ASSALAMU'ALAIKUM WR.WB.
SELAMAT DATANG DI BLOG PEMIKIRANREDI
"MENAWARKAN PERSPEKTIF KRITIS MELALUI PERPADUAN FILSAFAT, TEORI, DAN DOGMATIKA"

Senin, 22 Juni 2015

NASIONALISASI KONTRAK KARYA FREEPORT



Dr. Ahmad Redi, S.H.,M.H
(Pengamat Hukum Sumber Daya Alam dari FH Universitas Tarumanagara)


Pada tahun 2021, Kontrak Karya (KK) PT Freeport Indonesia di Komplek tambang Grasberg, Papua, akan berakhir. Kompleks tambang Grasberg merupakan salah satu penghasil tembaga dan emas terbesar di dunia dan mengandung cadangan tembaga terbesar di dunia. Grasberg berada di jantung wilayah mineral yang sangat melimpah dan berusia panjang. KK PT Freeport ditandatangani pada 7 April 1967 dan telah diperbarui pada 30 Desember 1991. PTFI telah melakukan eksplorasi, menambang, dan memproses bijih yang mengandung tembaga, emas, dan perak di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Erstberg (sejak 1967) dan tambang Grasberg (sejak 1988), di kawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.

Mengapa dikelola Sendiri?
Tambang Grasberg, Papua, merupakan kekayaan alam bangsa Indonesia yang semestinya dapat dikelola sendiri oleh Indonesia untuk mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945. Ada beberapa hal yang menjadi alasan mengapa Indonesia harus mengelola sendiri tambang Grasberg, Papua, yaitu: (1) sebagai tambang emas terbesar di dunia tentu secara ekonomi akan memberikan manfaat penerimaan negara yang besar bagi negara ini apabila dikelola langsung oleh bangsa Indonesia sendiri; (2) selama ini PT Freeport cenderung ‘bandel’ atas kebijakan pemerintah, misalnya mengenai kewajiban pemurnian di dalam negeri dan membangun smelter; (3) besaran royalti yang sulit untuk dinaikkan dari 1% ke 3.75% sebagaimana diatur dalam PP No. 9 tahun 2010 tentang PNBP di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral padahal sebagai pemilik sumber daya alam Indonesia harusnya bangsa Indonesia mendapat royalti tidak hanya 3.75% tetapi puluhan persen; (4) PT Freeport sulit mendivestasikan sahamnya kepada pemerintah dan BUMN sebagaimana perintah UU No. 4 Tahun 2009; (5) kebijakan pemerintah yang berusaha ‘membela’ kepentingan PT Freeport menjadi beban bagi pemerintah sendiri, misalnya mengenai perpanjangan ekspor konsentrat selama enam bulan oleh pemerintah melalui MOU kepada PT Freeport membuat pemernitah harus digugat ke pengadilan karena dianggap melanggar peraturan perundang-undangan; (6) hasil tambang PT Freeport tidak memberikan nilai tambah bagi bangsa Indonesia secara maksimal misalnya untuk ketersediaan bahan baku industri dalam negeri.

Strategi Pengelolaan Sendiri

Berbagai alasan tersebut memperkuat posisi pemerintah untuk mengelola sendiri Komplek tambang Grasberg peninggalan PT Freeport pada 2021 nanti. Adapun skema yang dapat dilakukan pemerintah, yaitu: pertama, pemerintah membentuk BUMN baru untuk melanjutkan operasi produksi tambang Grasberg. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Pemerintah dengan membentuk BUMN PT Inalum setelah Pemerintah memutus kontrak dan mengambil alih saham yang dimiliki pihak konsorsium peruhasaan Jepang pada 2013. Kedua, Pemerintah dapat menugaskan konsorsium atau holding BUMN baru yang terdiri atas PT Bukit Asam, PT Nikel, PT Antam, dan beberapa BUMN di bidang perbankan untuk mengelola tambang Grasberg. Ketiga, dengan skema pembelian saham divestasi PT Freeport sebagaimana yang diatur dalam Pasal 112 UU No.4/2009 bahwa pemegang KK harus mendivestasikan sahamnya kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, dan perusahaan swasta nasional. Kepemilikan saham pemerintah PT Freeport harus 51% sesuai denganketentuan dalam PP No. 1/2014. Melalui saham mayoritas maka akan terjadi peralihan kepemilikan dan peralihan keuntungan dari PT Freeport kepada pemerintah Indonesia. Pilihan ketiga tersebut, bukanlah pilihan yang ideal karena saham divestasi yang akan dibeli oleh pemerintah tentunya memerlukan dana yang sangat besar dan akan membebani APBN. Sehingga upaya menunggu tahun 2021 ketika berakhirnya KK PT Freeport dan atas KK tersebut tidak diperpanjang dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan (IUP) serta memberikan Izin Usaha Pertambangan Khusus kepada BUMN tentunya menjadi pilihan terbaik agar dapat mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Secara prosedural. Perpanjangan KK menjadi IUP yaitu sebagaimana dalam Pasal 112 ayat (2) PP No. 23/2010 diatur bahwa KK yang belum memperoleh perpanjangan pertama dan/atau kedua dapat diperpanjang menjadi IUP perpanjangan tanpa melalui lelang dan kegiatan usahanya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan PP No.23/2010 mengenai penerimaan negara yang lebih menguntungkan. Perpanjangan KK menjadi IUP diberikan oleh Menteri ESDM (Pasal 112B PP No.24 Tahun 2012). Untuk memperoleh IUP, pemegang KK harus mengajukan permohonan kepada Menteri ESDM paling cepat dalam jangka waktu dua tahun dan paling lambat dalam jangka waktu enam bulan sebelum KK berakhir (Pasal 112B ayat (2) PP No. 24 Tahun 2012). Berdasarkan ketentuan tersebut, Pemerintah memiliki kewenangan yang kuat untuk tidak memperpanjang KK PT Freeport dengan IUP. Selanjutnya pada 2018/2019 PT Freeport sudah dapat mengajukan permohonan perpanjangan KK menjadi IUP. Momentum permohonan perpanjangan inilah yang harus dipertegas oleh pemerintah untuk tidak memperpanjang dan mengakhiri KK PT Freeport.
Saat ini tahun 2016, tahun 2018/2019 saat PT Freeport oleh peraturan perundang-undangan dapat mengajukan permohonan perpanjangan KK untuk menjadi IUP telah semakin dekat. Pemerintah harus telah menyiapkan rencana kebijakan sejak saat ini karena apabila pemerintah salah menentukan kebijakan maka akan menjadi warisan penderitaan bagi bangsa dan negara. Perlu juga dihindari upaya-upaya perubahan peraturan perundang-undangan yang sudah baik saat ini untuk kemudian diubah demi menguntungkan PT Freeport semata. Upaya penyelundupan kepentingan perusahaan dan merugikan kepentingan nasional melalui pengubahan peraturan perundang-undangan sangat berpotensi dilakukan oleh unit pemerintah yang memiliki tugas pokok dan fungsi pembentukan regulasi. Akhinya, bangsa Indonesia harus bersatu untuk menentukan bahwa tambang Grasberg milik bangsa Indonesia dan harus dikelola sendiri oleh bangsa Indonesia.
***

Rabu, 03 Juni 2015

LARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH SUDAH TEPAT, FAISAL BASRI GAGAL PAHAM UREGENSI HILIRISASI


Oleh:
Dr. Ahmad Redi, S.H.,M.H


Faisal Basri menuding Hatta Rajasa sebagai biang keladi kekacauan industri bauksit dengan mengeluarkan kebijakan larangan ekspor mineral mentah (raw material) termasuk bauksit. Menurut Faisal Basri kebijakan larangan ekspor tersebut membuat kepentingan nasional hancur lantaran semua perusahaan bauksit nasional tidak lagi diperbolehkan mengekspor bauksit yang merupakan bahan mentah pembuatan alumunium. Faisal Basri pun menuding bahwa kebijakan Hatta Rajasa merupakan permintaan perusahaan alumunium terbesar Rusia, yaitu UC Rusal, yang saat itu berencana menanamkan investasinya di Indonesia untuk membuat pabrik pengelolaan bauksit (smelter alumina) di Kalimantan. Bagi saya pernyataan Faisal Basri tersebut sesat dan menyesatkan, sehingga saya terpanggil untuk menanggapinya.
Pernyataan Faisal Basri tersebut harus saya tanggapi dalam kapasitas: (1) sebagai akademisi di bidang hukum sumber daya alam yang memahami akar filsofis dan yuridis peraturan perundang-undangan mineral dan batubara; (2) sebagai orang yang terlibat dalam penyusunan (Tim Penyusun) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 yang di dalam Peraturan Pemerintah tersebut aturan mengenai kewajiban pengolahan dan/atau pemurnian hasil tambang di dalam negeri yang dimaknai oleh pengusaha sebagai “larangan ekspor” mineral diatur. Dalam pembahasan RPP tersebut saya sangat tegas dan keras berpendapat agar politik hukum Pemerintah konsisten dan konsekuen untuk menjalankan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 102, Pasal 103, dan Pasal 170 UU No.4 Tahun 2009.
Pertama, secara filosofis, bisnis pengusahaan pertambangan bukan bisnis jual beli tanah (dan air). Hasil tambang mentah yang dibawa ke luar negeri tanpa diolah dan/atau dimurnikan di dalam negeri merupakan bentuk pelecehan terhadap hak mengusai negara atas sumber daya alam yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan. Perusahaan pertambangan lebih memilih mengekspor mentah-mentah bahan tambang Indonesia dan memilih untuk dijual selanjutnya diolah dan/atau dimurnikan di negara-negara lain. Padahal akan terdapat nilai tambah ekonomi yang besar bagi kepentingan nasional apabila bukan raw materials yang diekspor tetapi bahan yang sudah diolah dan/atau dimurnikan-lah yang diekspor. Melalui pengolahan dan/atau pemurnian di dalam negeri maka aka nada manfaat bagi negara, antara lain: (a) meningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambah dari produk; (b) tersedianya bahan baku industri; (c) penyerapan tenaga kerja; dan (d) peningkatan penerimaan negara.
Kedua, dalam keterangan ahli saya di Mahkamah Konstitusi (saksi ahli) dari pihak Termohon (Presiden RI) atas uji materiil Pasal 102 dan Pasal 103 UU No.4 Tahun 2009 tentang Minerba dalam perkara nomor 10/PUU-XII/2014 saya mengatakan bahwa akar konstitusional kebijakan kewajiban pengolahan dan/atau pemurnian di dalam negeri atas hasil tambang mineral mentah bersumber dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 dinyatakan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Frasa ‘dikuasai oleh negara dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945, telah ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003: “Bahwa frasa “Bahwa rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif) dalam rangka sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat”
Kewenangan negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad) agar sumber daya alam, termasuk mineral dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dilaksanakan melalui legislasi oleh DPR dan Pemerintah dengan membentuk UU No.4 Tahun 2009. Kebijakan larangan ekspor yang dimaksud Faisal Basri diatur dalam Pasal 102 yang menyatakan: “Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara”, dan selanjutnya dalam Pasal 103 yang berbunyi: (1) Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri; (2) Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengolah dan memurnikan hasil penambangan dari pemegang IUP dan IUPK lainnya; (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai tambah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 serta pengolahan dan pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
Kemudian sebagai pelaksanaan Pasal 102 dan Pasal 103 UU No.4 Tahun 2009 tersebut terbitlah PP No. 23 Tahun 2010 sebagaimana telah diubah dengan PP No.1 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga Atas PP No. 23 Tahun 2010 yang mempertegas kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negari. Berdasarkan ketentuan dalam PP No.1 Tahun 2014 yang ditandatangani oleh Presiden SBY pada tanggal 11 Januari 2014 merupakan pelaksanaan dari Pasal 102, Pasal 103, dan Pasal 170 UU No.4 Tahun 2009, sejak 12 Januari 2014, ekspor mentah-mentah hasil tambang tidak diperbolehkan lagi. Pemegang Kontrak Karya dan IUP dapat melakukan ekspor mentah apabila komoditas hasil tambangnya telah diolah dan/atau dimurnikan di dalam negeri.
Upaya perusahaan yang menolak kebijakan tersebut secara hukum telah dilalui dengan melakukan uji materiil Pasal 102 dan Pasal 103 UU No. 4 Tahun 2009. Saat itu Faisal Basri menjadi saksi ahli di Mahkamah Konstitusi dari pihak yang memohon pembatalan Pasal 102 dan Pasal 103 UU No. 4 Tahun 2009. Namun, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan tersebut dan menyatakan bahwa Pasal 102 dan Pasal 103 telah tepat dan sesuai dengan UUD 1945. Lalu mengapa Faisal Basri masih meributkan dan bersikap tendensius kepada Hatta Rasaja? Padahal kebijakan Hatta Rasaja tersebut dalam rangka melaksanakan kententuan UU No. 4 Tahun 2009 dan dalam kepentingan nasional karena pengolahan dan pemurnian di dalam negeri akan memberikan nilai tambah bagi bangsa dan negara Indonesia. Ingat, bisnis pengusahaan pertambangan mineral bukanlah bisnis jual beli tanah (dan air) yang mentah-mentah di bawa ke luar negeri.
Menurut saya, jelas bahwa Faisal Basri tidak memahami konteks filosofis, sosiologis, dan yuridis lahirnya kebijakan tersebut yang murni melaksanakan kebutuhan hukum masyarakat dan menjawab tantangan kepentingan nasional atas hasil tambang. Negara Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 bahkan untuk mempertegas hukum sebagai panglima, Faisal Basri juga telah dihadirkan ke Mahkamah Konstitusi untuk menjelaskan sesuai keahliannya terkait kebijakan larangan ekspor tersebut, namun MK justru membenarkan apa yang dilakukan Pemerintah yang saat itu Hatta Rajasa sebagai Menteri Koordinator Perekonomian.
Faisal Basri hanya berpikir mementingkan kepentingan kapitalisme tanpa mementingkan kepentingan nasional secara menyeluruh. Saya kira berdasarkan fakta hukum tersebut, kita dapat menilai siapa yang mementingkan kepentingan nasional dan siapa yang hanya mementingkan kepentingan kapitalisme.
***