Blog ini merupakan publikasi pemikiran saya terhadap berbagai persoalan mengenai hukum dan kaitannya dengan masalah ekonomi, sosial, politik, budaya, serta filsafat. Materi dalam blog ini mungkin tampak sederhana, namun dari kesederhanaan inilah saya berupaya untuk dapat menulis secara aktif, substantif, dan filosofis dengan mengdepankan keorisinalitasan karya. Saya meyakini bahwa banyak keserdahanaan yang melahirkan karya-karya agung yang fenomenal dan monumental.
ASSALAMU'ALAIKUM WR.WB.
SELAMAT DATANG DI BLOG PEMIKIRANREDI
"MENAWARKAN PERSPEKTIF KRITIS MELALUI PERPADUAN FILSAFAT, TEORI, DAN DOGMATIKA"
Senin, 25 April 2011
KARUT MARUT PERSOALAN DIVESTASI SAHAM USAHA PERTAMBANGAN DI INDONESIA
Akhir-akhir ini, persoalan divestasi saham usaha pertambangan asing menjadi persoalan hangat kembali setelah munculnya ‘perebutan’ pembelian saham antara pemerintah pusat (Menteri Keuangan) dengan pemerintah daerah Sumbawa Barat. Masih hangat di ingatan kita, ketika persoalan sengketa antara Pemerintah Republik Indonesia dengan PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT) mengenai kewajiban divestasi saham yang belum juga dilakukan oleh PT NNT hingga tahun 2008 padahal pada Kontrak Karya (Contract of Work Between The Government of The Republic of Indonesia and PT Newmont Nusa Tenggara tanggal 2 Desember 1986) diperjanjikan bahwa PT NNT harus mendivestasikan sahamnya kepada Pemerintah Republik Indonesia. Persoalan sengketa tersebut, harus berakhir di arbitrase internasional yang dilaksanakan dibawah prosedur arbitrase United Nation Commission on International Trade Law (UNCITRAL). Akhirnya, pada 31 Maret 2009 Majelis Arbitrase (Arbitral Tribunal) mengeluarkan putusan akhir (final award), yang pada pokoknya memenangkan Pemerintah Republik Indonesia dan memerintahkan PT NNT untuk melaksanakan ketentuan pasal 24 ayat (3) Kontrak Karya (KK) yaitu melakukan divestasi 17% saham, yang terdiri dari divestasi tahun 2006 sebesar 3% dan tahun 2007 sebesar 7% kepada pemerintah daerah, sedang untuk tahun 2008 sebesar 7%, kepada Pemerintah Republik Indonesia.
Divestasi saham pada usaha pertambangan asing yang diartikan sebagai sejumlah saham asing yang harus ditawarkan untuk dijual kepada peserta Indonesia dalam Pasal 24 KK disepakati bahwa PT NNT berkewajiban mendivestasikan sahamnya pada akhir tahun ke-5 sekurang-sekurangnya 15%, pada akhir tahun ke-6 sekurang-kurangnya 23%, pada akhir tahun ke-7 sekurang-kurangnya 30%, pada akhir tahun ke-8 sekurang-kurangnya 37%, pada akhir tahun ke-9 sekurang-kurangnya 44%, dan pada tahun ke-10 sekurang-kurangnya 51%. Semua kewajiban dari perusahaan menurut Pasal 24 ayat (4) KK akan dianggap dilaksanakan segera sesudah tidak kurang dari 51% yang diterbitkan dan yang ada pada waktu ditawarkan kepada dan dibeli oleh peserta Indonesia.
Persoalan divestasi dan ‘jalan panjang’ perjuangan Pemerintah Indonesia untuk ‘memaksa’ PT NNT melakukan kewajiban divestasi hingga harus berakhir di arbitrase Internasional ternyata bukanlah akhir dari sekelumit persoalan divestasi saham usaha pertambangan asing di Indonesia. Kepemilikan sisa penawaran saham terakhir untuk tahun 2010 sebesar 7% yang ditawarkan oleh PT NNT, diperebutkan oleh Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah kabupetan Sumbawa Barat. Perebutan kepemilikan saham tersebut tidak hanya sebatas perebutan yang dilakukan dengan cara kompromistis semata, namun telah mengarah pada tindakan keras pemerintah daerah dan DPRD kabupaten Sumbawa barat berupa ancaman penutupan lahan pernambangan PT NNT, aksi demontrasi rakyat Sumbawa Barat yang menolak penambangan dan meminta agar Pemerintah Pusat tidak membeli saham yang ditawarkan PT NNT, atau bahkan safari politik anggota DPRD ke berbagai kementerian di Jakarta untuk mendukung pembelian saham oleh pemerintah daerah. Di sisi lain, Pemerintah Pusat melalui Menteri Keuangan berencana akan membeli saham divestasi tersebut dengan menggunakan kendaraan Pusat Investasi Pemerintah (PIP).
Perebutan antara kedua penyelenggara negara ini menjadi sebuah problem dalam pelaksanaan divestasi saham usaha pertambangan Indonesia, padahal di masa datang divestasi saham usaha pertambangan asing akan berlangsung dan tentunya antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat memiliki keinginan yang sama untuk dapat memiliki saham divestasi yang ditawarkan pemegang izin usaha pertambangan asing di Indonesia.
Peran PIP dalam Divestasi Saham
Berdasarkan PP Nomor Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah, pemerintah dapat melakukan investasi melalui: (1) penempatan sejumlah dana dan/atau barang dalam jangka panjang untuk investasi pembelian surat berharga; dan (2) investasi langsung untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya. Investasi Pemerintah dilakukan dalam bentuk investasi surat berharga dengan cara pembelian saham dan/atau investasi dengan cara pembelian surat utang; dan/atau investasi langsung dalam bentuk penyertaan modal dan/atau pemberian pinjaman. Guna melakukan investasi tersebut Pemerintah mendapatkan dana yang berasal dari APBN, keuntungan investasi terdahulu, dana/barang amanat pihak lain yang dikelola oleh Badan Investasi Pemerintah, dan/atau sumber-sumber lainnya yang sah. Terhadap pembelian saham PT NNT, maka skema investasi dengan cara pemberilan sahamlah yang menjadi bentuk investasi Pemerintah.
Sebagaimana dalam Pasal 11 ayat (4) huruf l diatur bahwa dalam rangka pelaksanaan kewenangan operasional, Menteri Keuangan selaku pengelola investasi Pemerintah berwenang dan bertanggung jawab melaksanakan investasi Pemerintah dan divestasinya yang dilakukan oleh Badan Investasi Pemerintah yang dapat berupa satu atau lebih satuan kerja atau badan hukum (Pasal 12 ayat (2)). Selanjutnya melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 52/PMK.01/2007 tanggal 16 Mei 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pusat Investasi Pemerintah terbentuklah PIP sebagai badan layan umum (BLU) yang mempunyai tugas melaksanakan kewenangan operasional dalam pengelolaan investasi Pemerintah Pusat sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan berdasarkan peraturan perundang¬-undangan yang berlaku. Salah satu bentuk kewenangan operasional tersebut yaitu dalam rangka melaksanakan investasi Pemerintah dan dalam hal ini membeli 7% saham yang ditawarkan kepada Pemerintah.
Bila dilihat dari dasar hukum tersebut, PIP melalui penugasan dari Menteri Keuangan dapat melakukan pembelian saham PT NNT. Hal tersebut didukung pula Pasal 24 ayat (3) KK yang menyatakan bahwa perusahaan (PT NNT) harus menjamin bahwa saham-saham yang dimiliki oleh penanam modal asing yang akan ditawarkan untuk dijual atau diterbitkan, pertama-tama kepada pemerintah, dan kedua (jika pemerintah tidak menerima), akan ditawarkan kepada pemerintah atau warga negara Indonesia. Pengertian “pemerintah” sebagaimana dalam Pasal 1 KK, yaitu Pemerintah Republik Indonesia, Menteri, Departemen, Badan, Lembaga, Pemerintah Daerah, Kepala Daerah Tingkat I atauTingkat II-nya. Dengan demikian, pemerintah daerah sesuai ketentuan tersebut juga memiliki prioritas pertama untuk juga ditawarkan oleh PT NNT, walaupun PP 23 Tahun 2010 mengatur bahwa Pemerintah pusatlah yang menjadi pihak pertama yang menerima penawaran tersebut. Untuk itu, pembelian 7% saham PT NNT dapat dilakukan secara bersama oleh Pemerintah Pusat melalui PIP dengan pemerintah daerah sebagaimana pelaksanaan investasi langsung melalui penyertaan modal dan/atau pemberian pinjaman dilakukan oleh Badan Investasi Pemerintah (berwujud BLU PIP) dengan badan usaha, BLU, pemerintah provinsi/kabupaten/kota, BLUD, dan/atau badan hukum asing (Pasal 16 ayat (1)).
Analisis Yuridis Divestasi Saham
Persoalan divestasi saham usaha pertambangan asing ternyata tidak hanya menjadi persoalan pelik pada saat pradivestasi, yaitu ketika Pemerintah harus ‘memaksa’ PT NNT mendivestasikan saham sesuai dengan KK, tetapi juga pada saat PT NNT akan mendivestasikan saham kepada pemerintah, muncul masalah perebutan kepemilikan antara sesama penyelenggara negara (Pemerintah Pusat versus pemerintah daerah Sumbawa Barat). Dinamika permasalahan ini mengisyaratkan belum jelasnya pengaturan dan pelaksanaan divestasi saham di Indonesia. Padahal Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) telah mengatur mengenai hal ini secara umum. Sebagaimana dalam Pasal 112 dinyatakan bahwa setelah 5 (lima) tahun berproduksi, badan usaha pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) dan IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham pada Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta nasional. Selanjutnya pada ayat (2) dinyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai divestasi saham diatur dengan peraturan pemerintah.
Kemudian sebagai pelaksanaan UU Minera, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam PP tersebut pengaturan divestasi saham diatur dalam satu bab tersendiri, yaitu bab IX mengenai divestasi saham pemegang izin usaha pertambangan dan izin usaha pertambangan khusus yang sahamnya dimiliki oleh asing. Dalam Pasal 97 sampai dengan Pasal 99 diatur mengenai modal asing pemegang IUP dan IUPK setelah 5 (lima) tahun sejak berproduksi wajib melakukan divestasi sahamnya, sehingga sahamnya paling sedikit 20% (dua puluh persen) dimiliki peserta Indonesia. Selanjutnya divestasi saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara langsung kepada peserta Indonesia yang terdiri atas Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota, BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta nasional. Penawaran yang dilakukan kepada Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota, BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta nasional secara berjenjang, artinya apabila pemerintah pusat tidak tertarik maka akan ditawarkan ke pemerintah daerah provinsi, dan seterusnya. PP 23 Tahun 2010 hanya mengatur hal demikian saja, selanjutnya ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara divestasi saham dan mekanisme penetapan harga saham diatur dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral setelah berkoordinasi dengan instansi terkait.
Pengaturan yang tidak jelas, tidak komprehensif, dan cenderung menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai divestasi saham muncul dikarenakan belum diaturnya hal-hal yang seharusnya diatur dalam tataran undang-undang atau peraturan pemerintah yang membuat persoalan divestasi saham usaha pertambangan menjadi jelas, komprehensif, dan menimbulkan kepastian hukum. Pengaturan tersebut bukan cenderung menimbulkan konflik, baik antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, antara perusahaan pertambangan yang dibebani kewajiban divestasi saham dengan pemerintah, bahkan antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat sekitar wilayah izin usaha pertambangan. Celakanya, dalam Pasal 169 ayat (2) UU Minerba mengatur mengenai ketentuan yang tercantum dalam pasal KK dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 diundangkan kecuali mengenai penerimaan negara. Dengan demikian, secara yuridis normatif, seluruh perusahaan di Indonesia dalam KK dan PKP2B harus memasukan ketentuan kewajiban divestasi saham minimal 20% kepada peserta Indonesia. Padahal, dengan pengaturan seadanya dan pelaksanaan yang rawan konflik. ke depan persoalan divestasi di Indonesia akan semakin kompleks serta menguras banyak energi baik penyelenggara negara maupun investor asing. Ketidakpastian hukum dan tuntutan yang besar dari pemerintah daerah serta masyarakat atas manfaat sosial-ekonomi dari setiap usaha pertambangan yang berada wilayahnya, semakin menjadikan persoalan divestasi saham seakan-akan menjadi bom waktu bagi harmonisasi hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Pilihan Solusi
Terhadap permasalahan divestasi saham PT NNT, ada beberapa solusi hukum yang dapat diambil agar titik gelap pengaturan dan pelaksaan divestasi saham di Indonesia dapat terang, yaitu: pertama, pengaturan lebih komprehensif mengani divestasi saham dalam PP 23 Tahun 2010. Melalui pengaturan yang lebih komprehensif mengenai tata cara divestasi saham usaha pertambangan asing di Indonesia, tahapan-tahapan divestasi saham, syarat dan kondisi pelaksanaan divestasi, jangka waktu divestasi, penghitungan harga saham dan mekanisme penjualan saham, kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pembelian sejumlah saham divestasi, serta ketentuan lain yang merperjelas pelaksanaan divestasi, diperlukan dalam PP 23 Tahun 2010. Alterntif ini akan berdampak pada perubahan atas PP nomor 23 Tahun 2010. Penghindaran perubahan atas PP 23 Tahun 2010 dapat dilakukan melalui alternatif kedua, yaitu segera menerbitkan ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara divestasi saham dan mekanisme penetapan harga saham diatur dengan Peraturan Menteri ESDM. Hal ini penting agar kepastian hukum dapat terwujud dan persoalan divestasi saham secara regulatif jelas dan menimbulkan kepastian hukum. Perlu digarisbawahi pula bahwa Perubahan PP Nomor 23 Tahun 2010 dan pembentukan Permen ESDM tersebut harus pula mengakomodir kepentingan daerah untuk dapat berperan dalam proses divestasi saham dengan prinsip keadilan, efisiensi, dan keterbukaan.
Di sisi lain, pengaturan persoalan yang hanya dalam level peraturan menteri akan menimbulkan beberapa kelemahan, misalnya permasalahan divestasi saham menyangkut banyak sektor atau tidak hanya menyangkut urusan Kementerian SDM, tetapi juga Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kemneterian BUMN, serta BKPM, sehingga perlu peraturan sekelas peraturan pemerintah untuk mengaturnya; atau persoalan tingkat kepatuhan pemerintah daerah yang kurang terhadap peraturan menteri karena peraturan menteri bukanlah termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undnagan. Menjadikan pembentukan peraturan menteri tidak serta merta menjadi solusi terbaik.
Ketiga, dimungkinkan untuk melakukan pembelian secara bersama antara Pemerintah Pusat dengan pemerintah daerah. Pemerintah Pusat melalui PIP dapat melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah mengenai pembelian secara bersama 7% saham yang ditawarkan PT NNT. Hal ini dapat pula dilakukan terhadap divestasi perusahaan pertambangan asing lainnya di kemudian harinya. Melalui keterlibatan pemerintah daerah dalam pembelian sejumlah saham, maka peran pemerintah daerah di era desentralisasi dapat terwujud. Selain itu, secara riil lokasi penambangan berada di daerah, sehingga peranan daerah sangat strategis bila kepemilikan sejumlah saham pada perusahaan pertambangan di daerahnya juga dimiliki pemerintah daerah. Sebagaimana skema pendanaan bersama antara pemerintah daerah Sumbawa Barat, pemerintah daerah Sumbawa, pemerintah daerah NTB dan PT Multi Capital yang membentuk PT Daerah Maju Bersaing (PT DMB) untuk melakukan pembelian 24% saham PT NNT. Hal ini terasa lebih baik apabila antara Pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat melakukan kerjasama sebagaimana model PT DMB, skema ini juga penting untuk menghindari agar pemerintah daerah tidak hanya menjadi ‘boneka’ perusahaan swasta untuk meraup keuntungan yang besar dari pembelian saham dengan menggunakan ‘jubah’ pemerintah daerah.
Keempat, melakukan cost benefit analysis terhadap kemungkian pembelian saham oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Kajian ini dilakukan dengan melibatkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara bersamaan dan berdasarkan kajian ini diharapkan mampu menjawab persoalan pihak mana yang paling mampu memberikan manfaat sebesar-besarnua (great hapiness for the great numbers) terhadap kesejahteraan dan kemakmuran rakyat melalui kepemilikan 7% saham tersebut. Pilihan ini memang merupakan pilihan sulit karena untuk menyatukan persepsi antar kedua pihak diperlukan kebijaksanaan antarpihak.
Penutup
Persoalan divestasi saham dalam peratyran perundang-undangan, tentunya harus diatur jelas, komprehensif, berkesinambungan, dan berkeadilan, dengan demikian permasalahan dalam tataran pelaksanaan akan dapat diminimalisasi karena adanya kepastian hukum dan kejelasan pengaturan. Perlu disadarai bahwa permasalahan pelaksanaan divestasi saham saat ini sangat dipengaruhi oleh belum jelas dan komprhensifnya pengaturan permasalahan divestasi saham di Indonesia. Adanya peraturan perundang-undangan yang baik, maka sebagai negara hukum yang menjungjung tinggi prinsip hukum (peraturan perundang-undangan) sebagai panglima di negeri ini dengan tetap memperhatikan aspek kegunaan (sosiologis) dan keadilan (filosofis) dapat terwujud dengan baik, sehingga hukum bisa ‘melayani’ persoalan-persoalan yang ada di masyarakat.
Selain itu, diperlukan pula kebijaksanaan pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menyelesaikan persoalan ini, kepentingan rakyat banyaklah yang menjadi alasan terdalam dan utama dari upaya pembelian saham tersebut. Jangan pula tersirat kepentingan atau bahkan pesanan kepentingan dari pihak yang yang ingin menguasai saham tersebut hanya untuk kepentingan sekelompok orang saja. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus duduk bersama guna berbicara hari hati ke hati tentang manfaat kepemilikan ini terhadap bangsa dan negara. Apabila dirasa manfaat yang didapat akan lebih besar apabila saham tersebut dimiliki pemerintah pusat, maka pemerintah daerah harus rela untuk melepas keinginan untuk memiliki saham tersebut, atau sebaliknya. Pun penguasaan tersebut semuanya bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana amanat UUD NRI 1945 yang menjadi prinsip penguasaan dan pengusahaan sumber daya alam Indonesia.
***
Ahmad Redi.,S.H.,M.H.
(Kandidat Doktor FH Universitas Indonesia, pengamat hukum sumber daya alam)
Minggu, 30 Januari 2011
ANALISIS YURIDIS KETERLANJURAN PEMANFAATAN KAWASAN HUTAN TANPA IZIN
Hutan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dianugarahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya dan wajib disyukuri. Anugerah ini merupakan amanah yang patut dijaga kelestariannya karena fungsi hutan bagi hidup dan kehidupan manusia, flora, dan fauna sangat vital. Fungsi tersebut, diantaranya manfaat secara nyata, baik manfaat ekologi, sosial budaya, maupun ekonomi.
Kelesetarian dimaksud tidak hanya berorientasi pada manfaat kekininian dan keterdisinian, namun pula manfaat secara intergenerasi dan antargenerasi, yaitu manfaat yang dapat pula dinikmati tidak hanya pada generasi sekarang, namun generasi yang akan datang dapat pula menikmati keberadaan hutan. United Nations melalui World Commision on Environment and Development (WCED) merumuskan bahwa: “sustainable development is a process of change in which the exploitation of resources, the direction of investments, the orientation of technological development; and institutional change are all in harmony and enhance both current and future potential to meet human needs and aspirations”.
Hal ini sejalan dengan amanat Pasal 3 huruf e Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU 41 Tahun 1999) yang mengatur bahwa penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan. John Rawls dalam bukunya a theory of justice menjelaskan teori keadilan sosial sebagai the difference principle dan the principle of fair equality of opportunity.
Lebih lanjut John Rawls menegaskan bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung.
Dengan demikian, kemanfaatan yang merupakan hasil dari suatu kesempatan yang diberikan kepada kelompok tertentu (generasi sekarang) harus pula memberikan keuntungan pula bagi kelompok yang mungkin tidak beruntung (generasi akan datang) apabila kemanfataan sebagai hasil pemanfaatan hutan tersebut hanya dinikmati oleh generasi sekarang. Dalam konsep pemikiran Rawls dikenal prinsip original position, yaitu situasi yang sama dan setara antara tiap-tiap orang di dalam masyarakat, tidak ada pihak yang memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya dan dalam keadaan ini orang-orang dapat melakukan kesepakatan dengan pihak lainnya secara seimbang.
Antara generasi sekarang dan generasi yang akan datang terdapat original position, sehingga kesetaraan tiap-tiap generasi tersebut harus dianggap seimbang dan memiliki posisi yang sama dalam menerima manfaat atau hasil dari penguasaan dan penggunaan hutan oleh negara. Negara (Pemerintah) harus mampu memberikan keseimbangan antara keduanya, sehingga keadilan dapat terwujud tidak hanya segeneresi namun pula antargenerasi. Pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan harus disandarkan pada prinsip keadilan dan kesinambungan dengan tetap memperhatikan aspek sosial, lingkungan, dan ekonomi sebagaimana amanat UU 41 Tahun 1999.
Dengan demikian, segala tindakan yang berpotensi untuk mengurangi bahkan menghilangkan manfaat dari penguasaan dan pengusahaan kawasan hutan pada generasi sekarang dan akan datang tidak boleh dilakukan. Tindakan tersebut diantaranya pengerjaan dan/atau pendudukan kawasan hutan secara tidak sah, perambahan kawasan hutan, pembakaran hutan, menebang pohon atau memanen hasil hutan tanpa izin, menambang kawasan hutan tanpa izin, dan pemberian izin pemanfaatan tanpa meperhatikan aspek kemanfataan jangka panjang.
Bila Pemanfaatan Hutan Tanpa Izin?
Tindakan pemanfaatan atau penggunaan kawasan hutan tanpa izin telah diatur dalam Pasal 78 ayat (2) UU 41 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa barangsiapa yang dengan sengaja mengerjakan dan/atau menggunakan dan/atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah diancam pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,- (lima milyar rupiah).
Berdasarkan data terakhir dari Kementerian Kehutan (Kemhut) hingga Maret 2009 kawasan hutan produksi (HPT, HP, dan HPK) terdapat sekitar 44.337.106 juta ha yang belum dibebani ijin usaha pemanfaatan hasil hutan. Dengan dimikan, telah terjadi pelanggaran besar-besaran terhadap UU 41 Tahun 1999 yaitu terjadi pengerjaaan/penggunaan dan/atau pendudukan kawasan dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri Kehutanan.
Namun, terhadap pelanggaran dalam UU 41 Tahun 1999 ternyata tidak serta merta dapat disimpulkan sebagai bentuk tindak pidana bila dilihat bukan dari kaca mata UU 41 Tahun 1999 an sich. Hal ini mengingat bahwa ditemui fakta pengerjaaan/penggunaan dan/atau pendudukan kawasan hutan yang dilakukan oleh badan usaha berdasarkan izin yang diberikan oleh gubenur/bupati/walikota sesuai dengan rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) bersangkutan. Kawasan hutan yang dimaksud oleh Kemhut dalam RTRWP bukanlah merupakan kawasan hutan, sehingga oleh kepala daerah dapat diberikan izin sesuai dengan permohonan, misal untuk perkebunan, pertambangan, dan pemungkiman. Dengan demikian, telah terjadi tumpang tindih antara peta kehutanan tentang kawasan hutan dan RTRWP yang diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Solusi?
Bila tetap konsisten dengan pemberlakuan UU 41 Tahun 1999, maka terhadap bentuk perbuatan pengerjaaan/penggunaan dan/atau pendudukan kawasan hutan tanpa izin Menhut telah terjadi pelanggaran hukum yang dapat dikenakan ketentuan pidana dalam Pasal 50 jo Pasal 78. Padahal di sisi tata ruang, hal tersebut merupakan suatu hal yang benar karena RTRWP menyatakan bahwa ruang tersebut bukan lagi ruang kawasan hutan. Untuk itu, maka diperlukan solusi guna menyelesaikan persoalan dimaksud. Solusi pertama, penegakan hukum secara konsekuen dan konsisten. Setiap pelanggaran terhadap hukum kehutanan, termasuk pengerjaaan/penggunaan dan/atau pendudukan kawasan hutan tanpa izin Menhut harus diancam sebagai perbuatan pidana. Dengan penerapan solusi ini, maka akan menimbulkan efek jera kepa para pelanggar maupun pemberi izin (gubenur/bupati/walikota), selain juga akan menimbulkan kewibawaan hukum bagi Pemerintah karena telah menegakkan hukum secara nyata dan tegas. Namun, kerugiannya akan menimbulkan ketidakpastian dalam berinvestasi karena banyak dari pengguna kawasan hutan tersebut adalah para investor di bidang perkebunan dan pertambangan.
Kedua, solusi pelepasan kawasan hutan dengan mengacu RTRW. Solusi ini dilakukan dengan melepaskan kawasan hutan yang terlanjur dipergunakan bagi kegiatan perkebunan, pertambangan, dan pemungkinan sesuai RTRW. Jadi kawasan yang menurut RTRW bukan lagi kawasan hutan, maka statusnya oleh Kemnhut dilepaskan menjadi bukan kawasan hutan. Hal ini akan berdampak pada tidak timbulnya gejolak sosial dan ekonomi serta terjadi sinkroninasi kebijakan tata ruang dengan tata hutan. Namun, kerugiannya akan terjadi pengurangan luas kawasan hutan besar-besaran dan hal ini bertentangan dengan semangat Pemerintah untuk menurunkan emisi karbon.
Ketiga, solusi dengan membuat teroboson hukum berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dengan menambahkan ketentuan dalam UU 41 Tahun 1999 yang memasukan klausula budidaya perkebunan di dalam kawasan hutan produksi menjadi bagian integral pengelolaan hutan. Izin yang terlanjur dikeluarkan oleh gubenur/bupati/walikota atau bahkan BPN atas HGU, dinyatakan tetap berlaku sampai berarkhirnya izin dan tidak dapat diperpanjang lagi yang selanjutnya kawasan tersebut diubah menjadi hutan tanaman industri atau budidaya perkebunan dengan cara pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan. Namun, kerugiannya political costnya terlalu tinggi, apabila Rancangan Perppu ditolak DPRRI, maka hal ini menjadi preseden buruk bagi Pemerintah.
Keempat, mediasi dengan membuat acta van dading. Berdasarkan dogma bahwa hukum yang merupakan hasil dari proses out of court settlement pada prinsipnya dapat diwujudkan melalui Berita Acara Kesepakatan Damai sesuai Pasal 1858 KUH Perdata, dan menurut ketentuan Pasal 1858 KUH Perdata bahwa posisi akta kesepakatan damai diidentikan sebagai putusan hakim terakhir yang berkekuatan hukum tetap, sehingga memiliki nilai eksekutorial. Terhadap persoalan keterlanjuran pemanfaatan kawasan hutan ini, maka mediasi dapat dilakukan guna penyelesaiannya. Keuntungannya yaitu tidak mengubah ketentuan peraturan perundang-undangan, penyelesaian dapat dilakukan dalam waktu singkat, penerimaan negara melalui PNBP, menciptakan kepastian berusaha, dan tanpa harus menempuh risiko hukum secara kepidanaan. Kerugiannya, melibatkan kepolisian dan kejaksaan untuk memilah perusahaan yang dapat dimediasi dan tidak dapat dimediasi, harus diselesaikan kasus perkasus padahal perusahaan yang perlu diselesaikan telalu banyak, perlu pengawasan yang ketat agar acta van dading tidak disahalagunakan.
Menurut penulis, solusi keempat ini merupakan solusi yang terbaik dalam penyelesaian permaslahan keteralanjuran pemanfaatan kawasan hutan tanpa izin Menteri Kehutanan. Namun, untuk di masa mendatang bahwa segala bentuk pengerjaan/penggunaan dan/atau pendudukan kawasan hutan tanpa izin yang sah dari pejabat yang berwenang dalam kawasan hutan merupakan kejahatan di bidang kehutanan yang harus dicegah dan ditindak atas setiap pelanggarannya. Hal ini penting, mengingat fungsi hutan yang sangat vital bagi mahkluk hidup baik pada masa sekarang maupun pada masa mendatang, sehingga hutan dari kita jaga bersama-sama.
*Ahmad Redi, S.H.,M.H.
Pengamat hukum sumber daya alam
Kandidat Doktor Hukum Universitas Indonesia.
Langganan:
Postingan (Atom)