ASSALAMU'ALAIKUM WR.WB.
SELAMAT DATANG DI BLOG PEMIKIRANREDI
"MENAWARKAN PERSPEKTIF KRITIS MELALUI PERPADUAN FILSAFAT, TEORI, DAN DOGMATIKA"

Jumat, 05 Maret 2010

TANDA TANGAN ELEKTONIK GUNA MENUJU SECURE ELECTRONIC TRANSACTION

"Ahmad Redi,S.H.,M.H."

Teknologi informasi yang berkembang sangat cepat telah menjadi instrumen bagi banyak pihak untuk menaikkan intensitas operasinya baik pada tataran domestik maupun global yang disebabkan oleh globalisasi sebagaimana yang dikemukakan Thomas L. Friedman bahwa globalisasi mendorong terjadinya integrasi global, bahkan lebih jauh menurutnya dunia seolah menjadi kampung global (global village)1, termasuk integrasi global dalam hal teknologi informasi dan komunikasi.

Dampak dari hubungan lintas batas dari globalisasi ini pada gilirannya mengakibatkan masyarakat, negara, dan pemerintah semakin bekerja keras untuk memenuhi keamanan individu, pertumbuhan ekonomi, perlindungan sosial, bahkan hak-hak individu itu sendiri. Sehingga butuh pengaturan secara nasional dan internasional mengenai teknologi infomasi dan komunikasi yang mampu menjadi norma bangsa-bangsa dalam mengatur permasalahan teknologi informasi dan komunikasi.

Peranan teknologi informasi dalam kehidupan manusia, secara langsung atau tidak langsung juga berperan dalam kehidupan sosial masyarakat, termasuk dimensi hukum. Di sinilah muncul perangkat yang mengombinasikan kebutuhan teknologi terhadap hukum. Teknologi informasi kemudian mengikatkan diri dalam suatu sistem aturan sebagai langkah untuk mendapatkan ‘pengakuan’ agar teknologi informasi memiliki norma-norma yang baku sehingga mampu menjadi bingkai bagi aktivitas teknologi informasi. Lahirlah istilah hukum teknologi informasi sebagai representasi dari kepentingan perangkat teknologi informasi sebagai ‘pengakuan’ hukum terhadap teknologi informasi.

Setiap tindakan manusia dalam berbagai macam bentuknya menyebabkan kemunculan atau aplikasi hukum atau pembuatan hukum untuk mengatur aktivitas tersebut, termasuk juga aktifitas penciptaan, penggunaan, dan penyalagunaan teknologi informasi, sehingga jelas bahwa teknologi informasi merupakan sesuatu hal yang juga harus diatur oleh hukum.
Permasalahan inilah yang kemudian menjadi awal bagi pertumbuhan dan perkembangan hukum teknologi informasi yang menjadi norma bagi aspek teknologi infomasi yang pada akhirnya antara hukum dan teknologi informasi mempunyai interelasi yang kuat dan bersinergis dalam mendukung tujuan masing-masing, yakni kepastian hukum (yuridis), kemanfaatan atau kegunaan, dan keadilan.2 Walaupun ada kesan bahwa hal tersebut tidak secara langsung berhubungan dengan teknologi informasi yang telah memunculkan pemikiran bahwa ‘hukum teknologi’ atau ‘hukum teknologi informasi’ adalah sebuah pokok tanpa isi.3

Terlepas dari perdebatan mengenai pengunaan istilah ‘hukum teknologi informasi’. Namun, sejarah ‘hukum teknologi’, yakni dalam aspek-aspek hukum yang berkitan dengan teknologi, tidak tampak menonjol sampai permulaan masa ‘mercantilisme’ di Eropa Barat, khususnya sebelum memasuki abad ke-18 dan Revolusi Industri di Inggris.4 Meskipun demikian banyak yang berpendapat bahwa ‘hukum teknologi’ terlalu dini keberadaannya. Hal tersebut dibuktikan dengan ketiadaan perangkat konseptual untuk memberikan ciri pada bidang ‘hukum teknologi’ ini.

Perdebatan tersebut membuktikan bahwa disiplin ilmu hukum masih tertinggal di belakang disiplin ilmu lain dalam membangun kerangka kerja bagi teknologi pada umumnya dan teknologi informasi pada khususnya.
Sebagai upaya serius untuk memadukan dan mengaharmonisasi eksistensi teknologi informasi dan hukum, maka, diperlukannya pengaturan terhadap perangkat teknologi informasi ke dalam perangkat hukum yang menjadi norma bagi penciptaan, pemanfaatan dan penyalagunaan teknologi informasi. Pemerintah Indonesia menyadari bahwa perkembangan dan kemajuan teknologi informasi yang demikian pesat telah menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah memengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru.

Eksistensi penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi tersebut harus terus dikembangkan untuk menjaga, memelihara, dan memperkukuh persatuan dan kesatuan nasional berdasarkan peraturan perundang-undangan demi kepentingan nasional, sehingga mampu menjadi aset bagi Indonesia dalam menghadapi perkembangan dinamika sosial, ekonomi, politik, dan keamanan.

Pemanfaatan teknologi informasi berperan penting dalam perdagangan dan pertumbuhan perekonomian nasional untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah perlu mendukung pengembangan teknologi informasi melalui infrastruktur hukum dan pengaturannya supaya pemanfaatan teknologi informasi dilakukan secara aman untuk mencegah penyalahgunaannya dengan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia.
Bagi perekonomian, kemajuan teknologi memberikan manfaat yang sangat besar, karena transaksi bisnis dapat dilakukan secara seketika (real time), yang berarti perputaran ekonomi menjadi semakin cepat dan dapat dilakukan tanpa hambatan ruang dan waktu. Begitu juga dari sisi keamanan, penggunaan teknologi, memberikan perlindungan terhadap keamanan data dan transaksi.5

Didasari oleh pertimbangan tersebut, maka, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia(DPR RI) bersama Pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Infomasi (departemen pemrakarsa RUU ITE) menyiapkan instrumen hukum (RUU) dengan meregulasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE) sebagai organ khusus dari perangkat teknologi informasi.

Undang-Undang ITE yang merupakan spesifikasi dari teknologi informasi di bidang informasi dan transaksi ekonomi diharapkan akan memiliki pengaruh yang kuat yang dimunculkan dari kemajuan semua aspek kehidupan, misalnya, kemajuan dalam layanan perbankan elektronik dimana timbulnya transaksi tanpa uang tunai dan pergerakan modal, serta pendapatan yang cepat di seluruh dunia yang mengakibatkan perkembangan bisnis bagi pelaku bisnis pengguna jasa perniagaan elektronik (e-commerce), termasuk negara.

Perkembangan teknologi informasi itu telah ‘memaksa’ pelaku usaha mengubah strategi bisnisnya dengan menempatkan teknologi sebagai unsur utama dalam proses inovasi produk dan jasa. Pelayanan electronic transaction atau ­electronic banking melalui ATM, phone banking dan internet banking misalnya, merupakan bentuk baru dari delivery channel pelayanan bank yang mengubah pelayanan transaksi manual menjadi pelayanan transaksi oleh teknologi.6 Sebagai contoh ketika terjadi gempa bumi dan tsunami di Nanggroe Aceh Darusalam pada tahun 2004 kenyataan membuktikan bahwa bank yang memiliki sistem bisnis berbasis elektronik lebih cepat melakukan recovery dan back up sehingga dengan cepat pula bank-bank tersebut mampu memberikan pelayanan kepada nasabah.

Sistem perangkat lunak dan perangkat keras canggih yang telah diaplikasikan, misalnya, manajemen keuangan dan semua basis data, telah mengubah cara pengumpulan, penyimpanan, analisis dan penggunaan informasi untuk berbagai tujuan perbankan. Bisnis berbasis web telah menjamur dan ‘Gold Rush’ baru telah menarik lebih banyak pemula dengan kereta e-commerce.7

Pengaruh e-commerce dan tingkat penerimaannya di berbagai negara dan perusahaan di seluruh dunia terus menjadi sasaran kajian yang diperdebatkan. Tingkat pertumbuhan penjualan online tetap menjadi masalah yang menjadi perselisihan antarpeneliti pasar.8
Meskipun peran e-commerce belum pasti dan apakah publitas mengenai ‘Informasi/Internet Technology Rush (I-Rush) pada abad ke 21 benar-benar terjadi atau tidak, seperti halnya dengan Gold Rush pada abad ke-19, beberapa pemerintahan melakukan penyesuaian dengan memberikan landasan hukum dan praktik yang sah.9

Begitu pula dengan Pemerintah Indonesia upaya untuk memberantas penyalagunaan komputer atau perundang-undangan di bidang kejahatan telah diperbaharui dengan memperhatikan perkembangan internet dan e-commerce. Perkembangan e-commerce di Indonesia yang begitu cepat belum mampu diikuti oleh perkembangan perundang-undangan yang mengakibatkan pihak bisnis mencari mekanisme pengaturan sendiri. Dimana banyak dari pihak bisnis yang memperbolehkan tanda persetujuan online dalam memenuhi persyaratan tertentu.
Sebagaimana yang terjadi di Amerika sebelum pengeturan e-commerce belum diregulasi dimana seratus perusahaan multinasional, media, lembaga keuangan, dan teknologi berskala besar, mulai dari IBM dan Netscape, Toshiba, Nokia, dan Marks and Spencer menyusun garis pedoman pengaturan sendiri secara global dalam bidang privasi, kepercayaan, pertanggungjawaban pada saham, pajak, yurisdiksi, infrastruktur, dan hak kekayaan intelektual.10

Praktek e-commerce di Indonesia relatif baru dibandingkan dengan negara-negara maju. Produk hukum yang lahir sebagai efek domino eksistensi teknologi informasi pun baru ada ketika Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik muncul. Namun, masih ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Pemerintah terkait masalah teknis yang belum diatur secara detail, seperti pengaturan mengenai tanda tangan elektronik (electronic signature), sertifikat elektronik, dan penyelenggara sertifikasi elektronik.
Persoalan electronic signature erat kaitannya dengan masalah keamanan transaksi elektronik (secure electronic transaction). Hal ini menjadi penting karena e-commerce merupakan bentuk perdagangan model baru yang menggunakan media elektronik, baik komputer maupun media elektronik lainnya.

Komputer sebagai alat bantu manusia dengan didukung perkembangan teknologi informasi telah membantu akses ke dalam jaringan jaringan publik (public network) dalam melakukan pemindahan data dan informasi. Dengan kemampuan komputer dan akses yang semakin berkembang maka transaksi perniagaan pun dilakukan di dalam jaringan komunikasi tersebut.
Kemudian dikenal media internet sebagai bentuk jaringan publik yang global. Internet merupakan jaringan publik yang hingga ini masih rentan terhadap resiko kemananan. Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa semua transaksi yang dilakukan melalui internet merupakan bentuk transaksi beresiko tinggi.

Kelemahan yang dimiliki oleh internet sebagai jaringan publik yang tidak aman ini telah dapat diminimalisasi dengan adanya penerapan teknologi penyandian informasi (kriptografi). Electronic data transmission dalam e-commerce diamankan dengan melakukan proses enkripsi sehingga menjadi cipher/locked data yang hanya bisa dibaca/dibuka dengan melakukan proses reversal yaitu proses dekripsi. Contoh protokol yang memanfaatkan kriptografi adalah protokol SSL, SET, PGP, dsb. Protokol-protokol tersebut digunakan dalam transaksi di Internet.11
Perlu digarisbawahi, dengan adanya perkembangan teknologi di masa mendatang, terbuka kemungkinan adanya penggunaan e-commerce dalam media selain internet, seperti misalnya pada jaringan GSM. Bahkan, hasil penyandian, yakni ciphertext atau locked data dapat dituliskan atau dicetak pada kertas, dan memiliki validitas yang sama dengan data elektronik.12

Dalam transaksi e-commerce, perangkat kriptografi yang paling sering dipergunakan adalah electronic signature (tanda tangan digital). Jika pengirim pesan (message) membubuhkan tanda tangan elektronik pada pesan, penerima dapat merasa yakin bahwa setelah ditandatangani pengirim, pesan itu tidak ada yang memanipulasi saat dalam perjalanan. Sifat yang dimiliki oleh tanda tangan digital adalah otentik tak bisa dan sulit ditulis atau ditiru oleh orang lain, Hanya sah untuk dokumen pesan, dapat diperiksa dengan mudah13.

Pada umumnya, tanda tangan elektronik menggunakan teknik kriptografi kunci publik, kunci simetrik dan sebuah fungsi hash satu arah. Patut dicatat bahwa tanda tangan digital bukanlah tanda tangan dari seseorang yang di-scan atau dimasukkan ke komputer menggunakan stylus atau mouse, tapi merupakan kumpulan dari kalkulasi matematis untuk menyandikan data, yakni dengan kriptografi. Terminologi lain untuk electronic signature adalah ‘digitally ensured document’, agar maknanya tidak rancu. Jadi dapat diibaratkan sebagai dokumen yang sudah ‘dikunci’ dan tidak bisa dimanupulasi isinya.14

E-commerce sebagai bentuk perniagaan yang berkitan dengan masalah uang tentunya akan menarik pelaku kejahatan untuk melakukan tindakan-tindakan jahat dalam mengambil keuntungan dengan menggunakan teknologi informasi. Salah satu sektor yang rentan terhadap kejahatan teknologi informasi adalah sektor perbankan. Didasari oleh hal tersebut maka dibutuhkan suatu sistem kemananan transaksi elektronik agar sektor perbankan dalam upaya melakukan e-commerce memiliki sistem keamanan yang baik guna melindungi kepentingan perbankan.

Salah satu bentuk sistem keamanan dalam transaksi elektronik yakni penggunaan sistem electronic signature yang dalam aturan hukum Indonesia telah diregulasi secara umum dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Sebagaimana negara-negara maju, seperti di Amerika Serikat, beberapa negara bagiannya sudah menerapkan peraturan mengenai electronic signature. Ada beberapa negara bagian yang membuat peraturan yang sangat komprehensif, tetapi ada juga yang membuat peraturan yang sangat ringkas. Bahkan ada juga negara yang menggabungkannya dengan peraturan mengenai internet dan informasi multimedia, seperti di Malaysia. Namun itu bukan berarti bahwa kalau di Indonesia belum ada peraturan mengenai electronic signature, maka tidak ada hukum yang menangani masalah itu.

Catatan kaki:
1. Thomas L. Friedman, The Lexus and the Olive Tree: “Understanding Globalization”, New York, NY: Farrar, Straus, Giroux, 1999, dalam William r. Schroeder, Money laundering; A global threat and the international Community’s response theory, http://www.yahoo.com/
2. Satjipto Rahardjo, “Ilmu Hukum”, (Bandung: Penerbit Alumni 1982), hal.21.
3. Assafa Endeshaw, “Hukum E-commerce dan Internet Dengan Fokus di Asia Pasifik”,cet.1, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset,2007), hal.4.
4.Ibid.
5.Konsideran Menimbang UU ITE.
6.Tim Peraturan Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum Direktorat Hukum Bank Indonesia, “Rekonstruksi Hukum dalam Menanggulangi Kejahatan Dunia Maya di Bidang Perbankan”, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume V No.2, Agustus 2006.
7.Ibid.
8.Mark Albrigt, “Internet Commerce Increasing, Give or Take a Few Billion”, St Peterburg Times, 12 April 1999, bab Business Times, hal.3 (tersedia online dari Lexis-Nexis).
9.Jim Puzzanghera, “US Lawmakers Clomoring to Regulator Internet”, San Jose Mercury News, 9 April 1999 (tersedia secara online dari Lexis-Nexis).
10.John Authers, “Media and Telecoms Chiep Aim for Self-Regulation of Internet”, The Financial Times, 15 Januari 1999, halaman belakang (tersedia secara online dari FTDiscovery); lihat juga Newsbytes News Network, 15 Januari 1999 di http://www.newsbytes.com
11.Muhammad S Tuharea, “Kajian Kerangka Hukum Electronic Signature”, Makalah Tugas Akhir, Institut teknologi Bandung, 2003, hal.3-4.
12.Ibid.
14.Ibid.

2 komentar: