ASSALAMU'ALAIKUM WR.WB.
SELAMAT DATANG DI BLOG PEMIKIRANREDI
"MENAWARKAN PERSPEKTIF KRITIS MELALUI PERPADUAN FILSAFAT, TEORI, DAN DOGMATIKA"

Kamis, 13 Agustus 2015

MENIMBANG PERPANJANGAN OPERASI TAMBANG PT FREEPORT


Dr. Ahmad Redi, S.H.,M.H
(Pengajar di FH Universitas Tarumanagara, Pengamat Hukum Sumber Daya Alam)

Momentum berakhirnya Kontrak Karya (KK) PT Freeport di Indonesia pada tahun 2021 harus digunakan secara baik dan benar oleh Pemerintah dengan menetapkan kebijakan yang pro sebesar-besar kemakmuran rakyat, bukan hanya pro pemilik modal semata. Salah menentukan kebijakan, kerugian negara baik materiil maupun imateriil atas kebijakan tersebut akan terjadi, tidak hanya kerugian bagi bangsa dan negara untuk generasi sekarang namun juga untuk generasi yang akan datang. Kesalahan pengambilan kebijakan terhadap nasib PT Freeport dapat saja mengulang kesalahan masa lalu yang merugikan kepentingan bangsa dan negara sejak 1967 (perpanjangan KK tahun 1991) sampai saat ini.
Polemik Kontrak Karya
Wacana perpanjangan operasi PT Freeport dari skema Kontrak Karya (KK) ke Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) semakin menguat. Walaupun dari aspek hukum, ekonomi, sosial, dan politik, perpanjangan usaha tersebut masih berpolemik. Misalnya, terkait dengan aspek hukum, secara regulatif, telah banyak ketidakpatuhan yang dilakukan oleh PT Freeport terhadap UU Minerba dan peraturan pelaksanaannya. Ketidakpatuhan yang paling kasat mata yaitu mengenai kewajiban pelaksanaan pengolahan dan pemurnian konsentrat yang harus dilaksanakan di dalam negeri. Kewajiban tersebut secara jelas dan tegas dipertintahkan dalam Pasal 170 UU Minerba bahkan dalam KK yang disepakati antara Pemerintah Indonesia dengan PT Freeport terdapat klausula mengenai pembangunan smelter apabila memenuhi syarat keekonomian untuk mengolah dan memurnikan konsentrat di dalam negeri.
Namun, faktanya UU Minerba yang diterbitkan tahun 2009 dengan memberi waktu lima tahun sejak UU Minerba terbit pada 2014, PT Freeport harus melakukan pengolahan dan pemurnian hasil tambangnya di dalam negeri. Namun, jangankah untuk melakukan pemurnian di dalam negeri atas konsetratnya, smelter pun belum juga dibangun hingga detik ini. Begitu pula dengan kewajiban pembayaran royalti sebesar 3.75 persen yang diperintahkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2012 tidak dilaksanakan oleh PT Freeport seketika Peraturan Pemerintah tersebut terbit, baru tahun 2014 PT Freeport mau membayar royalti melalui MOU antara Kementerian ESDM dengan PT Freeport.
Namun, sayangnya kemauan pembayaran royalti tersebut harus dibayar mahal oleh Pemerintah karena dengan MOU tersebut, Pemerintah memberikan waktu enam bulan pertama dan enam bulan kedua kepada PT Freeport untuk dapat melakukan ekspor konsentrat. Pahadal menurut UU Minerba dan PP No.1 Tahun 2014, tidak ada lagi ekspor mineral mentah. Akibatnya, Pemerintah melanggar UU Minerba dan PP No.1 Tahun 2014. Upaya Pemerintah harus dibayar sedemikian mahalnya.
Begitu pula aspek ekonomi, belum ada scientific evidence yang menyatakan bahwa PT Freeport menguntungkan bangsa dan negara ini lebih besar dibandingkan keuntungan yang mereka terima. Bila dihitung secara kasar, bahwa sejak tahun pertama kali beroperasi tahun 1967 PT Freeport membayar royalti 1 persen dan sejak 2014 membayar 3.75 persen, pajak badan 35 persen, serta dividen atas kepemilikan 9.36 persen saham Pemerintah. Bahkan pembayaran dividen untuk Pemerintah oleh PT Freeport pun sempat menunggak 2 tahun.
