Blog ini merupakan publikasi pemikiran saya terhadap berbagai persoalan mengenai hukum dan kaitannya dengan masalah ekonomi, sosial, politik, budaya, serta filsafat. Materi dalam blog ini mungkin tampak sederhana, namun dari kesederhanaan inilah saya berupaya untuk dapat menulis secara aktif, substantif, dan filosofis dengan mengdepankan keorisinalitasan karya. Saya meyakini bahwa banyak keserdahanaan yang melahirkan karya-karya agung yang fenomenal dan monumental.
ASSALAMU'ALAIKUM WR.WB.
SELAMAT DATANG DI BLOG PEMIKIRANREDI
"MENAWARKAN PERSPEKTIF KRITIS MELALUI PERPADUAN FILSAFAT, TEORI, DAN DOGMATIKA"
Selasa, 25 Februari 2014
MENGGAGAS OTONOMI KHUSUS BATAM
(Dr. Ahmad Redi.,S.H.,M.H
Pengajar FH Universitas Tarumanagara dan peneliti di Satjipto Rahardjo Institute)
BJ Habibie, Presiden ketiga Indonesia dan mantan Ketua Otorita Batam, dalam beberapa kesempatan menyampaikan bahwa pengembangan Batam pada awalnya dimaksudkan untuk menjadi pesaing negara Singapura. Wong Poh Kom dan Ng Kwan Kee dari National University of Singapore menyatakan pula bahwa, Habibie memperkenalkan ‘teori balon’ dalam pengembangan Batam pada tahun 1970-an. Melalui teori itu, Habibie bersintesis bahwa Singapura seperti balon yang terisi dengan udara. Jika balon udara pertama (Singapura) telah penuh maka ia akan mencari balon kedua (Batam), karena apabila balon pertama tetap dipaksa untuk diisi maka balon pertama akan meledak. Batam dari Indonesia bisa mendapatkan keuntungan dari "pertumbuhan berlebihan" Singapura karena wIlayah yang berdekatan dengan Singapura sehingga dapat diposisikan sebagai perpanjangan dari basis perkembangan Singapura. Selain itu, secara geografis batam terletak di jalur perdagangan internasional, sehingga potensi Batam sangat luar biasa bagi kepentingan nasional Indonesia.
Diawali dengan penetapan Pulau Batam sebagai basis logistik dan operasional bagi usaha-usaha yang berhubungan dengan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi Pertamina (Keppres No.65 Tahun 1970), penetapan sebagian dari Pulau Batam sebagai daerah industri yang diberi status sebagai entrepot partikelir (Keppres No.74 Tahun 1971), penetapan seluruh Pulau Batam menjadi daerah industri (Kepres 41 Tahun 1973), dan terakhir penetapan Batam sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Batam (PP No 46 Tahun 2007), membuktikan bahwa kebijakan pembangunan Batam sangat spesial dibandingkan daerah lain di Indonesia. Bahkan, melalui Kepres No.41 Tahun 1973 dan dipertegas kembali dalam PP No.46 Tahun 2007, seluruh Pulau Batam diberikan hak pengelolaan atas tanah kepada Otorita Batam (sekarang Badan Pengusahaan). Satu-satunya di Indonesia, daerah yang memiliki kekhususan pengelolaan tanah melalui hak pengelolaan atas tanah. Berdasarlan fakta perkembangan tersebut, Batam telah diperlakukan secara khusus dan berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Tentunya, kekhususan Batam tersebut dilaksanakan untuk kepentingan nasional Indonesia.
Otonomi Asitmetri
Pembahasan mengenai otonomi asimetri pertama kali dibahas oleh Charles Tarlton (1965) dari University of California. Menurutnya, pembeda utama antara otonomi biasa (simetri) dengan otonomi asimetri terletak pada tingkat kesesuaian (conformity) dan keumuman (commonality) dalam hubungan suatu level pemerintahan (negara bagian/daerah) dengan sistem politik dan sistem pemerintah pusat maupun antar negara bagian/daerah. Pola simetris ditandai oleh “the level of conformity and commonality in the relations of each separate political unit of the system to both the system as a whole and to the other component units”, di sisi lain pola asimetris merupakan satu atau lebih unit politik atau pemerintah local “possessed of verying degrees of autonomy and power”.
Kerangka pemikiran Tarlton tersebut diadopsi dan diperbarui oleh John McGarry (2007) dari Queen’s University. McGarry mengembangkan otonomi asimetri Tarlton tidak hanya terkait substansi asimetri tetapi juga bentuk dasar pengaturan hukumnya. Menurut McGarry, model asimetri akan terjadi apabila otonomi semua unit pemerintahan substansional dijamin Konstitusi dan terdapat sekurang-kurangnya satu unit lokal yang menikmati level otonomi yang berbeda (umumnya otonomi yang lebih luas).
Di Indonesia, konsep otonomi asimetri McGarry secara teori dan praktik telah diterapkan. Pertama, negara telah mengatur perlakuan khusus atau istimewa terhadap satuan-satuan pemerintahan daerah yang secara konstitusional diatur dalam Pasal 18B UUD NRI 1945 yang mengatur bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Kedua, Indonesia telah memiliki empat daerah di level pemerintahan provinsi yang menikmati otonomi asimetri, yaitu DKI Jakarta, Nangroe Aceh Darusalam, Papua, dan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang keempat daerah tersebut memiliki dasar pembentukan kekhususan/keistimewaan berdasarkan undang-undang khusus.
Otonomi Khusus Batam
Otonomi khusus Batam merupakan suatu hal yang pasti apabila pemerintah berkeinginan pengembangan Batam sebagai daerah yang maju dan berkembang seperti Singapura. Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi alasan kekhususan Batam, pertama, alasan yuridis. Pasal 18B UUD 1945 menjadi dasar pengakuan kekhususan atau keistimewaan daerah-daerah di Indonesia, termasuk Batam dan dipertegas dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, UU No.32 Tahun 2004 tidak mengatur kriteria dan tata cara secara lengkap mengenai kekhususan/keistimewaan tersebut. Pun apabila mengatur mengenai kekhususan hanya terkait dengan kawasan khusus yang tidak terkait dengan otonomi khusus satuan-satuan pemerintahan daerah.
Kedua, alasan kesejarahan-politis. Secara historis, Batam telah diberlakukan khusus oleh pemerintah pusat sejak tahun 1970-an yang berbagai penetapan kekhususan batam, mulai dari gudang minyak Pertamina, entrepot partikelir, daerah industri, dan terakhir sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. Berbagai fasilitas di bidang kepabean, cukai, perpajakan, ekspor-impor, keimigrasian khusus berlaku di Batam yang berbeda dengan daerah lainnya. Bahkan seluruh Pulau Batam diberikan hak pengelolaan atas tanah kepada Otorita Batam (Badan Pengusahaan) yang membuat badan ini dapat merencanakan, memperuntukan, dan menggunakan lahan tersebut untuk menunjang industrialisasi Batam. Sejarah hukum tersebut mengandung politik hukum pemerintah memberlakukan Batam secara afirmatif.
Ketiga, alasan akademik-komperatif. Dalam khasanah ilmu politik dan pemerintahan, pola pengaturan yang tidak seragam ini disebut sebagai assymetrical decentralization, asymetrical devolution atau assymetrical federalis, atau secara umum assymetrical intergovernmental arrangements. Secara prinsipil, berbagai bentuk penyebaran kekuasaan yang bercorak asimetris menjadi instrumen kebijakan yang dimaksudkan untuk mengatasi dua hal fundamental yang dihadapi suatu negara, yakni persoalan bercorak politik dan persoalan yang bercorak teknokratik-managerial, yakni kapasitas suatu daerah atau suatu wilayah dalam menjalankan fungsi dasar pemerintahan. Persoalan yang bercorak teknokratik-managerial yang membuat Batam saat ini tidak mampu berkembang secara maksimal, diupayakan suatu assymetrical decentralization sebagai debotlleneck pengembangan Batam.
Akhirnya, Batam mampu menjadi daerah yang berkembang seperti Singapura apabila penyelenggaraan Batam dilakukan secara khusus dengan menjadikan Batam sebagai provinsi baru yang bersifat khusus. Kewenangan-kewenangan khusus yang dituangkan dalam undang-undang pembentukan pemerintah daerah provinsi Batam, misalnya menjadikan Kepala Badan Pengusahaan sekaligus Gubernur Batam akan menyelesaikan persoalan misalnya tumpang tindih kewenangan antara Walikota Batam dengan Kepala Badan Pengusahaan Batam yang selama ini membuat Batam terhambat berkembang. Dengan demikian, cita-cita pengembangan Batam di masa lalu untuk mampu menyaingi Singpura dapat terwujud.
-------------
Dimuat di Kompas (12/02/2014),
Langganan:
Postingan (Atom)