ASSALAMU'ALAIKUM WR.WB.
SELAMAT DATANG DI BLOG PEMIKIRANREDI
"MENAWARKAN PERSPEKTIF KRITIS MELALUI PERPADUAN FILSAFAT, TEORI, DAN DOGMATIKA"

Minggu, 24 Januari 2016

KOIN RAKYAT UNTUK SAHAM PT FREEPORT



Dr. Ahmad Redi, S.H.,M.H
(Pengajar FH UNTAR, Pengamat Hukum Sumber Daya Alam, Presidium Kaukus Muda Alumni UNDIP)



Beberapa hari ini publik dikejutkan oleh berita laporan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) mengenai perbincangan yang diduga antara Ketua DPR RI Setya Novanto dengan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsudin dan seorang pengusaha berinisial R. Perbincangan tersebut bersisi substansi mengenai permintaan jatah saham PT Freeport yang akan diberikan kepada Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Hingar bingar pemberitaan mengenai permintaan jatah saham dan catutan nama Presiden dan Wakil Presiden serta dugaan pelanggaran etis tersebut tentu tidak boleh mengaburkan isu sentral yang menjadi persoalan PT Freeport saat ini. Setidaknya ada beberapa masalah substansial yang harus terus dikawal oleh rakyat Indonesia mengenai eksistensi PT Freeport di Indonesia akhir-akhir ini, yaitu persoalan divestasi saham, persoalan kewajiban pemurnian hasil tambang di dalam negeri termasuk pembangunan smelter, dan isu perpanjangan Kontrak Karya (KK) pasca-berakhirnya KK tahun 2021. Tulisan ini akan mengupas mengenai kewajiban divestasi saham PT Freeport yang sangat penting dikaji dibanding soal bumbu-bumbu politik terkait dugaan pelanggaran etis oleh Setya Novanto.

PT Freeport Tidak Taat Kontrak Karya
Kepemilikan saham oleh Indonesia, khususnya Pemerintah Indonesia menjadi sangat penting bagi penciptaan sebesar-besar kemakmuran bagi Indonesia. Persoalan divestasi saham PT Freeport sangat penting karena melalui kepemilikan saham PT Freeport oleh Indonesia maka akan terjadi peralihan manfaat dan peralihan kontrol dari PT Freeport ke Pemerintah Indonesia. Kepemilikan saham ini terkait erat dengan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
PT Freeport Indonesia dikenai kewajiban divestasi saham sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) KK antara Pemerintah Indonesia dengan PT Freeport Indonesia. Dalam Pasal 24 ayat (2) KK dinyatakan bahwa: “Sewaktu-waktu selama jangka waktu yang telah ditetapkan dalam Pasal ini, perusahaan akan menawarkan untuk dijual atau menyuruh menawarkan untuk dijual saham-saham dari modal saham perusahaan guna mendukung kebijaksanaan Pemerintah Indonesia dalam mendorong kepemilikan perusahaan-perusahaan Indonesia oleh Pihak Nasional Indonesia, sebagaimana diatur dalam ayat 2 Pasal 24 ini. Untuk tujuan ayat (2) Pasal 24, istilah “Pihak Nasional Indonesia” berarti warga negara Indonesia, Badan Hukum Indonesua yang sah yang dikuasai oleh warga negara Indonesia, atau Pemerintah Republik Indonesia”.

Selanjutnya dalam Pasal 24 ayat (2) huruf a dinyatakan bahwa sepanjang dapat dilaksanakan sesegera mungkin setelah tanggal panandatanganan KK, dimulai pada tahun kelima sejak tanggal penandatangan KK dan paling lambat sepuluh tahun sejak penandatangan KK, PT Freeport harus menawarkan penjualan saham ke Bursa Efek Jakarta (sekarang Bursa Efek Indonesia) atau cara lain kepada Pihak Nasional Indonesia, dalam jumlah saham mencapai 10% dari modal saham PT Freeport yang diterbitkan. Selanjutnya dalam Pasal 24 ayat (2) huruf b dinyatakan sepuluh tahun sejak KK ditandatangani bahwa PT Freeport harus mendivestasikan sahamnya 2.5% pertahun sampai dengan 25% melalui Bursa Saham dan menawarkan sahamnya sebesar 20% tidak melalui Bursa Saham kepada Pihak Nasional Indonesia.

Namun kenyataannya berbeda dengan kewajiban PT Freeport dalam KK tersebut. Hingga saat ini PT Freeport tidak juga melakukan divestasi saham setelah divestasi saham sebesar 9.36% kepada Pemerintah dan 9.36% kepada PT Incocoper Investama. Pemerintah memang telah memiliki saham sebesar 9.36%. Namun, kewajiban divestasi saham tersebut lebih dari 9.36% karena sesuai Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) KK tersebut maka setidaknya telah terjadi kepemilikan saham oleh publik di pasar saham sebesar 20% dan 2.5% dikali 10 tahun (25%) ke selain Bursa Saham kepada Pihak Nasional Indonesia. Bahkan dalam KK diatur bahwa jika PT Freeport tidak menawarkan saham sebesar 20% melalui Bursa Efek Jakarta, maka keseluruhan jumlah saham yang ditawarkan kepada Peserta Nasional Indonesia harus mencapai 51% (lima puluh satu persen) tahun ke-20 (dua puluh) penandatanganan persetujuan ini (dalam hal ini adalah pada tanggal 30 Desember 2011 harus terlaksana divestasi 51% kepada Peserta Nasional Indonesia). Jika saham yang ditawarkan tidak terjual pada periode yang telah ditetapkan, maka jumlah saham yang tidak terjual tersebut harus ditambahkan pada periode selanjutnya. Dengan demikian, PT FI telah melakukan ketidak-taat-an terhadap KK dan Pemerintah belum mengajukan keberatan bahkan gugatan kepada arbitrase internasional atas pelanggaran ini.
Persoalan divestasi ini juga diatur dalam Pasal 112 UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba dan dipertegas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PP No. 77 Tahun 2014. Walau dalam peraturan perundang-undangan Indonesia juga diatur mengenai kewajiban divestasi saham PT Freeport tapi perusahaan ini cenderung tidak memiliki komitmen yang baik untuk menghormati hukum Indonesia. Tentu ini merupakan bentuk ketidakhormatan PT Freeport kepada bangsa dan negara Indonesia.
Koin Untuk Saham PT Freeport

Untuk membeli saham PT Freeport tentunya memerlukan dana yang sangat besar. Ketika divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara pada tahun 2012 yang lalu sebesar 24% saham jatah Pemerintah tidak dapat dibeli oleh Pemerintah Pusat karena alasan keterbatasan pendanaan. Akhirnya jatah saham tersebut dibeli oleh Pemerintah Daerah di Nusa Tenggara Barat dengan membentuk perusahaan gabungan (joint ventura) bersama perusahaan swasta nasional. Ini menjadi pengalaman bagi Pemerintah bahwa perlu strategi untuk membeli saham PT Freeport tersebut.
Untuk membeli saham PT Freeport ada beberapa skema yang dapat dilakukan, antara lain: (1) menugaskan beberapa BUMN di bidang pertambangan dan BUMN di bidang perbankan dan pembiayaan untuk membeli saham tersebut; (2) menugaskan Pusat Investasi Pemerintah yang berada di bawah Menteri Keuangan untuk melakukan pembelian saham divestasi tersebut; (3) membentuk BUMN khusus untuk mengelola saham divestasi saham dengan skema penyertaan modal negara dari APBN; (4) membeli saham dengan dividen yang akan diterima oleh Pemerintah dari PT Freeport; (5) bahkan rakyat Indonesia dapat bersatu padu membeli saham melalui program Koin Untuk Saham PT Freeport. Tentunya dengan skema nomor 5, isu nasionalisme dapat dijadikan jargon akan pentingnya kepemilikan saham PT Freeport.

Akhirnya, PT Freeport harus memiliki ittikad baik untuk ikut terlibat dalam sebesar-besar kemakmuran rakyat dengan melakukan segala kewajiban yang ada dalam KK dan peraturan perundang-undangan Indonesia. Sebagai tamu di negara ini, hormatilah negara ini sebagai suata negara yang berdaulat. Sesungguhnya gunung di Eastberg dan Grasberg yang dulu menjulang tinggi, kemudian menjadi tanah datar karena gunungnya sudah dieksploitasi, lalu di gali lebih dalam sampai sangat dalam, dan tidak berhenti di situ lubang yang sangat dalam itu pun terus dieksploitasi dengan tambang bawah tanah, perut bumi Ppaua itu disedot sampai dalam, sampai tulang sumsum (perut bumi) terdalam. Adilkah bila PT Freeport selalu ingin untung sendiri, padahal kekayaan alam Indonesia merupakan kekayaan bangsa Indonesia. Kekayaan bangsa Indonesia secara umum sehingga PT Freeport tidak boleh hanya mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya bagi perusahaannya dan tidak memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi bangsa Indonesia. “Hasil tambang Indonesia harus memberikan sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat Indonesia baik generasi saat ini maupun generasi anak cucu saat ini”.
- - -




MENCLA-MENCLE DANA KETAHANAN ENERGI



(Pengamat Hukum Sumber Daya Alam, Pengajar FH Universitas Tarumanagara)
Dimuat di Aktual.com dengan judul "Urgensi dan Konstruksi Hukum Pungutan Dana Ketahanan Energi"

Setelah menuai kecaman, Pemerintah akhirnya menunda pengenaan dana ketahanan energi atau “Pungutan BBM” yang rencananya akan diterapkan pada Selasa, 5 Januari 2015. Sebelumnya Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said, menyatakan bahwa pada tanggal 5 Januari 2015 akan terjadi penurunan harga BBM premium yang semula Rp7.300 per liter menjadi Rp6.950 perliter. Dari harga keekonomian tersebut, Pemerintah akan memungut dana ketahanan energi Rp200 per liter, sehingga harga baru premium Rp7.150 per liter atau turun Rp150 per liter dari harga sebelumnya. Sedangkan untuk harga BBM jenis solar yang semula Rp6.700 menjadi Rp5.650 per liter yang berdasarkan harga keekonomian tersebut, Pemerintah akan memungut dana ketahanan energi sebesar Rp300, dengan demikian harga baru solar menjadi Rp5.950 atau turun Rp800 per liter.

Namun kenyataannya, Senin, 4 Januari 2015, Direktur Utama Pertamina Dwi Sucipto mengumumkan bahwa harga solar akan turun dari Rp 6.700 menjadi Rp 5.650. Harga premium untuk non-Jamali (Jawa, Madura, dan Bali) turun dari Rp 7.300 menjadi Rp 6.950, sedangkan harga premium untuk Jamali turun dari Rp 7.400 menjadi Rp 7.050. Penurunan kedua jenis BBM tersebut tidak dilakukan bersamaan dengan pengenaan dana ketahanan energi. Pengumuman ini berbeda dengan apa yang sebelumnya diumumkan oleh Sudirman Said pada tanggal 23 Desember 2015. Ini jelas merupakan kebijakan mencla-mencle. Pengumuman Pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral pada 23 Desember 2015 sebelumnya jelas menyatakan akan memungut dana ketahanan energi untuk BBM jenis premium dan solar, namun rencana kebijakan tersebut dimentahkan sendiri oleh Pemerintah melalui pengumuman dari Direktur Pertamina tadi malam (4 Januari 2016) yang juga dihadiri oleh Menteri Sudirman Said. Praktik mencla-mencle ini, jelas bukanlah praktik pengurusan negara yang baik dan benar.

Praktik ini merupakan bentuk dagelan dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral terhadap masyarakat. Walau rakyat tentunya senang dengan turunnya harga BBM dan penundaan pungutan BBM tersebut, namun kegaduhan yang dimunculkan oleh tindakan Menteri Sudirman Said sebaiknya tidak perlu terjadi. Harus ada suatu cost benefit analysis yang mumpuni sebelum rencana kebijakan tersebut dirilis ke publik sehingga potensi resistensi akan dapat diminimilisir. Bukan sebaliknya persoalan yang sederhana namun karena dibungkus dengan irasionalitas maka akan menjadi persoalan kompleks. Diperlukan kajian social and economic regulatory impact atas rencana kebijakan yang benar-benar dikaji secara paripurna. Rakyat sebagai sasaran kebijakan jangan seolah-olah dipermainkan dengan kebijakan yang mencla-mencle dan membuat gaduh banyak kalangan.

Urgensi Ketahanan Energi

Sesungguhnya ketahanan energi merupakan suatu hal yang krusial yang menjadi tugas berat bangsa Indonesia. Ketahanan Energi adalah suatu kondisi terjaminnya ketersediaan energi dan akses masyarakat terhadap energi pada harga yang terjangkau dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan hidup (Pasal 1 angka 10 PP No.79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional). Ketahanan energi menyangkut dua hal, yaitu adanya ketersediaan energi untuk kepentingan nasional dan adanya akses masyarakat terhadap energi. Saat ini, ketersediaan dan akses energi bagi masyarakat Indonesia terganggu.

Walau dalam Kebijakan Energi Nasional, ketahanan energi Indonesia telah diarahkan untuk mencapai, antara lain: a. paradigma sumber daya energi tidak dijadikan sebagai komoditas ekspor semata tetapi sebagai modal pembangunan nasional; b. kemandirian pengelolaan energi; c. ketersediaan energi dan terpenuhinya kebutuhan sumber energi dalam negeri; d. akses untuk masyarakat terhadap energi secara adil dan merata. Namun, kebijakan tersebut seolah menghadapi jalan terjal dan panjang. Saat ini, Indonesia mengalami berbagai masalah energi, misalnya penurunan produksi minyak bumi, pemanfaatan energi domestik yang masih rendah, akses energi masih terbatas, ketergantungan impor BBM dan LPG, harga energi belum kompetitif, bauran energi masih didominasi minyak bumi sedangkan energi baru terbarukan (EBT) masih rendah, serta pemanfaatan energi belum efisien.

Sebagai contoh, masalah penurunan produksi minyak bumi nasional padahal Indonesia merupakan salah satu negara produsen tertua minyak dunia, jumlah cadangan minyaknya saat ini hanya sekitar 0,20% dari cadangan minyak dunia. Sejak tahun 1995 produksi minyak bumi Indonesia menurun, dari sekitar 1,6 juta bpd, menjadi sekitar 789 ribu bpd tahun 2014. Hingga saat ini, belum ada penemuan cadangan minyak besar lagi selain dari lapangan Banyu-Urip Blok Cepu.

Menurut data Dewan Energi Nasional, sejak tahun 2010-2013, laju penemuan cadangan dibandingkan dengan produksi atau Reserve to Production Ratio (RRR) sekitar 55%, artinya Indonesia lebih banyak memproduksikan minyak bumi dibandingkan menemukan cadangan minyak. Padahal idealnya setiap 1 barel minyak yang diproduksikan harus dikompensasi dengan penemuan cadangan sejumlah 1 barel juga sehingga RRR sebesar 100% atau lebih besar lebih bagus. Di sisi lain, konsumsi BBM yang terus meningkat sebagai dampak dari pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk, sementara produksi minyak mentah dalam negeri terus mengalami penurunan dan kapasitas kilang yang stagnan menyebabkan impor minyak mentah dan BBM terus meningkat.

Ketergantungan Indonesia pada minyak mentah dan BBM impor sangat besar. Selain dalam rangka ketersediaan untuk kebutuhan dalam negeri, Indonesia pun harus memiliki cadangan penyangga energi untuk menjadi ketahanan energi nasional. Belum lagi persoalan krisis dan darurat energi, masalah pembangunan kilang dan storage, dan persoalan energi lainnya.

Hal tersebut menjadi tugas berat Pemerintah dan pemerintah daerah dalam rangka ketahanan energi nasional. Sehingga, dana ketahanan energi merupakan suatu hal yang niscaya untuk mewujudkan ketahanan energi nasional. Namun, sayangnya dana ketahanan energi ini dibungkus dengan rencana kebijakan yang memiliki landasan hukum yang lemah dan tergesa-gesa.

Konstruksi Hukum Dana Ketahanan Energi

Sebagai landasan hukum dana ketahanan energi, Menteri Sudirman Said mendasarkan pada Pasal 30 UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi. Dalam Pasal 30 tersebut, terdapat norma hukum: (1) Pendanaan kegiatan penelitian dan pengembangan difasilitasi oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya; (2) Pendanaan kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi energi, antara lain bersumber dari APBN, APBD, dan dana dari swasta; (3) Pengembangan dan pemanfaatan hasil penelitian tentang energi baru dan energi terbarukan dibiayai dari pendapatan negara yang berasal dari energi tak terbarukan; (4) Ketentuan mengenai pendanaan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Apabila bertolak dari Pasal 30 UU Energi an sich, banyak logika hukum yang harus diluruskan dari rencana dana ketahanan energi yang dipungut dari BBM jenis premium dan solar. Pertama, jelas dalam Pasal 30 diatur bahwa pendanaan yang dimaksud dalam Pasal 30 UU Energi digunakan dalam rangka kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi energi. UU Energi hanya membatasi pendanaan yang diatur dalam UU Energi hanya untuk: (1) penelitian; dan (2) pengembangan, tidak untuk pemanfaatan energi. Artinya dalil Menteri Sudirman Said bahwa Dana Ketahanan Energi atau Pungutan BBM akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur di sektor energi misalnya pembangunan infrastruktur kelistrikan untuk menerangi lebih dari 12.500 desa terpencil di seluruh Indonesia, merupakan argumentasi yang tidak tepat didalilkan berdasarkan Pasal 30 UU Energi karena UU Energi membatasi pendanaan energi hanya untuk penelitian dan pengembangan.

Walaupun dalam Pasal 29 ayat (1) UU Energi yang dirujuk oleh Pasal 30 UU Energi menyatakan bahwa: “Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi penyediaan dan pemanfaatan energi wajib difasilitasi oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya”. Artinya dalam Pasal 29 ayat (1) terdapat frasa “penelitian dan pengembangan iptek” dan frasa “pemanfaatan energi”, namun sayangnya dalam Pasal 30 dinyatakan bahwa: “Pendanaan kegiatan penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 difasilitasi oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya”. Dalam Pasal 30 yang mengatur mengenai pendanaan energi hanya terbatas pada “kegiatan penelitian dan pengembangan” tidak termasuk kegiatan “pemanfaatan”. Keinginan pembentuk UU Energi yang hanya membatasi pendanaan energi terbatas pada kegiatan penelitian dan pengembangan, tertuang jelas dalam Pasal 30 UU Energi.

Bilapun, Menteri Sudirman Said mengatakan bahwa dana ketahanan energi itu juga telah diatur dalam PP No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 27 PP 79 Tahun 2009 yang mengatur mengenai pendanaan energi, namun skema penguatan dana yang Pasal tersebut dilakukan peling sedikit melalui: (1) peran perbankan nasional dalam pembiayaan kegiatan; (2) penerapan premi pengurasan energi fosil untuk pengembangan energi, dan/atau (3) penyediaan alokasi anggaran khusus oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah untuk mempercepat pemerataan akses listrik dan energi, tentunya harus diperjelas dengan peraturan operasional mengenai pendanaan tersebut, khusunya mengenai tata cara pemungutan, penyetoran, dan pengelolaannya yang harus mengikuti rezim keuangan dan perbendaraan negara sebagaimana diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Kedua, kelemahan logika hukum Menteri Sudirman Said dalam Dana Ketahanan Energi, yaitu jelas bahwa dalam Pasal 30 UU Energi mengatur bahwa pendanaan kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi energi, antara lain bersumber dari APBN, APBD, dan dana dari swasta. Frasa “antara lain” dalam klausul “antara lain bersumber dari APBN, APBD, dan dana dari swasta” memang memberikan ruang kepada Pemerintah dan pemerintah daerah untuk mencari pendanaan lain selain sumber APBN, APBD, dan swasta. Namun, dalam skema pendapatan negara, Pemerintah tidak dapat keluar dari ketentuan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dalam Pasal 11 ayat (3) UU Keuangan Negara bahwa pendapatan negara terdiri atas penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak (PNBP), dan hibah. Lalu pertanyaannya, diletakan di klaster mana dana ketahanan energi tersebut? Padahal UU Keuangan Negara hanya membagi klasifikasi pendapatan negara ke dalam tiga jenis pendapatan yaitu pajak, PNBP, dan hibah.

Pilihan paling relevan menurut penulis yaitu dana ketahanan energi dimasukkan ke dalam pendapatan dari PNBP. Namun, untuk mendesain PNBP dari Pungutan BBM tentu harus mengacu pada UU No. 20 Tahun 1997 tentang PNBP. Dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU PNBP diatur bahwa tarif atas jenis PNBP ditetapkan dalam undang-undang atau peraturan pemerintah yang menetapkan jenis PNBP yang bersangkutan. Hingga saat ini belum ada undang-undang atau peraturan pemerintah yang menetapkan jenis dan tarif dana ketahanan energi. Sehingga, apabila Menteri Sudirman Said berkeinginan akan memungut dana ketahanan energi maka harus dilakukan reformulasi norma dalam Peraturan Pemerintah tentang PNBP yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Akhirnya, langkah Sudirman Said yang sangat gegebah mengumumkan rencana dana ketahanan energi dalam tiap liter BBM jenis premium dan solar tanpa dilengkapi infrastruktur hukum yang kuat menjadi persoalan serius. Ini menambah beban kerja Presiden dan Wakil Presiden yang harus mengoreksi kebijakan menteri-menterinya kembali. Padahal, dana ketahanan energi tersebut dapat dilakukan setelah semua infrastruktur hukum yang bersifat operasional dibentuk, khususnya Peratura Pemerintah baik Peraturan Pemerintah pelaksanaan Pasal 30 ayat (4) maupun Peraturan Pemerintah tentang PNBP yang berlaku di Kementerian ESDM.

Sebaiknya, dalam rangka pengambilan kebijakan publik, para menteri harus berpikir secara paripurna sebelum merilis dan mengeksekusi suatu rencana kebijakan. Bukan sebaliknya menggunakan logika action dulu baru mikir. Kasihan rakyat Indonesia, terlalu sering dibuat gaduh.

---