ‘dikuasai oleh negara dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945, telah ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003: “Bahwa frasa “Bahwa rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif) dalam rangka sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat”
Kewenangan negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad) agar sumber daya alam, termasuk mineral dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dilaksanakan melalui legislasi oleh DPR dan Pemerintah dengan membentuk UU No.4 Tahun 2009. Kebijakan larangan ekspor yang dimaksud Faisal Basri diatur dalam Pasal 102 yang menyatakan: “Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara”, dan selanjutnya dalam Pasal 103 yang berbunyi: (1) Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri; (2) Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengolah dan memurnikan hasil penambangan dari pemegang IUP dan IUPK lainnya; (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai tambah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 serta pengolahan dan pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
Kemudian sebagai pelaksanaan Pasal 102 dan Pasal 103 UU No.4 Tahun 2009 tersebut terbitlah PP No. 23 Tahun 2010 sebagaimana telah diubah dengan PP No.1 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga Atas PP No. 23 Tahun 2010 yang mempertegas kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negari. Berdasarkan ketentuan dalam PP No.1 Tahun 2014 yang ditandatangani oleh Presiden SBY pada tanggal 11 Januari 2014 merupakan pelaksanaan dari Pasal 102, Pasal 103, dan Pasal 170 UU No.4 Tahun 2009, sejak 12 Januari 2014, ekspor mentah-mentah hasil tambang tidak diperbolehkan lagi. Pemegang Kontrak Karya dan IUP dapat melakukan ekspor mentah apabila komoditas hasil tambangnya telah diolah dan/atau dimurnikan di dalam negeri.
Upaya perusahaan yang menolak kebijakan tersebut secara hukum telah dilalui dengan melakukan uji materiil Pasal 102 dan Pasal 103 UU No. 4 Tahun 2009. Saat itu Faisal Basri menjadi saksi ahli di Mahkamah Konstitusi dari pihak yang memohon pembatalan Pasal 102 dan Pasal 103 UU No. 4 Tahun 2009. Namun, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan tersebut dan menyatakan bahwa Pasal 102 dan Pasal 103 telah tepat dan sesuai dengan UUD 1945. Lalu mengapa Faisal Basri masih meributkan dan bersikap tendensius kepada Hatta Rasaja? Padahal kebijakan Hatta Rasaja tersebut dalam rangka melaksanakan kententuan UU No. 4 Tahun 2009 dan dalam kepentingan nasional karena pengolahan dan pemurnian di dalam negeri akan memberikan nilai tambah bagi bangsa dan negara Indonesia. Ingat, bisnis pengusahaan pertambangan mineral bukanlah bisnis jual beli tanah (dan air) yang mentah-mentah di bawa ke luar negeri.
Menurut saya, jelas bahwa Faisal Basri tidak memahami konteks filosofis, sosiologis, dan yuridis lahirnya kebijakan tersebut yang murni melaksanakan kebutuhan hukum masyarakat dan menjawab tantangan kepentingan nasional atas hasil tambang. Negara Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 bahkan untuk mempertegas hukum sebagai panglima, Faisal Basri juga telah dihadirkan ke Mahkamah Konstitusi untuk menjelaskan sesuai keahliannya terkait kebijakan larangan ekspor tersebut, namun MK justru membenarkan apa yang dilakukan Pemerintah yang saat itu Hatta Rajasa sebagai Menteri Koordinator Perekonomian.
Faisal Basri hanya berpikir mementingkan kepentingan kapitalisme tanpa mementingkan kepentingan nasional secara menyeluruh. Saya kira berdasarkan fakta hukum tersebut, kita dapat menilai siapa yang mementingkan kepentingan nasional dan siapa yang hanya mementingkan kepentingan kapitalisme.
***


Rabu, 25 Maret 2015

MENAGIH JANJI PEMBANGUNAN SMELTER PT FREEPORT

MENAGIH JANJI PEMBANGUNAN SMELTER PT FREEPORT
*Ahmad Redi

Telah beberapa kali Pemerintah Indonesia diberi harapan oleh PT Freeport terkait pelaksanaan kewajiban PT Freeport atas perintah peraturan perundang-undangan Indonesia dan Kontrak Karya (KK), beberapa kali pula Pemerintah Indonesia dikecewakan. Sebut saja janji untuk membangun smelter yang akan dilakukan oleh PT Freeport yang dituangkan dalam memorandum of understanding (MOU) antara Pemerintah Indonesia dengan PF Freeport pada 24 Juli 2014 lalu. Salah satu poin MOU tersebut yaitu Pemerintah memberikan izin kembali kepada PT Freeport untuk melakukan ekspor mineral dengan syarat dalam jangka waktu 6 (enam) bulan PT Freeport harus membangun smelter sebagai fasilitas pemurnian mineral PT Freeport. Kewajiban pembanguan smelter tersebut merupakan pelaksanaan kewajiban dalam UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Namun, janjipun tinggal janji, hingga saat ini, enam bulan telah berlalu, PT Freeport tidak pula melaksanakan MOU tersebut padahal Pemerintah melalui MOU tersebut telah mencabut larangan ekspor konsentrat mineral PT Freeport sehingga PT Freeport dapat tetap melanjutkan kegiatan operasi produksinya dan melakukan ekspor konsentrat.
Simalakama MOU
Sesungguhnya, penandatanganan MOU antara Pemerintah Indonesia dan PT Freeport pada tanggal 24 Juli 2014 pada masa Pemerintahan Presiden SBY, terkait pemberian waktu kembali untuk membangun smelter tidak perlu dilakukan kembali Pemerintahan Presiden Jokowi. Pada rencana MOU saat ini, salah satu poin yang dibahas kembali yaitu terkait pemberian izin perpanjangan ekspor atas konsentrat oleh PT Freeport yang berakhir pada 24 Januari 2015 (sesuai MOU pertama). Perpanjangan MOU yang memperpanjang pula kesempatan pemberian izin ekspor kepada Freeport, mengandung risiko bagi Pemerintah Indonesia. Sudah berkali-kali PT Freeport tidak memiliki itikad baik untuk menaati peraturan perundang-undangan Indonesia.
Bila membaca ketentuan Pasal 170 UU No.4 Tahun 2009 diatur bahwa pemegang KK wajib melakukan pemurnian di dalam negeri selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak UU No. 4 Tahun 2009 diundangkan. Artinya pada 12 Januari 2014 atau 5 (lima) tahun sejak UU No.4 Tahun 2009 diundangkan, PT Freeport harus melakukan pemurnian di Indonesia. Pasal ini mengandung filosofi bahwa pengusahaan pertambangan bukan merupakan bisnis jual beli tanah air (komoditas tambang mentah-mentah). Tidak ada lagi ekpor mineral mentah dari Papua ke luar negeri. Tidak ada lagi tanah air Indonesia dibawa tanpa diolah dan/atau dimurnikan terlebih dahulu di dlaam negeri.
Pengaturan tersebut dioperasionalisasikan dalam PP No. 1 Tahun 2014 yang ditetapkan pada tanggal 1 Januari 2014. Dalam Pasal 112C PP No.1 Tahun 2014 yang mempertegas bahwa hanya perusahaan yang telah melakukan kegiatan pemurnianlah yang dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu.
Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut, jelas bahwa bagi setiap pemegang KK, termasuk PT Freeport, harus melakukan pemurnian terlebih dahulu di dalam negeri baru dapat melakukan ekspor. Nyatanya, Pemerintah menerbitkan MOU pada tanggal 24 Januari 2015 yang memberikan izin kepada PT Freeport untuk terus melakukan ekspor. MOU ini jelas bertentangan dengan UU No.4 Tahun 2009 dan PP No.1 Tahun 2014. Secara hukum, MOU ini batal demi hukum.
Menanti Sikap Tegas Pemerintah
Kewibawaan negara semakin dipertaruhkan dalam persoalan rencana perpanjangan izin ekspor oleh Pemerintah kepada PT Freeport. Jelas, terdapat pelanggaran atas Pasal 170 UU No.4 Tahun 2009 dan PP No.1 Tahun 2014 oleh PT Freeport. Bahkan ‘kemurahan hati’ Pemerintah pun diberikan dengan memberikan waktu 6 (enam) bulan izin ekspor pasca larangan ekspor dalam Pasal 170 UU No.4 Tahun 2009 melalui MOU tanggal 24 Juli 2014, namun MOU itu pun tidak diindahkan. Padahal, pembuatan MOU merupakan suatu risiko bagi Pemerintah kerena MOU tersebut jelas-jelas melanggar prinsip lex superior derogat legi inferiori, bahwa peraturan yang lebih tinggi mengalahkan peraturan yang lebih rendah. Selain itu, MOU pun tidak dapat dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Pemerintah harus tegas terhadap persoalan ini. Pelanggaran berkali-kali atas peraturan perundang-undangan oleh PT Freeport merupakan bentuk pelecehan terhadap hukum. Pelecahan pula terhadap rakyat yang membentuk UU No.4 Tahun 2009 yang menginginkan keadilan atas pengusahaan mineral melalui kegiatan pengelolaan dan/atau pemurnian di Indonesia. Melalui kegiatan pengelolaan dan pemurnian di dalam negeri maka akan didapat manfaat antara lain peninkatan nilai tambah produk, penyediaan bahan baku industri, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan penerimaan negara. Bukan sebaliknya, mineral Indonesia dibawah mentah-mentah tanpa memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi bangsa Indonesia.
Ketegasan Pemerintah Indonesia untuk menjaga kewibawaan negara dan tujuan hukum berupa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum pertambangan, dapat dilakukan melalui: pertama, Pemerintah harus melarang ekspor mineral/konsentrat yang belum dimurnikan oleh PT Freeport. Jelas bahwa PT Freeport telah melanggar ketentuan Pasal 170 UU Minerba, Pasal 112C PP No.1 Tahun 2014, sehingga sebelum PT Freeport melakukan pemurnian di Indonesia tentunya dengan membangun smelter baik sendiri maupun bekerja sama, maka Pemerintah harus melarang ekspor konsetrat oleh PT Freeport. Kedua, Pemerintah tidak memperpanjang KK melalui Izin Usaha Pertambangan Khusus kepada Freeport. Sebagaimana telah diketahui bahwa pada tahun 2021 KK PT Freeport akan berakhir. Berakhirnya KK tersebut harus menjadi momentum penataan pengusahaan pertambangan Indonesia dengan mengevalusi pengusahaan mineral oleh PT Freeport dan memungkinkan perusahaan lain, utamanya perusahaan BUMN untuk mengelola bekas wilayah izin usaha Pertambangan PT Freeport.
Akhirnya, perlu itikad baik dari PT Freeport untuk menaati peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pemerintah telah memberikan jangka waktu 5 (lima) tahun, yakni dari 2009-2014 agar PT Freeport melakukan kewajiban pemurnian di dalam negeri melalui pembangunan smelter bahkan diperpanjang lagi dengan MOU. Namun, kemurahan hati Pemerintah tersebut tidak dihiraukan. Pengusahaan pertambangan di Indonesia ini seyogyanya dilakukan dengan saling menguntungkan, tidak hanya menguntungkan perusahaan tambang saja namun merugikan bangsa Indonesia. Pertambangan harus memberikan sebesar-besar kemakmuran untuk rakyat Indonesia.
*****