Berdasarkan hitungan sederhana tersebut, tentunya profit Pemerintah hanya dalam kisaran 38-40 persen. Hal tersebut berbeda di sektor migas yaitu Pemerintah dapat memperoleh profit 60-85 persen. Pahadal, menurut Pasal 33 ayat (3) negara harus mendapatkan sebesar-besar manfaat kekayaan alam bagi kemakmuran rakyat. Belum lagi masalah sosial dan politik yang hingga saat ini keberadaan PT Freeport menimbulkan kontraversi bagi sebagian rakyat Indonesia.
Revisi UU Minerba
Bila Pemerintah ingin memperpanjang usaha PT Freeport, maka: pertama, PT Freeport harus melaksanakan kewajiban sesuai peraturan perundang-undangan Indonesia, antara lain menyelesaikan pembangunan smelter, mendivestasikan sahamnya sebesar 30 persen sesuai PP No. 77 Tahun 2014, membayar dividen atas saham Pemerintah. Kedua, DPR bersama Pemerintah harus merevisi UU Minerba dengan memasukkan substansi, antara lain sebelum memperoleh IUPK PT Freeport (pemegang KK/PKP2B secara menyeluruh) harus mendivestasikan sahamnya 51% kepada Pemerintah/pemerintah daerah/BUMN/BUMD, pemegang KK/PKP2B harus membayar royalti/iuran produksi dengan besaran 20-30 persen.
Selain itu, perpanjangan KK menjadi IUPK tidak dapat dilaksanakan apabila pemegang KK belum memiliki smelter baik sendiri maupun kerjasama untuk memurnikan seluruh hasil tambangnya di dalam negeri, dan pemberian IUPK tidak langsung selama 20 tahun namun diberikan secara bertahap yaitu 10 tahun dahulu kemudian dievaluasi untuk diberikan 10 tahun selanjutnya.
Melalui substansi baru tersebut maka kepemilikan Indonesia atas saham pemegang KK (PT Freeport) bersifat mayoritas sehingga akan terjadi peralihan keuntungan (dividen) dan kepemilikan, selain itu penerimaan negara bukan pajak sebesar 20-30 persen ditambah pajak badan 25 persen, bagian pemerintah sebesar 10 persen sesuai Pasal 129 UU Minerba (4 persen pemerintah pusat dan 6 persen pemerintah daerah). Dengan demikian, negara Indonesia akan memperoleh manfaat maksimal atas keberadaan tambang emas dan tembaga di Papua.
Nasionalisasi Usaha PT Freeport
Bagi penulis, nasionalisasi pengusahaan KK PT Freeport dengan mengusahakan sendiri wilayah tambang bekas PT Freeport akan lebih baik. Pemerintah dapat menugaskan BUMN untuk mengusahakannya sebagaimana misalnya BUMN PT Inalum yang dibentuk dalam rangka melanjutkan proyek raksasa PLTA dan pabrik aluminium yang sebelumnya melalui Perjanjian Induk untuk PLTA dan Pabrik Peleburan Aluminium Asahan antara Pemerintah Indonesia dengan Nippon Asahan Aluminium Co., Ltd,. Pada tahun 2013, Pemerintah berani memutus kontrak/tidak memperpanjang dan mengolah sendiri Proyek Inalum. Begitupula dengan keberanian Pemerintah untuk merebut Blok Mahakam dengan kepemilikan saham mayoritas kepada Pertamina padahal sebelumnya Blok ini dikelola oleh PT Total E4P dan Inpex Corp.
Ini kembali ke politik hukum Pemerintah dan DPR, kesempatan untuk tidak memperjang KK sesungguhnya telah tertuang dalam Pasal 112B ayat (9) yang menyatakan bahwa Menteri ESDM dapat tidak memberikan IUPK atas perpanjangan KK apabila pemegang KK tidak menunjukkan kinerja perngusahaan pertambangan yang baik.
Akhirnya, Pemerintah dan DPR harus memastikan bahwa pasca 2021, rakyat Indonesia sebagai pemilik sumber daya alam yang ada di negerinya harus memperoleh manfaat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bukan sebesar-besar kemakmuran kapitalis asing.