ASSALAMU'ALAIKUM WR.WB.
SELAMAT DATANG DI BLOG PEMIKIRANREDI
"MENAWARKAN PERSPEKTIF KRITIS MELALUI PERPADUAN FILSAFAT, TEORI, DAN DOGMATIKA"

Minggu, 30 Januari 2011

ANALISIS YURIDIS KETERLANJURAN PEMANFAATAN KAWASAN HUTAN TANPA IZIN



Hutan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dianugarahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya dan wajib disyukuri. Anugerah ini merupakan amanah yang patut dijaga kelestariannya karena fungsi hutan bagi hidup dan kehidupan manusia, flora, dan fauna sangat vital. Fungsi tersebut, diantaranya manfaat secara nyata, baik manfaat ekologi, sosial budaya, maupun ekonomi.

Kelesetarian dimaksud tidak hanya berorientasi pada manfaat kekininian dan keterdisinian, namun pula manfaat secara intergenerasi dan antargenerasi, yaitu manfaat yang dapat pula dinikmati tidak hanya pada generasi sekarang, namun generasi yang akan datang dapat pula menikmati keberadaan hutan. United Nations melalui World Commision on Environment and Development (WCED) merumuskan bahwa: “sustainable development is a process of change in which the exploitation of resources, the direction of investments, the orientation of technological development; and institutional change are all in harmony and enhance both current and future potential to meet human needs and aspirations”.

Hal ini sejalan dengan amanat Pasal 3 huruf e Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU 41 Tahun 1999) yang mengatur bahwa penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan. John Rawls dalam bukunya a theory of justice menjelaskan teori keadilan sosial sebagai the difference principle dan the principle of fair equality of opportunity.

Lebih lanjut John Rawls menegaskan bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung.

Dengan demikian, kemanfaatan yang merupakan hasil dari suatu kesempatan yang diberikan kepada kelompok tertentu (generasi sekarang) harus pula memberikan keuntungan pula bagi kelompok yang mungkin tidak beruntung (generasi akan datang) apabila kemanfataan sebagai hasil pemanfaatan hutan tersebut hanya dinikmati oleh generasi sekarang. Dalam konsep pemikiran Rawls dikenal prinsip original position, yaitu situasi yang sama dan setara antara tiap-tiap orang di dalam masyarakat, tidak ada pihak yang memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya dan dalam keadaan ini orang-orang dapat melakukan kesepakatan dengan pihak lainnya secara seimbang.

Antara generasi sekarang dan generasi yang akan datang terdapat original position, sehingga kesetaraan tiap-tiap generasi tersebut harus dianggap seimbang dan memiliki posisi yang sama dalam menerima manfaat atau hasil dari penguasaan dan penggunaan hutan oleh negara. Negara (Pemerintah) harus mampu memberikan keseimbangan antara keduanya, sehingga keadilan dapat terwujud tidak hanya segeneresi namun pula antargenerasi. Pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan harus disandarkan pada prinsip keadilan dan kesinambungan dengan tetap memperhatikan aspek sosial, lingkungan, dan ekonomi sebagaimana amanat UU 41 Tahun 1999.

Dengan demikian, segala tindakan yang berpotensi untuk mengurangi bahkan menghilangkan manfaat dari penguasaan dan pengusahaan kawasan hutan pada generasi sekarang dan akan datang tidak boleh dilakukan. Tindakan tersebut diantaranya pengerjaan dan/atau pendudukan kawasan hutan secara tidak sah, perambahan kawasan hutan, pembakaran hutan, menebang pohon atau memanen hasil hutan tanpa izin, menambang kawasan hutan tanpa izin, dan pemberian izin pemanfaatan tanpa meperhatikan aspek kemanfataan jangka panjang.

Bila Pemanfaatan Hutan Tanpa Izin?

Tindakan pemanfaatan atau penggunaan kawasan hutan tanpa izin telah diatur dalam Pasal 78 ayat (2) UU 41 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa barangsiapa yang dengan sengaja mengerjakan dan/atau menggunakan dan/atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah diancam pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,- (lima milyar rupiah).

Berdasarkan data terakhir dari Kementerian Kehutan (Kemhut) hingga Maret 2009 kawasan hutan produksi (HPT, HP, dan HPK) terdapat sekitar 44.337.106 juta ha yang belum dibebani ijin usaha pemanfaatan hasil hutan. Dengan dimikan, telah terjadi pelanggaran besar-besaran terhadap UU 41 Tahun 1999 yaitu terjadi pengerjaaan/penggunaan dan/atau pendudukan kawasan dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri Kehutanan.

Namun, terhadap pelanggaran dalam UU 41 Tahun 1999 ternyata tidak serta merta dapat disimpulkan sebagai bentuk tindak pidana bila dilihat bukan dari kaca mata UU 41 Tahun 1999 an sich. Hal ini mengingat bahwa ditemui fakta pengerjaaan/penggunaan dan/atau pendudukan kawasan hutan yang dilakukan oleh badan usaha berdasarkan izin yang diberikan oleh gubenur/bupati/walikota sesuai dengan rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) bersangkutan. Kawasan hutan yang dimaksud oleh Kemhut dalam RTRWP bukanlah merupakan kawasan hutan, sehingga oleh kepala daerah dapat diberikan izin sesuai dengan permohonan, misal untuk perkebunan, pertambangan, dan pemungkiman. Dengan demikian, telah terjadi tumpang tindih antara peta kehutanan tentang kawasan hutan dan RTRWP yang diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Solusi?
Bila tetap konsisten dengan pemberlakuan UU 41 Tahun 1999, maka terhadap bentuk perbuatan pengerjaaan/penggunaan dan/atau pendudukan kawasan hutan tanpa izin Menhut telah terjadi pelanggaran hukum yang dapat dikenakan ketentuan pidana dalam Pasal 50 jo Pasal 78. Padahal di sisi tata ruang, hal tersebut merupakan suatu hal yang benar karena RTRWP menyatakan bahwa ruang tersebut bukan lagi ruang kawasan hutan. Untuk itu, maka diperlukan solusi guna menyelesaikan persoalan dimaksud. Solusi pertama, penegakan hukum secara konsekuen dan konsisten. Setiap pelanggaran terhadap hukum kehutanan, termasuk pengerjaaan/penggunaan dan/atau pendudukan kawasan hutan tanpa izin Menhut harus diancam sebagai perbuatan pidana. Dengan penerapan solusi ini, maka akan menimbulkan efek jera kepa para pelanggar maupun pemberi izin (gubenur/bupati/walikota), selain juga akan menimbulkan kewibawaan hukum bagi Pemerintah karena telah menegakkan hukum secara nyata dan tegas. Namun, kerugiannya akan menimbulkan ketidakpastian dalam berinvestasi karena banyak dari pengguna kawasan hutan tersebut adalah para investor di bidang perkebunan dan pertambangan.

Kedua, solusi pelepasan kawasan hutan dengan mengacu RTRW. Solusi ini dilakukan dengan melepaskan kawasan hutan yang terlanjur dipergunakan bagi kegiatan perkebunan, pertambangan, dan pemungkinan sesuai RTRW. Jadi kawasan yang menurut RTRW bukan lagi kawasan hutan, maka statusnya oleh Kemnhut dilepaskan menjadi bukan kawasan hutan. Hal ini akan berdampak pada tidak timbulnya gejolak sosial dan ekonomi serta terjadi sinkroninasi kebijakan tata ruang dengan tata hutan. Namun, kerugiannya akan terjadi pengurangan luas kawasan hutan besar-besaran dan hal ini bertentangan dengan semangat Pemerintah untuk menurunkan emisi karbon.

Ketiga, solusi dengan membuat teroboson hukum berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dengan menambahkan ketentuan dalam UU 41 Tahun 1999 yang memasukan klausula budidaya perkebunan di dalam kawasan hutan produksi menjadi bagian integral pengelolaan hutan. Izin yang terlanjur dikeluarkan oleh gubenur/bupati/walikota atau bahkan BPN atas HGU, dinyatakan tetap berlaku sampai berarkhirnya izin dan tidak dapat diperpanjang lagi yang selanjutnya kawasan tersebut diubah menjadi hutan tanaman industri atau budidaya perkebunan dengan cara pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan. Namun, kerugiannya political costnya terlalu tinggi, apabila Rancangan Perppu ditolak DPRRI, maka hal ini menjadi preseden buruk bagi Pemerintah.

Keempat, mediasi dengan membuat acta van dading. Berdasarkan dogma bahwa hukum yang merupakan hasil dari proses out of court settlement pada prinsipnya dapat diwujudkan melalui Berita Acara Kesepakatan Damai sesuai Pasal 1858 KUH Perdata, dan menurut ketentuan Pasal 1858 KUH Perdata bahwa posisi akta kesepakatan damai diidentikan sebagai putusan hakim terakhir yang berkekuatan hukum tetap, sehingga memiliki nilai eksekutorial. Terhadap persoalan keterlanjuran pemanfaatan kawasan hutan ini, maka mediasi dapat dilakukan guna penyelesaiannya. Keuntungannya yaitu tidak mengubah ketentuan peraturan perundang-undangan, penyelesaian dapat dilakukan dalam waktu singkat, penerimaan negara melalui PNBP, menciptakan kepastian berusaha, dan tanpa harus menempuh risiko hukum secara kepidanaan. Kerugiannya, melibatkan kepolisian dan kejaksaan untuk memilah perusahaan yang dapat dimediasi dan tidak dapat dimediasi, harus diselesaikan kasus perkasus padahal perusahaan yang perlu diselesaikan telalu banyak, perlu pengawasan yang ketat agar acta van dading tidak disahalagunakan.

Menurut penulis, solusi keempat ini merupakan solusi yang terbaik dalam penyelesaian permaslahan keteralanjuran pemanfaatan kawasan hutan tanpa izin Menteri Kehutanan. Namun, untuk di masa mendatang bahwa segala bentuk pengerjaan/penggunaan dan/atau pendudukan kawasan hutan tanpa izin yang sah dari pejabat yang berwenang dalam kawasan hutan merupakan kejahatan di bidang kehutanan yang harus dicegah dan ditindak atas setiap pelanggarannya. Hal ini penting, mengingat fungsi hutan yang sangat vital bagi mahkluk hidup baik pada masa sekarang maupun pada masa mendatang, sehingga hutan dari kita jaga bersama-sama.



*Ahmad Redi, S.H.,M.H.
Pengamat hukum sumber daya alam
Kandidat Doktor Hukum Universitas Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar