Blog ini merupakan publikasi pemikiran saya terhadap berbagai persoalan mengenai hukum dan kaitannya dengan masalah ekonomi, sosial, politik, budaya, serta filsafat. Materi dalam blog ini mungkin tampak sederhana, namun dari kesederhanaan inilah saya berupaya untuk dapat menulis secara aktif, substantif, dan filosofis dengan mengdepankan keorisinalitasan karya. Saya meyakini bahwa banyak keserdahanaan yang melahirkan karya-karya agung yang fenomenal dan monumental.
ASSALAMU'ALAIKUM WR.WB.
SELAMAT DATANG DI BLOG PEMIKIRANREDI
"MENAWARKAN PERSPEKTIF KRITIS MELALUI PERPADUAN FILSAFAT, TEORI, DAN DOGMATIKA"
Senin, 04 Juli 2016
MENGGUGAT PT FREEPORT INDONESIA
Oleh:
Dr. Ahmad Redi, S.H.,M.H
Pengajar FH Universitas Tarumanagara, Pengamat Hukum Sumber Daya Alam, Dewan Presedium Kaukus Muda Alumni Undip
Pada tahun 2021, Kontrak Karya (KK) PT Freeport Indonesia di Komplek tambang Grasberg, Papua, akan berakhir. Kompleks tambang Grasberg merupakan salah satu penghasil tembaga dan emas terbesar di dunia dan mengandung cadangan tembaga terbesar di dunia. Grasberg berada di jantung wilayah mineral yang sangat melimpah dan berusia panjang. KK PT Freeport ditandatangani pada 7 April 1967 dan telah diperbarui pada 30 Desember 1991. Padahal harusnya, KK tersebut berakhir pada 1997. PTFI telah melakukan eksplorasi, menambang, dan memproses bijih yang mengandung tembaga, emas, dan perak di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Erstberg (sejak 1967) dan tambang Grasberg (sejak 1988), di kawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.
Perpanjangan operasi tambang PT Freeport menyangkut kepentingan seluruh bangsa dan negara Indonesia sehingga harus dipastikan cost and benefit analysis bahwa perpanjangan tersebut menguntungkan bangsa dan negara Indonesia untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bukan hanya keuntungan PT Freeport semata. Selama ini, eksistensi PT Freeport di Indonesia dianggap tidak memberikan keuntungan yang maksimal bagi Indonesia dan sesungguhnya akan lebih bermanfaat apabila komponen bangsa Indonesia-lah yang mengelolanya.
Menalar Menteri Sudirman Said
Di awal September 2015, Pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Menteri ESDM) seolah memberi angin surga kepada PT Freeport dengan melakukan upaya penataan regulasi yang dianggap menghalangi keberlanjutan usaha PT Freeport di Indonesia. Menteri ESDM mengusulkan perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara dalam Paket Kebijakan Ekonomi Tahap I, substansi yang diusulkan oleh Menteri ESDM yaitu perpanjangan KK PT Freeport melalui skema Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang permohonan perpanjangan KK menjadi IUPK dapat dilakukan 10 (sepuluh) tahun sebelum KK berakhir. Substansi lainnya yaitu degredasi pengaturan divestasi saham dari yang sebelumnya diatur dalam Peraturan Pemerintah menjadi diatur dalam Peraturan Menteri ESDM.
Selain itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) nomor 61/SJI/2015 tanggal 9 Oktober 2015 dengan judul “PT Freeport Indonesia dan Pemerintah Indonesia Menyepakati Kelanjutan Operasi Komplek Pertambangan Grasberg Pasca 2012” dalam siaran pers tersebut disampaikan bahwa PT Freeport Indonesia (PTFI) dan Pemerintah Indonesia telah menyepakati operasi jangka panjang dan rencana investasi PTFI. Bahkan melalui suray Menteri ESDM nomor 7522/13/MEM/2015 tanggal 7 Oktober 2015 kepada James R Moffat, Chairman of Board Freeport McMorran Inc, Menteri ESDM berjanji akan segera menyelesaikan penataan ulang regulasi bidang mineral dan batubara agar PT Freeport dapat segera memajukan permohonan perpanjangan operasi pertambangan dan perpanjangan operasi pertambangan akan segara diberikan segera setalah hasil penataan peraturan dan perundangan di bidang mineral dan batubara diimpelementasikan. Entah apa yang ada dipikiran Sudirman Said sebagai Menteri ESDM yang terlihat sangat lemah terhadap PT Freeport? Padahal kebijakannya yang akan dikeluarkannya menyangkut kepentingan seluruh bangsa dan negara ini. Wajar saja apabila Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya ‘ngamuk-ngamuk’ melihat rencana kebijakan Menteri Sudirman Said karena langkah Sudirman Said memang perlu dirasionalisasi karena dianggap belum rasional.
Tentunya, KPK dan BPK harus turut dilibatkan dalam pembuatan kebijakan yang berpotensi merugikan keuangan negara karena potensi kerugian negara melalui penyelundupan kepentingan melalui pembentukan regulasi dapat saja terjadi di sektor sumber daya alam, khususnya pertambangan mineral dan batubara. Mungkin tidak ada prilaku koruptif, namun kebijakan yang menguntungkan pihak lain dan sangat merugikan negara, merupakan bentuk kesalahan yang bisa saja merupakan suatu perbuatan pidana.
PT Freeport ‘Bandel’?
Tambang Grasberg, Papua, merupakan kekayaan alam bangsa Indonesia yang semestinya dapat dikelola sendiri oleh Indonesia untuk mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945. Ada beberapa hal yang menjadi alasan mengapa Indonesia harus mengelola sendiri tambang Grasberg, Papua, yaitu: (1) sebagai tambang emas terbesar di dunia tentu secara ekonomi akan memberikan manfaat penerimaan negara yang besar bagi negara ini apabila dikelola langsung oleh bangsa Indonesia sendiri; (2) selama ini PT Freeport cenderung ‘bandel’ atas kebijakan pemerintah, misalnya mengenai kewajiban pemurnian di dalam negeri dan membangun smelter; (3) besaran royalti yang sulit untuk dinaikkan dari 1% ke 3.75% sebagaimana diatur dalam PP No. 9 tahun 2010 tentang PNBP di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral padahal sebagai pemilik sumber daya alam Indonesia harusnya bangsa Indonesia mendapat royalti tidak hanya 3.75% tetapi puluhan persen; (4) PT Freeport sulit mendivestasikan sahamnya kepada pemerintah dan BUMN sebagaimana perintah UU No. 4 Tahun 2009 dan diwajibkan Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) KK tidak dilaksanakan; (5) kebijakan pemerintah yang berusaha ‘membela’ kepentingan PT Freeport menjadi beban bagi pemerintah sendiri, misalnya mengenai perpanjangan ekspor konsentrat selama enam bulan oleh pemerintah melalui MOU kepada PT Freeport membuat Pemerintah harus digugat ke pengadilan karena dianggap melanggar peraturan perundang-undangan; (6) hasil tambang PT Freeport tidak memberikan nilai tambah bagi bangsa Indonesia secara maksimal misalnya untuk ketersediaan bahan baku industri dalam negeri; dan (7) PT Freeport sejak 2012-2014 tidak membayar dividen saham kepada Pemerintah sebagai pemegang 9.36% saham.
Indonesia Mampu Kelola Grasberg
Berbagai alasan tersebut memperkuat posisi pemerintah untuk mengelola sendiri Komplek tambang Grasberg peninggalan PT Freeport pada 2021 nanti. Adapun skema yang dapat dilakukan pemerintah, yaitu: pertama, pemerintah membentuk BUMN baru untuk melanjutkan operasi produksi tambang Grasberg. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Pemerintah dengan membentuk BUMN PT Inalum setelah Pemerintah memutus kontrak dan mengambil alih saham yang dimiliki pihak konsorsium peruhasaan Jepang pada 2013. Kedua, Pemerintah dapat menugaskan konsorsium atau holding BUMN baru yang terdiri atas PT Bukit Asam, PT Nikel, PT Antam, dan beberapa BUMN di bidang perbankan untuk mengelola tambang Grasberg. Ketiga, dengan skema pembelian saham divestasi PT Freeport sebagaimana yang diatur dalam Pasal 112 UU No.4/2009 bahwa pemegang KK harus mendivestasikan sahamnya kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, dan perusahaan swasta nasional. Kepemilikan saham pemerintah PT Freeport harus 51% sesuai dengan ketentuan dalam PP No. 1/2014. Sayangnya, dalam PP No. 77 Tahun 2014 kepemilikan saham 51% ini didegredasi menjadi 30%. Melalui saham mayoritas maka akan terjadi peralihan kepemilikan dan peralihan keuntungan dari PT Freeport kepada pemerintah Indonesia. Pilihan ketiga tersebut, bukanlah pilihan yang ideal karena saham divestasi yang akan dibeli oleh pemerintah tentunya memerlukan dana yang sangat besar dan akan membebani APBN. Sehingga upaya menunggu tahun 2021 ketika berakhirnya KK PT Freeport dan atas KK tersebut tidak diperpanjang dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan (IUP) serta memberikan Izin Usaha Pertambangan Khusus kepada BUMN tentunya menjadi pilihan terbaik agar dapat mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Secara prosedural, perpanjangan KK menjadi IUPK harus dilakukan sesuai dengan tahapan yang ada dalam UU No.4 Tahun 2009. Sebagaimana diatur dalam Pasal 27 UU No. 4 Tahun 2009 bahwa wilayah yang dapat diusahakan dengan IUPK ialah WUPK. Sebelum menjadi WUPK suatu wilayah menjadi WPN terlebih dahulu. Penetapan WPN harus disetujui oleh DPR RI. Artinya sebelum adanya IUPK, maka wilayahnya merupakan WPN yang diubah menjadi WUPK. Selanjutnya, dalam Pasal 28 UU No. 4 Tahun 2009 diatur bahwa perubahan WPN menjadi WUPK harus mempertimbangkan: a. pemenuhan bahan baku industri dan energi dalam negeri; b. sumber devisa negara; c. kondisi wilayah didasarkan pada keterbatasan sarana dan prasarana; d. berpotensi untuk dikembangkan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi; e. daya dukung lingkungan; dan/atau e. penggunaan teknologi tinggi dan modal investasi yang besar. Sayangnya, ketentuan ini disimpangi oleh PP No.77 Tahun 2014 (Pasal 112C) yang mengatur bahwa kepada KK dapat langsung diberikan IUPK, padahal aturan ini tidak sesuai dengan aturan induknya yaitu Pasal 27 UU No. 4 Tahun 2009.
Pada kenyataannya, Menteri ESDM mewacanakan akan memberikan perpanjangan KK PTFI dengan skema IUPK. Padahal pemberian IUPK mengandung konsekuensi yuridis, yaitu wilayahnya harus di-WPN kan terselebih dahulu, kemudian diubah menjadi WUP. Pengusahaan IUPK pun dalam UU No. 4 Tahun 2009 diberikan prioritas kepada BUMN. Pemberian ‘ujug-ujug’ PTFI melalui skema IUPK maka terdapat beberapa potensi pelanggaran hukum yang akan dilakukan oleh Pemerintah.
Saat ini tahun 2015, tahun 2021 saat PT Freeport berakhir KK-nya telah semakin dekat. Pemerintah harus telah menyiapkan rencana kebijakan sejak saat ini karena apabila pemerintah salah menentukan kebijakan maka akan menjadi warisan penderitaan bagi bangsa dan negara. Perlu juga dihindari upaya-upaya perubahan peraturan perundang-undangan yang sudah baik saat ini untuk kemudian diubah demi menguntungkan PT Freeport semata. Upaya penyelundupan kepentingan perusahaan dan merugikan kepentingan nasional melalui pengubahan peraturan perundang-undangan sangat berpotensi dilakukan oleh unit pemerintah yang memiliki tugas pokok dan fungsi pembentukan regulasi. Akhinya, bangsa Indonesia harus bersatu untuk menentukan bahwa tambang Grasberg milik bangsa Indonesia dan harus dikelola sendiri oleh bangsa Indonesia. “Tuan rumah tidak akan berunding dengan perampok yang merampok rumahnya” (Tan Malaka).
***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar