Blog ini merupakan publikasi pemikiran saya terhadap berbagai persoalan mengenai hukum dan kaitannya dengan masalah ekonomi, sosial, politik, budaya, serta filsafat. Materi dalam blog ini mungkin tampak sederhana, namun dari kesederhanaan inilah saya berupaya untuk dapat menulis secara aktif, substantif, dan filosofis dengan mengdepankan keorisinalitasan karya. Saya meyakini bahwa banyak keserdahanaan yang melahirkan karya-karya agung yang fenomenal dan monumental.
ASSALAMU'ALAIKUM WR.WB.
SELAMAT DATANG DI BLOG PEMIKIRANREDI
"MENAWARKAN PERSPEKTIF KRITIS MELALUI PERPADUAN FILSAFAT, TEORI, DAN DOGMATIKA"
Kamis, 22 September 2016
QUO VADIS KEBIJAKAN HILIRISASI MINERAL?
Telah tiga tahun sejak diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan yang memberikan izin ekspor raw metarial padahal sejak 12 Januari 2014 ekspor raw material ini dilarang oleh UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba (UU Minerba), nasib kewajiban pembangunan hilirisasi mineral masih tarsandera.
Padahal Peraturan Pemerintah yang dioperasionalisasikan dengan Peraturan Menteri ESDM No. 1 Tahun 2014 ini memberikan tambahan waktu kepada pelaku usaha selama tiga tahun, yang sebelumnya melalui Pasal 170 UU MINERBAbagi Kontrak Karya diberikan jangka waktu lima tahun sampai dengan 12 Januari 2014, serta lima tahun bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) hasil penyesuaian Kuasa Pertambangan dan Surat Izin Pertambangan Daerah yang terbit sebelum UU Minerba selama lima tahun sejak UU Minerba diundangakan sebagaimana diatur dalam Pasal 112 ayat (4) huruf c PP No 23 Tahun 2010 sebagaimana telah beberapa diganti terakhir dengan PP No. 77 Tahun 2014. Sudah hampir delapan tahun perusahaan pertambangan diberikan kesempatan, namun pelaksanaannya ibarat kauh panggang dari api.
Siapa yang salah? Pemerintah yang tidak becus melakukan pembinaan dan pengawasan selama delapan tahun ini kepada perusahaan sehingga kewajiban ini tidak dapat dijalankan? atau memang niat baik dari perusahaan yang tidak mau melakukan hilirisasi minetal yang merupakan mekanisme peningkatan nilai tambah prosuk tambang di dalam negeri?
Kebijakan hilirisasi melalui pengolahan dan/atau pemurnian di dalam negeri mineral tidak dapat dimaknai hanya sebatas larangan ekspor mineral mentah (raw metarial) atau hasil tambang olahan (konsentrat) yang bukan merupakan bisnis jual beli tanah air Indonesia, namun ia juga merupakan upaya melindungi sumber daya alam Indonesia di masa sekarang dan masa mendatang melalui mekanisme peningkatan nilai tambagng hasil tambang. Hal ini juga dipertegas oleh Mahkamah Konstutitusi dalam Putusan Nomor 10/PUU-XII/2014 yang menyatakan bahwa bahwa kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945 karena kewajiban ini secara langsung maupun tidak langsung memberikan manfaat sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Lalu bagaimana kepastian hukum apabaila hingga pemberian waktu tambahan sampai dengan 2017, pemegang KK dan IUP tidak mampu membangun smelter? Apakah akan terjadi permasalahan hukum sehingga berdampak pada masalah sosial, politik, dan ekonomi?
Konstruksi Hukum?
Ketentuan-ketentuan terkait kewajiban pengolahan dan/atau pemurnian mineral di dalam negeri, meliputi, pertama Pasal 102 dan Pasal 103 yang intinya mengatur bahwa Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib peningkatan nilai tambah melalui pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri. Kedua, Pasal 170 UU Minerba yang mengatur bahwa pemegang kontrak karya yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak UU Minerba ini diundangkan (12 Januari 2014).
Ketiga, Pasal 112 huruf a dan c PP No. 23 Tahun 2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba yang mengatur Kuasa pertambangan, surat izin pertambangan daerah, dan surat izin pertambangan rakyat, yang diberikan sebelum ditetapkannya PP No. 23 Tahun 2010 tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhir serta wajib disesuaikan menjadi IUP dan wajib melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) tahun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Keempat, Pasal 112C PP No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua PP No. 23 Tahun 2014 yang mengatur (1) Pemegang kontrak karya wajib melakukan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri; (2) Pemegang IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 angka 4 huruf a PP No. 23 Tahun 2010 (IUP hasil penyesuaian Kuasa pertambangan dan surat izin pertambangan daerah) wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri; (3) Pemegang kontrak karya yang melakukan kegiatan penambangan mineral logam dan telah melakukan kegiatan pemurnian, dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu; (4) Pemegang IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada angka 2 yang melakukan kegiatan penambangan mineral logam dan telah melakukan kegiatan pengolahan, dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu; (5) Ketentuan lebih lanjut Mengenai pelaksanaan pengolahan dan pemurnian serta batasan minimum pengolahan dan pemurnian diatur dengan Peraturan Menteri.
Akibat Hukum
Berbagai ketentuan di atas, melahirkan beberapa akibat hukum yaitu pertama, terdapat tiga subjek hukum yang dikenai kewajiban pengolahan dan/atau pemurnian di dalam negeri, yaitu: (1) Pemegang IUP/IUPK Operasi Produksi yang izinnya diterbitkan setelah UU Minerba (Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba); (2) Pemegang Kontrak Karya yang sudah berproduksi (Pasal 170 UU Minerba); dan (3) IUP hasil perubahan Kuasa pertambangan dan Surat Izin Pertambangan Daerah (Pasal 112 huruf a dan huruf c PP No. 23 Tahun 2010).
Kedua, terhadap tiga subjek hukum ini terdapat perlakuan hukum yang berbeda-beda: yaitu (1) Pemegang IUP/IUPK Operasi Produksi yang izinnya diterbitkan setelah UU Minerba maka ketika tahap operasi produksi kewajiban mengolah dan memurnikan di dalam negeri (Pasal 102 dan Pasal 103, serta Putusan MK No. 10/PUU-XII/2014); (2) Pemegang KK diwajibkan memurnikan hasil tambangnya di dalam negeri sejak 12 Januari 2014 (Pasal 170 UU Minerba); (3) Pemegang IUP hasil perubahan KP dan SIPD diwajibkan mengolah dan memunrikan hasil tambangnya di dalam negeri sejak 12 Januari 2014 (Pasal 112 huruf a dan huruf c PP No. 23 Tahun 2010). Ketiga, secara normatif, sejak 12 Januari 2014 tidak ada eskpor hasil tambang yang belum diolah dan dimurnikan (raw material) di dalam negeri.
Namun, melalui Peraturan Menteri ESDM No. 1 Tahun 2014 perusahaan pertambangan diberikan waktu sampai dengan 12 Januari 2014 untuk melakukan pengolahan dan/atau pemurnian di dalam negeri dan dikenai bea keluar sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6 /PMK.11/2014 yang telah diubah beberapa kali. Sehingga, apabila sampai 12 Januari 2017 tidak ada kepastian hukum mengenai kewajiban pengolahan dan/atau pemurnian maka akan ada kekosongan hukum. Tentu tidak hanya menjadi persoalan hukum, tetapi juga politik, sosial, dan ekonomi.
Pilihan Hukum
Pertama, tidak perlu lagi dibuatkan patung hukum baru. Artinya secara tegas dinyatakan bahwa setiap perusahaan pertambangan yang belum melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dengan membangun smelter maka dilarang mengekspor hasil tambangnya. Ketentuan UU Minerba ditegakkan sebagaimana mestinya. Kelebihan pilihan hukum ini ialah konsistensi Pemerintah terhadap hukumnya ada. Pemerintah taat terhadap UU Minerba sehingga kedauakatan hukum terjaga. Namun, kelemahannya ialah maka akan terjadi stop produksi besar-besaran yang akan mempengaruhi penerimanan negara, lay off besar-besaran tenega kerja, serta ancamana arbitrase dari pemegang Kontrak Karya yang tidak puas dengan kebijakan larangan ekspor ini.
Kedua, Perubahan Keempat Peraturan Pemerintah PP No. 23 Tahun 2010. Kelebihan pilihan hukum ini yaitu Peraturan Pemerintah dapat dibentuk secara cepat dan taktis karena merupakan kewenangan mutlak Presiden secara atributif (Pasal 5 ayat (2) UUD 1945). Selain itu, Peraturan Pemerintah dapat memberikan kepastian hukum tentang kebutuhan hukum yang perlu diatur. Kepastian hukum ini akan terus berlanjut selama ketentuannya tidak dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Namun, kelemahannya yaitu apabila pengaturannya berbeda dengan UU Minerba, akan rentan diuji materiil ke Mahkamah Agung karena dapat secara kasat mata dianggap bertentangan dengan UU Minerba. Selain itu juga, bahwa pengaturan dalam UU Minerba sudah sangat jelas dan tidak dapat ditafsirkan lain bahwa setelah 12 Januari 2014 semua pemegang KK dan IUP (hasil penyesuaian KP dan SIPD) wajib melakukan pengolahan dan/atau pemurnian di dalam negeri serta bagi pemegang IUP/IUPK Operasi Produksi yang diterbitkan setelah UU Minerba harus melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri ketika tahap operasi produksi. Artinya apabila diterbitkan PP yang mengatur berbeda dari ketentuan itu, maka dapat dianggap bertentangan dengan UU Minerba. Kelemahan lainnya yaitu saat ini melalui PP No. 1 Tahun 2014 dan Peraturan Menteri ESDM No. 1 Tahun 2014 yang memberikan waktu tambahan pembangunan smelter sampai dengan 2017, DPR RI dan masyarakat pertambangan menganggap Pemerintah melanggar hukum, sehingga ketika diterbitkan PP baru maka akan menimbulkan gejolak politik dan sosial baru yang cenderung membahayakan Presiden karena akan dianggap kembali melanggar UU Minerba.
Ketiga, Perubahan UU Minerba. Kelebihan pilihan hukum ini yaitu dapat mendesain ulang pengaturan kewajiban pengolahan dan/atau pemurnian di dalam negeri karena perubahan UU memiliki tingkat akobrasi yang tinggi dan luas. Apabila Pemerintah dan DPR ingin memberikan relaksasi dengan jangka waktu tertentu serta pembebanan kewajiban baru misal pengenaan bea keluar maka itu telah sesuai sebagai materi muatan undang-undang.Risiko politik dan sosial pun cenderung lebih ringan karena disepakati secara politik dan hukum di DPR RI. Perubahan UU Minerba pun dapat pula menyelesaikan hal-hal yang saat ini menjadi masalah yaitu: persoalan konflik norma dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda, pelaksanaan putusan MK, serta pemenuhan kebutuhan hukum baru, misal mengenai perizinan batuan, kewenangan pengawasan. Namun, opsi ini juga memiliki kekurangan yaitu waktu pembentukan yang lama dan berbelit-belit sehingga tidak ada jaminan untuk secara cepat menjawab persoalan Januari 2017.
Keempat, pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Kelebihan opsi ini ialah pembentukan Perppu merupakan hak preogratif Presiden. Materi muatannya pun sama seperti undang-undang sehingga akrobasi pengaturannya pun sangat luas sehingga melalui Perppu dapat memberikan kepastian hukum dan mencegah gejolak hukum pada Januari 2017. Perppu pun dapat pula menyelesaikan hal-hal yang saat ini menjadi masalah yaitu: persoalan konflik norma dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda, pelaksanaan putusan MK, serta pemenuhan kebutuhan hukum baru, misal mengenai perizinan batuan. Namun, kelemahannya antara lain Perppu dibentuk karena adanya “Kegentingan Memaksa” sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUD 1945 sehigga perlu argumentasi hukum yang kuat didukung data-data teknik dan ekonomi agar “kegentingan memaksa” dapat dibenarkan. Selain itu, Perppu harus disampaikan ke DPR RI untuk mendapatkan persetujuan. Hal ini dapat menjadi komodifikasi politik untuk melemahkan Presiden.
Akhirnya, silahkan Pemerintah memilih berbagai aternatif pilihan hukum di atas. Namun, prinsip bahwa kewajiban pengoahan dan pemurnian di dalam negeri merupakan bentuk peningkatan nilai tambah bagi mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Semoga, potensi kekacauan pada 12 Januari 2014 dapat segera dicarikan solusi hukumnya.
Minggu, 28 Agustus 2016
POLEMIK IZIN EKSPOR PT FREEPORT
Polemik status kewarganegaraan Arcandra Tahar, menimbulkan polemik pula terkait kebijakan pemberian rekomendasi ekspor mineral kepada PT Freeport Indonesia. Rekomendasi ekspor mineral kepada PT Freeport oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) atas nama Menteri ESDM pada tanggal 9 Agustus 2016 menyulut polemik di masyarakat.
Surat rekomendasi ini dianggap sebagian pihak penuh dengan kepentingan PT Freeport sehingga penerbitannya di era Arcandra Tahar pada saat menjadi Menteri ESDM selama dua puluh hari menambah bumbu-bumbu kekisruhan pengangkatan Achandra sebagai Menteri ESDM. Bahkan untuk mengamankan posisi Arcandra sebagai Menteri ESDM dua puluh hari saat itu, beredar di media pernyataan Luhut Binsar Panjaitan yang akan mem-buldozer setiap orang yang mengganggu Arcandra, selain pula penyataan Luhut bahwa surat rekomendasi ekspor kepada PT Freeport ditandatangani oleh Menteri ESDM pada saat dijabat oleh Sudirman Said.
Muara Polemik
Muara polemik rekomendasi ekspor konsentrat ini bermula dari adanya pengaturan yang visioner dan sangat merah putih dalam UU No. 4 Tahun 2009 tetang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), khususnya dalam Pasal 170 UU Minerba yang mengatur bahwa pemegang kontrak karya yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan. Kewajiban pemurnian bagi PTFI ini dimaksudkan antara lain untuk mengoptimalkan nilai tambah produk, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan nilai tambah di dalam negeri. Melalui kewajiban pemurnian mineral ini, mineral dari Indonesia tidak diangkut mentah-mentah berupa ore atau konsentrat ke luar negeri.
Kenyataannya, ketika pada tahun 2014 atau lima tahun setelah UU Minerba diterbitkan PT Freeport belum dapat memurnikan seluruh hasil tambangnya sebelum diekspor belum juga melakukannya. PT Freeport belum membangun fasilitas pemurnian di dalam negeri untuk memurnikan hasil tambangnya. Padahal UU Minerba telah memberikan waktu lima tahun agar PT Freeport membangun fasilitas ini sejak 2009.
Celakanya, Januari 2014 harus ada kepastian hukum agar Pasal 170 UU Minerba dilaksanakan padahal PT Freeport dkk, termasuk pemegang izin usaha pertambangan, belum menyelesaikan pembangunan fasilitas pemurnian baik secara sendiri maupun bekerja sama. Pemerintah saat itu menerbitkan PP No. 1 Tahun 2014 yang intinya mempertegas bunyi Pasal 170 UU Minerba. Namun, melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 PT Freeport diberi jangka waktu sampai 2017 untuk tetap mengekspor mineral dengan catatan 2017 harus telah selesai membangun smelter dengan harus membayar bea keluar dengan kisaran antara 20 persen sampai dengan 25 persen dari 12 Januari-31 Desember 2014, 30 persen sampai dengan 40 persen dari 1 Januari 2015-31 Desember 2015, 50 persen sampai dengan 60 persen dari 1 Januari 2016-31 Desember 2017 sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6 Tahun 2014, namun Peraturan Menteri Keuangan ini diubah dengan Peraturan Menteri Nomor 153 Tahun 2014 yang besaran bea keluarnya paling banyak sebesar 7.5 persen.
Sebagai pedoman pemberian izin ekspor mineral yang belum dimurnikan maka Menteri ESDM saat itu menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pemberian dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Penjualan Mineral ke Luar Negari Hasil Pengolahan dan Pemurnian. Peraturan Menteri ini mengatur mengenai tata cara permohonan rekomendasi kepada Menteri ESDM, persyaratan, rencana pembangunan smelter, jaminan kesungguhan, dan evaluasi oleh Menteri ESDM atas perkembangan pembangunan smleter. Dalam Peraturan Menteri ESDM ini, PT Freeport diharuskan membayar jaminan kesungguhan sebesar lima persen dari nilai investasi baru atau lima persen dari sisa nilai investasi yang belum terealisasi bagi pembangunan fasilitas pemurnian yang sudah berjalan.
Melalui jaminan kesungguhan ini, diharapkan PT Freeport akan membangun smelter. Dalam Pertaruran inilah, surat rekomendasi ekspor kepada PT Freeport, termasuk PT Newmont dan lain-lain, muncul. Rekomendasi ekspor diberikan setiap enam bulan oleh Dirjen Mineran atas nama Menteri ESDM. Maksud pemberian rekomendasi tiap enam bulan ini untuk mengevaluasi perkembangan pembangunan smelter tiap enam bulan sekali sebelum diberikan perpanjangan enam bulan berikutnya.
Dalam Pasal 14 Permen ESDM No. 11 Tahun 2014 diatur bahwa perpanjangan permohonan untuk enam bulan selanjutnya dapat diberikan apabila pemegang kontrak karya, dalam hal ini PT Freeport, telah memenuhi paling sedikit 60 persen pembangunan smleter dari target setiap enam bulan. Sayangnya, melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2016 yang mengubah Peraturan Menteri Nomor 11 Tahun 2014, ketentuan pemenuhan paling sedikit 60 persen ini diganti menjadi berapapun target yang dipenuhi, perpanjangan ekspor dapat tetap diberikan oleh Dirjen Minerba atas nama Menteri ESDM.
Persoalan Hukum
Terdapat persoalan hukum dalam pemberian rekomendasi ekspor mineral kepada PT Freeport, yaitu, pertama, pemberian ekspor kepada PT Freeport menyimpangi Pasal 170 UU Minerba yang melarang mineral yang belum dimurnikan di dalam negeri, diekspor. Ekspor mineral secara terus menerus pasca 12 Januari 2014 (lima tahun sejak UU Minerba diterbitkan) ini merupakan bentuk pelecehan PT Freeport pada UU Minerba.
Kedua, penerbitan rekomendasi ekspor kepada PT Freeport telah ada sejak masa Menteri ESDM Jero wacik yang menerbitkan Permen ESDM No. 11 Tahun 2014 yang berimplikasi pada penerbitan rekomendasi ekspor mineral kepada PT Freeport. Ketiga, tidak hanya PT Freeport yang menyimpangi kewajiban dalam Pasal 170 UU Minerba dengan tidak terbangunnya fasilitas pemurnian mineral di dalam negeri, namun Pemerintah saat itu yaitu pada tahun 2009-2014 juga tidak melakukan pembinaan dan pengawasan agar PT Freeport membangun smelter sebelum 12 Januari 2014. Akhirnya permasalahan tiadanya pembinaan dan pengawasan kepada PT Freeport menyisahkan persoalan pada Pemerintah setelah 2014.
Keempat, Pemerintah saat ini dapat dianggap pula menyimpangi UU Minerba karena tidak dapat memaksa PT Freeport untuk melakukan pemurnian di dalam negeri atas mineralnya. Kelima, Pemerintah terlalu memberikan kemudahan kepada PT Freeport untuk dapat terus melakukan ekspor mineral yang belum dimurnikan, padahal langkah ini mempersulit Pemerintah karena harus terus menerus menyimpangi UU Minerba dan diprotes oleh DPR, termasuk masyarakat luas.
Langkah Tegas
Sebagai negara hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, mau tidak mau, suka tidak suka, Pemerintah harus konsisten dengan UU Minerba. Pasal 170 UU Minerba harus ditegakkan sebagaimana mestinya. Pemerintah harus menghetikan memberikan rekomendasi dan izin ekspor kepada PT Freeport selama PT Freeport belum membangun smelter. Substansi kewajiban mengolah dan/atau memurnikan di dalam negeri atas mineral sesungguhnya pernah diajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi dalam perkara nomor 10/PUU-XII/2014 Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 102 dan Pasal 103 mengenai kewajiban pengolahan dan/atau permunian mineral bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan/Izin Usaha Pertambangan Khusus tidak bertentangan dengan UUD 1945. Walau subjek hukumnya berbeda, yaitu kepada pemegang IUP/IUPK, namun Pasal 170 yang memiliki kesamaan norma namun subjeknya pemegang Kontrak Karya, sehingga secara substansional kewajiban Pasal 170 pun dapat dianggap sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Akhirnya, PT Freeport harus memiliki ittikad baik untuk melaksanakan aturan hukum nasional Indonesia sebagaimana mestinya, apalagi dalam Kontrak Karya PT Freeport dinyatakan bahwa PT Freeport akan menaati undang-undang Indonesia from time to time, dari waktu ke waktu. Kekayaan alam Indonesia ini harus memberikan sebesar-besar kemakmuran bagi rakyat Indonesia, salah satunya melalui pengolahan dan pemurnian hasil tambang PT Freeport di dalam negeri. PT Freeport harus menghargai hukum Indonesia dan sebagai investor yang baik jangan hanya ingin untungnya dan maunya sendiri. Sumber daya alam Indonesia harus memberikan sebesar-besar kemakmuran bagi rakyat Indonesia.
---
GADUH STATUS KEWARGANEGARAAN MENTERI ESDM
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar (AT) dipastikan mengantongi paspor Amerika Serikat (AS) yang otomatis berstatus kewarganegaraan AS. Demikian yang disampaikan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly Senin, 15 Agustus 2016. Kepastian status kewearganegaraan ini menjadikan kegaduhan baru yang terjadi setelah ditetapkannya AT sebagai Menteri ESDM. Kegaduhan pertama yaitu terkait diberikan izin ekspor konsentrat mineral kepada PT Freeport yang sesungguhnya pemberian izin ini bertentangan dengan Pasal 170 UU Minerba yang melarang ekspor mineral yang belum diolah dan/atau dimurnikan di dalam negeri. Kedua, isu kewarganegaraan asing Menteri AT.
Terkait isu kedua maka paling tidak terdapat lima persoalan yang dapat menjadi catatan yang akan menjadi kegaduhan hukum, yaitu, pertama, UU 12/2006 tentang Kewarganegaraan mengatur bahwa WNI yang menjadi WNA maka status kewarganegaraanya hilang. Hal ini, tepatnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a dan huruf b UU 12/2006 bahwa WNI kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan: (a) memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri; dan (b) tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan yang bersangkutan mendapatkan kesempatan itu. Bila memang Menteri Arcandra Tahar pernah mendapatkan kewarganegaraan asing maka secara otomatis ia telah kehilangan WNI-nya.
Dalam UU 12/2006 memang tidak diatur mengenai bagaimana proses kehilangan status kewarganegaraan itu, apakah melalui suatu penetapan pengadilan atau suatu penetapan dari Presiden atau dari Menteri Hukum dan HAM. Terkait perlu atau tidaknya penetapan kehilangan kewarganegaraan dari Pejabat Indonesia, maka menurut Penulis hal itu tidak perlu penetapan lagi. Mengingat, subjek hukum yang akan ditetapkan kehilangan kewarganegaraan secara hukum bukan lagi subjek hukum yang sah karena yang bersangkutan telah menjadi WNA. Artinya kewenangan penetapan kehilangan kewarganegaraan seseorang WNA tidak dapat lagi menjadi kewenangan dari Menteri Hukum dan HAM. Selain itu, secara praktis
Kedua, bila yang bersangkutan telah menjadi WNA dan atas ke-WNA-annya ia tetap memiliki paspor atau mengajukan perpanjangan paspor maka perbuatan hukum tersebut dapat diduga sebagai tindakan pidana kewarganegaraan sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UU 12/2006 bahwa setiap orang dilarang memberikan keterangan palsu, membuat surat/dokumen palsu untuk memperoleh kewarganegaraan Indonesia. Sebagai akibat kehilangan ke-WNI-an maka segala dokumen ke-WNI-an seseorang secara otomatis hapus atau tidak berlaku seketika sejak yang bersangkutan menerima kewarganegaraan asing. Mengingat Indonesia menganut prinsip kewarganegaraan tunggal.
Ketiga, dalam UU No. 39/2008 tentang Kementerian Negara diatur bahwa untuk dapat diangkat menjadi menteri, seseorang harus memenuni persyaratan sebagai WNI (Pasal 22 ayat (2) huruf a). Artinya bila Menteri Achandra Tahar terbukti memiliki kewarganegaraan asing maka statusnya sebagai menteri pun tidak berlaku dan dianggap tidak pernah ada. Akibatnya maka setiap kebijakan yang dibuatnya harus dianggap tidak pernah ada karena kebijakan itu dibuat oleh seseorang yang tidak berwenang.
Keempat, untuk menjadi eselon 1 di Kementerian/lembaga, keterlibatan Badan Intelejen Negara saja ada, lalu apakah dalam pemilihan seorang menteri yang notabenenya atasan eselon 1 BIN tidak dilibatkan? Mengingat informasi intelenjen tidak hanya menyangkut status kewarganegraan yang bersangkutan, namun lebih dari itu terakit pula track record yang bersakutan selama ini. Seharusnya BIN pasti dilibatkan. Bila akhirnya, ternyata tidak melalui penelusuran intelejen maka ini merupakan bentuk kelalaian yang semestinya tidak teejadi karena isu kewargangeraan bukan hanya isu larangan kewarganegaraan ganda bagi WNI namun ini juga menyangkut isu ketahanan nasional.
Kelima, Arcandra Tahar ditetapkan menjadi Menteri ESDM yang sesungguhnya Kementerian ini erat kaitannya dengan isu kepentingan strategis nasional, di dalamnya ada kepentingan nasionalisme. ESDM erat kaitannya dengan cita hukum kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sebagaimana ada dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Tentu sangat mengkhawatirkan apabila sektor ini tidak dikelola oleh seorang Menteri yang jiwanya tidak "Merah Putih" atau diragukan "Merah Putihnya" apalagi dikelola oleh seseorang yang status ke-WNI-annya dipertanyakan. Terlebih bahwa isu kewarganegaraan asingnya yang bersangkutan yaitu Amerika Serikat yang kepentingan eksploitasi sumber daya alam Indonesia sangat besar-besaran.
Akhirnya, istana dan Menteri Arcandra Tahar harus segera merespon. Semakin lama respon dari istana dan dari Menteri Arcandra Tahar maka makin menguatkan dugaan publik mengenai kewarganegaraan ganda Arcandra Tahar. Tentu apabila isu itu tidak benar, pasti yang bersangkutan akan segera merespon karena ini menyangkut fitnah dan pencemaran nama baik.
Semoga, isu ini salah dan sektor ESDM dapat dikelola oleh WNI tang tidak diragukan posisi berdirinya yaitu penyelenggaraan ESDM untuk sebesar-bedar kemakmuran rakyat Indonesia.
HAK DISKRESI AHOK
Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi saksi dalam persidangan di PN Tipikor Jakarta pada 25 Juli 2016 atas terdakwa Ariesman, Presiden Direktur Agung Podomoro Land, yang didakwa atas pemberian uang Rp 2 miliar kepada mantan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, Mohamad Sanusi. Dalam kesaksiannya, setidaknya terdapat dua poin besar yang disampaikan Ahok di PN Tipikor yaitu: (1) bahwa pelaksanaan reklamasi di Pantai Utara Jakarta didasari oleh Keppres No. 52 Tahun 1995 tentang Pengembangan Pantai Utara Jakarta; dan (2) Ahok melakukan diskresi untuk menentukan angka kontribusi tambahan sebesar 15% kepada para pengembang dalam pengerjaan proyek reklamasi.
Alibi Keppres No.52/1995
Dasar pelaksanaan reklamasi pantai utara Jakarta ada dalam beberapa peraturan, antara lain UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah dalam UU No. 1 Tahun 2014 UU, P No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Perpres No.54 tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur, dan Peraturan Presiden No.122 Tahun 2012 tentang Reklamasi Di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Berdasarkan ketentuan di atas, beberapa poin penting, yaitu, pertama, bahwa berdasarkan PP No. 26 Tahun 2008, kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur (Jabodetabekpunjur) ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional. Penetapan ini dioperasionalisikan dalam Perpres No. 54/2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur.
Konsekuensi penetapan DKI Jakarta sebagai Kawasan Strategis Nasional maka berdasarkan Pasal 16 ayat (2) Perpres No. 112/2012 kewenangan pemberian izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi pada Kawasan Strategis Nasional Tertentu, berada dalam kewenangan Menteri Kelautan dan Perikanan (Menteri KKP), sedangkan kewenangan Gubernur yaitu pada pemberian pertimbangan atas izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi yang diajukan ke Menteri KKP. (Pasal 16 ayat (3).
Selanjutnya, pelaksanaan reklamasi harus dilakukan berdasarkan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K). RZWP-3-K ini ditetapkan dalam Perda. Artinya harus ada RZWP-3-K yang ditetapkan dalam Perda baru kemudian diterbitkan izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi. Namun, hingga saat ini Pemrop DKI Jakarta belum memiliki Perda tentang RZWP-3-K, di sisi lain pelaksanaan reklamasi telah dilakukan. Dugaan suap dalam pe,bahasan Rancangan Perda inilah yang membuat Mohamad Sanusi dimeja-hijaukan oleh KPK. Dengan demikian, secara hukum pelaksanaan reklamasi pantai utara hingga saat ini belum memiliki payung hukum.
Bahkan PTUN Jakarta melalui Putusan Nomor 193/G/LH/2015/PTUN-JKT dalam sengketa reklamasi Pulau G memerintakan Ahok untuk mencabut Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G Kepada PT MWS.
Kedua, Ahok berpendapat bahwa dasar hukum pelaksanaan reklamasi sangat kuat yaitu sesuai Kepres 52/1995. Secara normatif, dalam Pasal 70 huruf c Perpres No.54/2008 dinyatakan bahwa Kepres No. 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti dengan peraturan pelaksanaan baru. Pertanyaannya apakah Kepres No. 52/1995 bertentangan dengan Perpres 54/2008 dan Perpres No.112/2012 sehingga Kepres No. 52/1995 yang menjadi dasar hukum bagi Ahok melaksanakan reklamasi di Pantai Utara Jakarta dinyatakan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan? Dalam Pasal Kepres No. 52/1995 diatur bahwa wewenang dan tanggung jawab Reklamasi Pantura berada pada Gubernur DKI Jakarta, namun berdasarkan Pasal 16 Perpres 112/2012, kewenangan perizinan lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi di Jakarta berada dalam kewenangan Menteri KKP.
Artinya jelas bahwa dasar hukum yang digunakan oleh Ahok yaitu Perpres 52/1995 yang menjadi dasar kwenangannya untuk menerbitkan izin pelaksanaan reklamasi kepada beberapa pengembang tidak sesuai dengan Perpres 112/2012 dan Perpres No. 54/2008, sehingga secara legal drafting dasar hukum yang digunakan oleh Ahok, yaitu Kepres No.52/1995 telah ‘terbunuh’ oleh Perpres No.112/2012 dan Perpres No. 54/2008. Selain itu, ada asas dalam hukum yaitu asas lex posterior derogat legi priori yang menyatakan bahwa hukum yang terbaru (Perpres 54/2008 dan Perpres 112/2012) mengesampingkan hukum yang lama (Kepres 52/1995).
Diskresi Ahok
Diskresi diatur dalam UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Dikresi dilakukan bertujuan untuk: melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum, dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Adapun persyaratan diskresi yaitu: sesuai dengan tujuan diskresi, tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik; berdasarkan alasan-alasan yang objektif, tidak menimbulkan Konflik Kepentingan, dan dilakukan dengan ittikad baik.
Lalu apakah diskresi yang dilakukan Ahok soal kontribusi tambahan sebesar 15% kepada pengembang sudah sesuai dengan rezim administrasi pemerintahan? Jawabannya ada dalam UU No. 30/2014 yang dapat mengkategorisasikan apakah tindakan Ahok itu merupakan diskresi atau penyalagunaan wewenang. Diskresi dapat dilakukan oleh pejabat pemerintahan yang memiliki hak untuk menggunakan kewenangan dalam mengambil keputusan dan/atau tindakan, termasuk hak menggunakan dikresi. Artinya diskresi harus dilakukan oleh seorang pejabat yang berwenang. Lalu apakah Ahok berwenang dalam menerapkan diskresi terhadap suatu tindakan yang bukan kewenangannya padahal jelas bahwa pelaksanaan reklamasi pantai untuk DKI Jakarta berada dalam kewenangan Menteri KKP bukan kewenangan Gubernur DKI Jakarta?
Tentu tindakan Ahok dapat berpotensi sebagai penyalahgunaan wewenang dan bukan merupakan tindakan diskresi. Penyelagunaan wewenang ialah tindakan (1) melampaui wewenang; (2) mencampuradukkan wewenang; dan/atau (3) bertindak sewenang-wenang. Dalam kasus Ahok, melampui wewenang mengacu pada tindakan dan/atau keputusan Ahok yang melampaui batas wilayah berlakunya wewenang yaitu seharusnya wewenang Menteri KKP namun oleh Ahok dijadikan kewenangannya tanpa dasar hukum. Selanjutnya, tindakan sewenang-wenang Ahok mengacu pada keputusan dan/atau tindakan yang dilakukannya tanpa dasar kewenangan.
Untuk itu, KPK harus jeli mana tindakan diskresi mana tindakan penyalagunaan wewenang yang dapat berujung pada sanksi administrasi atau bahkan tindakan pidana.
Alibi Keppres No.52/1995
Dasar pelaksanaan reklamasi pantai utara Jakarta ada dalam beberapa peraturan, antara lain UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah dalam UU No. 1 Tahun 2014 UU, P No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Perpres No.54 tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur, dan Peraturan Presiden No.122 Tahun 2012 tentang Reklamasi Di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Berdasarkan ketentuan di atas, beberapa poin penting, yaitu, pertama, bahwa berdasarkan PP No. 26 Tahun 2008, kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur (Jabodetabekpunjur) ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional. Penetapan ini dioperasionalisikan dalam Perpres No. 54/2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur.
Konsekuensi penetapan DKI Jakarta sebagai Kawasan Strategis Nasional maka berdasarkan Pasal 16 ayat (2) Perpres No. 112/2012 kewenangan pemberian izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi pada Kawasan Strategis Nasional Tertentu, berada dalam kewenangan Menteri Kelautan dan Perikanan (Menteri KKP), sedangkan kewenangan Gubernur yaitu pada pemberian pertimbangan atas izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi yang diajukan ke Menteri KKP. (Pasal 16 ayat (3).
Selanjutnya, pelaksanaan reklamasi harus dilakukan berdasarkan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K). RZWP-3-K ini ditetapkan dalam Perda. Artinya harus ada RZWP-3-K yang ditetapkan dalam Perda baru kemudian diterbitkan izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi. Namun, hingga saat ini Pemrop DKI Jakarta belum memiliki Perda tentang RZWP-3-K, di sisi lain pelaksanaan reklamasi telah dilakukan. Dugaan suap dalam pe,bahasan Rancangan Perda inilah yang membuat Mohamad Sanusi dimeja-hijaukan oleh KPK. Dengan demikian, secara hukum pelaksanaan reklamasi pantai utara hingga saat ini belum memiliki payung hukum.
Bahkan PTUN Jakarta melalui Putusan Nomor 193/G/LH/2015/PTUN-JKT dalam sengketa reklamasi Pulau G memerintakan Ahok untuk mencabut Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 2238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G Kepada PT MWS.
Kedua, Ahok berpendapat bahwa dasar hukum pelaksanaan reklamasi sangat kuat yaitu sesuai Kepres 52/1995. Secara normatif, dalam Pasal 70 huruf c Perpres No.54/2008 dinyatakan bahwa Kepres No. 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti dengan peraturan pelaksanaan baru. Pertanyaannya apakah Kepres No. 52/1995 bertentangan dengan Perpres 54/2008 dan Perpres No.112/2012 sehingga Kepres No. 52/1995 yang menjadi dasar hukum bagi Ahok melaksanakan reklamasi di Pantai Utara Jakarta dinyatakan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan? Dalam Pasal Kepres No. 52/1995 diatur bahwa wewenang dan tanggung jawab Reklamasi Pantura berada pada Gubernur DKI Jakarta, namun berdasarkan Pasal 16 Perpres 112/2012, kewenangan perizinan lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi di Jakarta berada dalam kewenangan Menteri KKP.
Artinya jelas bahwa dasar hukum yang digunakan oleh Ahok yaitu Perpres 52/1995 yang menjadi dasar kwenangannya untuk menerbitkan izin pelaksanaan reklamasi kepada beberapa pengembang tidak sesuai dengan Perpres 112/2012 dan Perpres No. 54/2008, sehingga secara legal drafting dasar hukum yang digunakan oleh Ahok, yaitu Kepres No.52/1995 telah ‘terbunuh’ oleh Perpres No.112/2012 dan Perpres No. 54/2008. Selain itu, ada asas dalam hukum yaitu asas lex posterior derogat legi priori yang menyatakan bahwa hukum yang terbaru (Perpres 54/2008 dan Perpres 112/2012) mengesampingkan hukum yang lama (Kepres 52/1995).
Diskresi Ahok
Diskresi diatur dalam UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Dikresi dilakukan bertujuan untuk: melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum, dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Adapun persyaratan diskresi yaitu: sesuai dengan tujuan diskresi, tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik; berdasarkan alasan-alasan yang objektif, tidak menimbulkan Konflik Kepentingan, dan dilakukan dengan ittikad baik.
Lalu apakah diskresi yang dilakukan Ahok soal kontribusi tambahan sebesar 15% kepada pengembang sudah sesuai dengan rezim administrasi pemerintahan? Jawabannya ada dalam UU No. 30/2014 yang dapat mengkategorisasikan apakah tindakan Ahok itu merupakan diskresi atau penyalagunaan wewenang. Diskresi dapat dilakukan oleh pejabat pemerintahan yang memiliki hak untuk menggunakan kewenangan dalam mengambil keputusan dan/atau tindakan, termasuk hak menggunakan dikresi. Artinya diskresi harus dilakukan oleh seorang pejabat yang berwenang. Lalu apakah Ahok berwenang dalam menerapkan diskresi terhadap suatu tindakan yang bukan kewenangannya padahal jelas bahwa pelaksanaan reklamasi pantai untuk DKI Jakarta berada dalam kewenangan Menteri KKP bukan kewenangan Gubernur DKI Jakarta?
Tentu tindakan Ahok dapat berpotensi sebagai penyalahgunaan wewenang dan bukan merupakan tindakan diskresi. Penyelagunaan wewenang ialah tindakan (1) melampaui wewenang; (2) mencampuradukkan wewenang; dan/atau (3) bertindak sewenang-wenang. Dalam kasus Ahok, melampui wewenang mengacu pada tindakan dan/atau keputusan Ahok yang melampaui batas wilayah berlakunya wewenang yaitu seharusnya wewenang Menteri KKP namun oleh Ahok dijadikan kewenangannya tanpa dasar hukum. Selanjutnya, tindakan sewenang-wenang Ahok mengacu pada keputusan dan/atau tindakan yang dilakukannya tanpa dasar kewenangan.
Untuk itu, KPK harus jeli mana tindakan diskresi mana tindakan penyalagunaan wewenang yang dapat berujung pada sanksi administrasi atau bahkan tindakan pidana.
Kamis, 14 Juli 2016
Akuisisi Terlarang Saham PT Newmont Nusa Tenggara?
Oleh:
Dr. Ahmad Redi, S.H.,M.H
Pengajar di FH Universitas Tarumanagara, Pengamat Hukum Sumber Daya Alam, Pegiat Hukum Konstitusi Ekonomi
PT Medco Energy Internasional (PT Medco) melakukan aksi korporasi bombastis pada medio 2016 ini dengan mengakuisisi saham PT Amman Mineral Internasional (AMI) yang mengendalikan 82,2% saham PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT) senilai US$2,6 miliar atau setara sekitar Rp.33,8 triliun. Aksi ini menjadi salah satu aksi korporasi terbesar di sektor pengusahaan pertambangan pada tahun 2016. PT AMI yang sahamnya dibeli oleh PT Medco sebelumnya telah melakukan pembelian saham Newmont Nusa Tenggara dari Newmont Mining Corporation, Sumitomo Corporation, PT Multi Daerah Bersaing, dan PT Indonesia Masbaga. Aksi korporasi PT Medco terhadap PT NNT melalui perantara PT AMI dapat menjadi persoalan dalam aspek hukum pertambangan mineral dan batubara dan dapat menjadi aksi akuisisi terlarang dalam rezim hukum pertambangan mineral dan batubara.
Persoalan hukum pertama, aksi korporasi tersebut melanggar ketentuan Pasal 112 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba yang mengatur bahwa setelah 5 (lima) tahun berproduksi, badan usaha pemegang izin usaha pertambangan (IUP) dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham atau penjualan saham asing pada Pemerintah, pemda, BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta nasional. Ketentuan ini dipertegas dalam PP No. 23 Tahun 2010 sebagimana telah diubah terakhir dengan PP No. 77 Tahun 2014 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba. Berdasarkan ketentuan UU Minerba maka PT NNT wajib melakukan penjualan sahamnya kepada peserta Indonesia secara berurutan yaitu kepada Pemerintah, pemda, BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta nasional. Faktanya, saham tersebut dibeli langsung oleh badan usaha swasta nasional tidak terlebih dahulu ditawarkan secara berjenjang sebagaimana diatur dalam UU Minerba dan peraturan pelaksanaannya.
Secara tekstual Pasal 112 sasaran normanya yaitu subjek hukum berupa pemegang IUP bukan pemegang Kontrak Karya (KK) sebagaimana PT NNT yang melakukan kegiatan usaha pertambangan dengan instrumen KK bukan IUP, namun dalam Pasal 169 huruf b UU Minerba dinyatakan bahwa ketentuan yang tercantum dalam pasal KK dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak UU Minerba diundangkan kecuali mengenai penerimaan negara. Artinya, secara yuridis normatif ketentuan Pasal 112 UU Minerba mengenai kewajiban divestasi saham secara operasional berlaku pula pada PT NNT. Walau sesungguhnya pelaksanaan Pasal 169 huruf b ini masih menjadi perdebata,. khususnya mengenai adanya asas pacta sunt servanda dalam kontrak. KK sebagai kontrak bersifat suci dan tidak bisa diubah tanpa adanya kespakatan kedua belah pihak. Perubahan kontrak harus dilakukan melalui renegosiasi untuk mengamendem kontrak dan memasukkan kewajiban-kewajiban baru sesuai UU Minerba.
Persoalan hukum kedua, kewajiban divestasi saham PT NNT tidak hanya tertuang dalam UU Minerba, namun ia juga disepakati dalam KK antara Pemerintah RI dengan PT NNT. Dalam Pasal 24 ayat (3) dan ayat (4) KK PT NNT dikenai kewajiban divetasi saham kepada peserta Indonesia sebesar 51% pada tahun ke-10 sejak PT NNT berproduksi (tahun 2010). Kewajiban ini bahkan dipertegas oleh putusan sidang arbitrase penyelesaian sengketa antara Pemerintah Indonesia dengan PT NNT atas pelanggaran PT NNT terhadap kewajiban divestasi saham. Sidang arbitrase dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 8 sampai dengan 13 Desember 2008 dan dilaksanakan dibawah prosedur arbitrase United Nation Commission on International Trade Law (UNCITRAL) dan pada tanggal 31 Maret 2009 Majelis Arbitrase (Arbitral Tribunal) mengeluarkan putusan akhir, yang pada pokoknya memenangkan Pemerintah Republik Indonesia dan menyatakan putusan sebagai berikut: (1) memerintahkan PT NNT untuk melaksanakan ketentuan Pasal 24 ayat (3) Kontrak Karya mengenai kewajiban divestasi saham; (2) menyatakan PT NNT telah melakukan default (pelanggaran perjanjian); dan (3) memerintahkan kepada PT NNT untuk melakukan divestasi 17% saham, yang terdiri dari divestasi tahun 2006 sebesar 3% dan tahun 2007 sebesar 7% kepada Pemerintah Daerah. Sedang untuk tahun 2008 sebesar 7%, kepada Pemerintah Republik Indonesia. Semua kewajiban di atas harus dilaksanakan dalam waktu 180 hari sesudah tanggal putusan Arbitrase. Berdasarkan kesepakatan dalam KK dan diperkuat dengan putusan majelis arbitrase internasional maka PT NNT harus mendivestasikan sahamnya kepada Pemerintah Indonesia.
Persoalan hukum ketiga, secara filosofis pengenaan kewajiban divestasi saham bagi perusahaan asing di Indonesia didasarkan pada pemikiran bahwa dengan adanya kepemilikan saham Pemerintah maka akan terjadi peralihan manfaat/keuntungan dan peralihan kendali atas sumber daya alam mineral Indonesia dari perusahaan asing ke Pemerintah Indonesia. Peralihan manfaat tersebut misalnya terakit dengan dividen karena saham Pemerintah mayoritas, dan hak-hak istimewa lainnya seperti jatah komisaris dan penentuan manajemen perusahaan. Sedangkan, peralihan kendali yaitu menyangkut adanya kepemilikan saham mayoritas oleh Pemerintah sehingga adanya jaminan kepatuhan atas antara lain kewajiban good mining practices, ketenagakerjaan, lingkungan hidup, royalti, perpajakan.
Kepemilikan saham oleh Pemerintah ini pun menurut Mahkamah Konstitusi merupakan pelaksanaan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 khususnya mengenai fungsi negara melakukan pengelolaan (beheersdaad) yang dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui mana negara c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan 3 pertimbangan di atas, maka secara hukum PT NNT hanya dapat menjual sahamnya kepada Pemerintah. Apabila Pemerintah tidak berminat, maka jatah penawaran selanjutnya harus ke pemda, apabila pemda pun tidak berminat maka harus ditawarkan ke BUMN, selanjutnya BUMD, terakhir badan usaha swasta nasional. Faktanya, PT NNT langsung menjual sahamnnya ke PT Medco. Menyedihkan lagi, pembiayaan yang didapat PT Medco berasal antara lain dari pembiayaan tiga BUMN. Padahal bila ingin berdiri dalam kepentingan nasional maka aksi korporasi pembelian saham mayoritas PT NNT dapat dilakukan langsung oleh BUMN tanpa melalui PT Medco. Toh, PT Medco pun mengakuisisi PT NNT melalui pembiayaan dari BUMN. Padahal dengan kepemilikan oleh BUMN, misalnya PT ANTAM, PT Bukit Asam, atau PT Nikel maka unsur penguasaan dan pengusahaan oleh negara dapat menjamin terselenggaranya sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai Pasal 33 ayat (3).
Tentu, secara yuridis-normatif dan filosofis aksi korporasi PT Medco dapat menjadi aksi korporasi yang terlarang karena merugikan kepentingan nasional termasuk kepentingan hukum. Sudah seharusnya BUMN pertambangan dijadikan instrumen utama dalam pembelian saham-saham perusahaan pertambangan yang dikenai kewajiban divestasi saham. Bukan sebaliknya, BUMN pertambangan hanya sebagai penonton, menyaksikan BUMN perbankan membiayai perusahaan lain bukan BUMN untuk mengusahakan kegiatan pertambangan minerba. Padahal, sumber daya alam Indonesia harus diselenggarakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bukan sebesar-besar kemakmuran kelompok-kelompok kecil pemilik akses dan/atau modal.
---
Selasa, 12 Juli 2016
ILUSI KESULITAN KEUANGAN PT FREEPORT INDONESIA
Oleh:
Dr. Ahmad Redi, S.H.,M.H
Pengamat Hukum Sumber Daya Alam,
Pengajar Fakultas Hukum Universitas TarumanAgara
Jumat, 5 Februari 2016, PT Freeport Indonesia (PTFI) menyampaikan surat ke Menteri Energi dan Sumber Daya Minaral mengenai permasalahan kesulitan keuangan PT FI. Surat PT FI tersebut menindaklanjuti permintaan Pemerintah agar PT FI membayar USD 530 juta sebagai jaminan pembangunan smelter hingga hingga saat ini belum diselesaikan oleh PTFI. Kewajiban pembangunan smelter ini merupakan buntut panjang dari ketentuan Pasal 170 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang mengatur bahwa setelah 5 (lima) tahun UU Minerba diundangkan maka seluruh pemegang Kontrak Karya wajib melakukan pemurnian di dalam negeri atas hasil tambangnya. Ketentuan tersebut dipergetas dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014. PTFI termasuk pihak yang dikenai kewajiban ini.
Secara hukum, sejak 12 Januari 2014 (lima tahun sejak UU Minerba diberlakukan) seharusnya PTFI tidak boleh lagi melakukan ekspor konsentrat yang belum dimurnikan di Indonesia. Namun, kenyataannya melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri, PTFI diberikan kesempatan ekspor konsentrat. Terkait PTFI, Peraturan Menteri ini mengadung substansi: (1) PT FI diberikan waktu paling lanbat 3 (tiga tahun) yaitu sampai 2017 untuk tetap dapat melakukan ekspor konsentrat; (2) PT FI tetap dapat melakukan ekspor konsentrat apabila berdasarkan evaluasi Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM memberikan rekomendasi untuk melakukan penjualan ke luar negeri untuk jangka waktu 6 (enam) bulan; dan (3) Setelah 2017 PTFI harus mengolah dan/atau memurnikan hasil tambangnya sesuai dengan batasan minimum tertentu.
PTFI telah diberikan izin ekspor melalui 2 (dua) kali Memorandum of Understanding (MoU) antara Kementerian ESDM dengan PTFI, yaitu MoU pada 25 Juli 2014 dan MoU 23 Januari 2015 serta rekomendasi dari Kementerian ESDM pada Juli 2015 untuk enam bulan ekspor sampai dengan 28 Januari 2016. Kenyataannya, hingga saat ini PTFI baru menyelesaikan progress pembangunan smelter sekitar 14 persen. Padahal seharusnya PTFI telah menyelesaikan progress pembangunan 60 persen agar pada tahun 2017 PT FI telah memiliki smelter sesuai dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014.
Adakah Itikad Baik PT FI?
Setelah lima tahun diberikan waktu oleh UU Minerba yaitu dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2014, diberikan lagi waktu melalui dua kali MoU masing-masing enam bulan, serta sekali surat rekomendasi dari Kementerian ESDM selama enam bulan kembali agar PTFI tetap dapat mengekspor konsentrat untuk dimurnikan di luar negeri seperti Spanyol dan Jepang, apakah upaya baik Pemerintah Indonesia harus diingkari dengan terus menempatkan Pemerintah Indonesia di posisi sulit? Secara hukum, Pemeritah dapat saja dianggap melanggar UU Minerba yang mangatur bahwa setelah 12 Januari 2014 tidak ada lagi eskpor ore/konsentrat dari Indonesia yang belum diolah dan/atau dimurnikan di Indonesia.
Segala dalil hukum yang disampaikan oleh PTFI yang seolah mendudukan Kontrak Karyanya di atas segala perundang-undangan Indonesia. Dalil bahwa Kontrak Karya merupakan undang-undang bagi para pihak sehingga harus ditaati oleh para pihak (asas pacta sunt servanda) karena kontrak itu suci (asas sanctity of contract) menjadi dalil sacral yang terus didengung-dengungkan. Padahal apabila membaca kembali Pasal 10 ayat 4 dan ayat 5 Kontrak Karya PTFI bahwa terdapat kesepakatan: (1) PT FI harus mengolah bijih untuk menghasilkan logam atau produk lain; (2) Untuk tujuan pengolahan bijih tersebut, PTFI harus menyusun atau mengusahakan untuk disusun Studi Kelayakan mengenai kemungkinan didirikannya pabrik peleburan di Indonesia yang harus tunduk pada pengamatan Pemerintah dan penilaian bersama oleh Pemerintah dan PT FI mengenai kelayakan ekonomi pabrik peleburan tersebut; (3) Pabrik peleburan harus berlokasi di Indonesia dan harus pula menguntungkan secara ekonomi; dan (4) Apabila pabrik peleburan tersebut dibangun oleh perusahaan atau subsidiari yang seluruh sahamnya dimiliki perusahaan, pabrik peleburan tersebut akan merupakan satu bagian dari pengusahaan berdasarkan KK.
Selain itu, dalam KK dinyatakan pula bahwa PTFI menyadari kebijakan Pemerintah ingi mendorong pengolahan di dalam negeri atas semua kekayaan alamnya untuk menjadi produk-produk akhir, apabila layak, PTFI juga menyadari keinginan Pemerintah agar pabrik peleburan dan pemurnian didirikan di Indonesia. Dalam Pasal 10 ayat 5 KK juga dinyatakan bahwa apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak ditandatangani KK fasilitas peleburan dan pemurnian yang berlokasi di Indonesia belum dibangun atau tidak dalam proses untuk dibangun oleh badan lain, maka PT FI tunduk kepada penilaian bersama oleh Pemerintah dan PT FI atas kelayakan ekonomi dari suatu pabrik peleburan dan pemurnian tembaga di Indonesia sesuai dengan dengan kebijakan Pemerintah.
Jelas bahwa dalam ketentuan Pasal 10 KK tersebut mengadung kewajiban bagi PTFI untuk membangun pabrik peleburan dan pemurnian di Indonesia. Bahkan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak KK ditandatangani belum terbangun fasilitas peleburan dan pemurnian di Indonesia, maka PTFI tunduk pada kebijakan pemerintah. Bila Pemerintah kebijakannya menginginkan PT FI agar membangun pabrik peleburan dan pemurnian, maka menurut ketentuan dalam KK, PT FI harus membangunnya.
Bahkan tindakan pemurnian di luar negeri ini dianggap tidak sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 yang dipertegas oleh Mahakamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-XII/2014 yang menyatakan bahwa ketentuan kewajiban pengolahan dan/atau pemurnian di dalam negeri terhadap seluruh hasil tambang di Indonesia telah sesuai dengan UUD 1945. Menurut Mahkamah Konstitusi kewajiban pemurnian di dalam negeri tersebut, Konstitusional. Pertanyaannya apakah PTFI mau menghormati Konstitusi bangsa Indonesia, UU Minerba, dan KK yang disepakatinya? Apakah ada itikad baik untuk menghormati landasan filosofi, sosiologis, dan yuridis penyelenggaraan kekayaan alam Indonesia untuk sebesar-besar kemakmuran Indonesia? Bila tidak ada penghormatan lagi maka taka da bedanya antara PT FI dengan VOC yang menjajah bangsa ini.
Ilusi Keuangan PT FI
Walau tidak memiliki itikad baik, Pemerintah pun berupaya tetap memberikan jalan tengah dengan menerapkan instrumen ekonomi sebagai kompensasi dugaan pelanggaran instrumen hukum Pasal 170 UU Minerba. Instrumen ekonomi itu ialah agar PT FI membayar sejumlah USD 530 juta sebagai jaminan pembangunan smelter. Namun, Jumat 5 Februari 2015, PT FI mengirimkan surat yang memberitahukan bahwa PT FI mengalami kesulitan ekonomi. Pernyataan PT FI mengenai kesulitan keuangan merupakan bentuk inkonsistensi PT FI terhadap:
Partama, Pasal 170 UU Minerba yang mewajibkan PT FI melakukan pemurnian di dalam negeri atas konsentratnya. UU Minerba mengandung filosofi bahwa pengusahaan minerba bukan hal bisnis jual beli tanah air, sehingga atas tanah (mineral) Indonesia harus dibawa keluar negeri apabila sudah diolah dan/atau di Murnikan di dalam negeri. Bukan tanah (mineral) mentah/konsentrat yg selama ini dilakukan oleh PTFI. Kedua, dalam Pasal 10 Kontrak Karya, PTFI pun diwajibkan untuk melakukan pengolahan bijih di dalam negeri atas penilaian bersama dengan Pemerintah dari aspek keekonomian. Namun faktanya, PTFI malah membangun pabrik pemurnian di luar negeri, misalnya Spanyol dan Jepang. Ketiga, selama ini PTFI mengubar pernyataan bahwa akan menginvestasikan dana senilai USD 18 miliar, yang terdiri atas USD 2.5 miliar untuk pembangunan smelter dan USD 15.5 miliar untuk investasi tambang bawah tanah. Malah proyeksi investasi tersebut dimasukkan sebagai komponen penghitung harga saham divestasi PTFI yang ditawarkan kepada Pemerintah. Selain bahwa ilusi USD 18 miliar tersebut dijadikan komoditas janji PT FI untuk mendapatkan perpanjangan operasi pasca 2021 ketika KK PT FI berakhir.
Berdasarkan fakta tersebut, jelas terdapat inkonsistensi dan itikad tidak baik dari PT FI untuk melaksanakan kewajibannya kepada bangsa dan negara Indonesia. Jelas hal tersebut merupakan bentuk pelecehan kepada bangsa dan negara Indonesia yang menginginkan kehadiran PTFI memberikan sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Pemerintah pun ditempatkan di posisi sulit oleh PTFI dengan pemberian izin ekspor konsentrat. Kebijakan ini seolah melanggengkan ketidakpatuhan PTFI pada landasan filosofi, sosiologis, dan yuridis pengelolaan sumber daya alam Indonesia. Berkenaan dengan hal tersebut, Menteri ESDM harus tegas dan keras untuk memastikan PTFI membangun smelter dan menyelesaikan progress pembangunan 60% yang saat ini baru mencapai 14%. Menteri ESDM pun selayaknya tidak melakukan revisi atas Peraturan Menteri ESDM No.1 Tahun 2014 sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri ESDM No. 8 Tahun 2015 dalam rangka memberikan kemudahan kembali kepada PTFI.
Akhirnya, PT FI harus memiliki itikad baik untuk melaksanakan kewajiban hukum di Indonesia dan berhenti untuk mencari celah dalam melanggengkan bisnisnya namun merugikan bangsa Indonesia dan tidak menghormati hukum dan peraturan perundang-undangan (law and regulation) di Indonesia. Sekali lagi, “Bangsa yang waras tidak akan membiarkan setiap orang asing yang berupaya menguras kekayaan alamnya tanpa memberikan manfaat bagi bangsa tuan rumah”.
- - -
RUU LEMBAGA KEPRESIDENAN
(Dimuat di Republika, 10 April 2015)
Pembentukan lembaga-lembaga yang berada langsung di bawah Presiden dan Wakil Presiden yang bertugas membantu secara teknis dan administrasi Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, dalam praktiknya disesuaikan dengan selera masing-masing Presiden dan wapres yang berkuasa.
Tiap rezim kepemimpinan Presiden dan Wapres terdapat ‘selera’ kelembagaan yang berbeda-beda. Berbeda dengan cabang kekuasaan lain yang bentuk kelembagaan, tugas pokok, dan fungsi atas dukungan teknis dan administrasi telah ajeg sesuai UU yang menjadi payung hukumnya. Lembaga itu, antara lain, MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang memiliki payung hukum UU No 17 Tahun 2014, Mahkamah Agung dengan payung hukum UU No 13 Tahun 1985 sebagaimana terakhir diganti dengan UU No 3 Tahun 2009, Badan Pemeriksa Keuangan dengan UU No 5 Tahun 1973 sebagaimana telah diganti dengan UU No 15 Tahun 2006, Mahkamah Konstitusi yang diatur dengan UU No 24 Tahun 2003 sebagaimana diubah terakhir dengan UU No 4 Tahun 2014, dan Komisi Yudisial dengan UU No 22 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan UU No 18 Tahun 2011. Lembaga-lembaga itu ada dalam UUD 1945.
Tidak hanya lembaga di atas yang kelembagaan telah ajeg, bahkan lembaga di bawah kekuasaan presiden pun memiliki kelembagaan yang ajeg sebagaimana Kementerian Negara dengan UU No 39 Tahun 2008, Kepolisian RI dengan UU No 2 Tahun 2002, Kejaksaan RI dengan UU No 16 Tahun 2004, dan Tentara Nasional RI dengan UU No 34 Tahun 2004.
Terdapat pula lembaga nonstruktural yang juga telah ajeg kelembagaannya berdasarkan UU, misalnya Badan Informasi Geospasial, Komisi Pemilihan Umum, Ombudsman, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan banyak lembaga/badan lainnya.
Presiden memegang kekuasaan pemerintahan sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Pasal-pasal yang mengatur lembaga kepresidenan, meliputi Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 6A, Pasal 7, Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 7C, dan Pasal 8 sampai Pasal 15 UUD 1945. Beberapa UU yang terbentuk terkait pelaksanaan lembaga kepresidenan meliputi UU No 19 Tahun 2006 dengan Dewan Pertimbangan Presiden, UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, dan UU No 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wapres.
Lalu, bagaimana pengaturan kedudukan lembaga kepresidenan; tugas dan kewenangan, baik tugas dan kewenangan maupun tugas dan kewenangan wapres; hubungan kerja lembaga kepresidenan dengan lembaga tinggi negara dan lembaga negara lainnya; hak, kewajiban, dan larangan; sekretariat lembaga kepresidenan; kekebalan presiden dan wapres; serta tindakan polisional bagi presiden dan wapres, saat ini belum diatur jelas dalam suatu UU. Hal ini berbeda dengan lembaga lain, khususnya cabang-cabang kekuasaan sebagaimana diatur UUD 1945.
Dalam konteks sederhana, misalnya, mengenai lembaga kepresidenan dalam aspek kelembagaan an sich, maka dampak ketiadaan pengaturan terlihat terjadinya tumpang-tindih kewenangan unit-unit kerja yang berada langsung di lembaga kepresidenan di lingkungan istana. Presiden memiliki kesekretariatan, baik presiden sebagai kepala pemerintahan maupun kepala pemerintahan.
Saat ini, telah ada dua lembaga yang menjalankan fungsi itu, yaitu Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet. Namun, anehnya dua unit itu terdapat perbedaan kedudukan, yaitu Sekretariat sebagai suatu Kementerian Negara sebagaimana diatur dalam UU Kementerian Negara, sedangkan Sekretariat Kabinet tidak menjadi kementerian sesuai UU Kementerian Negara dan hanya lembaga setingkat menteri.
Bila ingin konsisten, sebaiknya Sekretariat Negara sebagai kementerian negaralah yang memiliki peranan pembantu presiden dalam bidang kesekretariatan presiden sebagai kepala negara maupun kepala pemerintahan atau dapat saja tetap Sekretariat Kabinet sebagai pembantu presiden dalam bidang kesekretariatan presiden sebagai kepala pemerintahan, tapi kedudukannya harus setara dengan Sekretariat Negara sebagai suatu kementerian negara.
Eksistensi kedua lembaga ini sangat rentan terjadi tumpang-tindih kewenangan, bahkan duplikasi kewenangan karena ruang lingkup presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan perbedaannya sangat tipis. Belum lagi adanya unit yang tiba-tiba dibentuk oleh presiden di lingkungan sekretariat kepresidenan. Padahal, unit tertentu itu bisa saja memiliki tugas pokok dan fungsi yang hampir sama dengan kedua sekretariat tersebut, misalnya di era Kabinet Jilid I Presiden SBY dibentuklah Unit Kerja Presiden Pengelolaan Program dan Reformasi yang selanjutnya bermetafora menjadi Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) di Kabinet Jilid II Presiden SBY.
Hal itu pun dilanjutkan di era Presiden Jokowi dengan membentuk Unit Staf Kepresidenan yang dipimpin oleh kepala Staf Kepresidenan. Pembentukan unit ini menjadi lembaga yang dapat mereduksi kewenangan wapres, para menteri koordinator dan menteri lainnya, termasuk menteri sekretaris negara dan sekretaris kabinet di lingkungan lembaga kepresidenan.
Kelembagaan kepresidenan harus ajeg mengingat lembaga kepresidenan sebagai dapur sekaligus pintu terakhir kebijakan negara, bahkan sebagai jantung negara sehingga kedudukannya sangat vital.
Tidak hanya dari aspek itu, hal lain terkait pengaturan mengenai kedudukan lembaga kepresidenan; tugas dan kewenangan, baik tugas dan kewenangan maupun tugas dan kewenangan wakil presiden; hubungan kerja lembaga kepresidenan dengan lembaga tinggi negara dan lembaga negara lainnya; hak, kewajiban, dan larangan; sekretariat lembaga kepresidenan; kekebalan presiden dan wapres; serta tindakan polisional bagi presiden dan wapres, pun saat ini berbeda dengan lembaga lain yang telah ajeg dengan UU yang dimiliki sehingga keberlanjutan, stabilitas, dan kekuatan kelembagaannya kosinsten. Akhirnya, menurut penulis, UU khusus mengenai lembaga kepresidenan merupakan hal yang sudah tidak dapat lagi ditunda.
Ahmad Redi
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Doktor Hukum dari Universitas Indonesia
Senin, 04 Juli 2016
PERATURAN KEBAL HUKUM BAGI PEJABAT PEMERINTAH
Oleh:
Dr. Ahmad Redi, S.H.,M.H
(Pengajar FH Universitas Tarumanagara)
Beberapa saat yang lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyampaikan bahwa saat ini Pemerintah sedang menyusun peraturan kebal hukum bagi pejabat pemerintahan. Hadirnya rencana pengaturan tersebut untuk mempertegas jaminan pelaksanaan percepatan pembangunan infrastruktur dan menjadi jaminan bagi para pejabat dan kepala daerah dari kasus hukum dalam melaksanakan kebijakan pembangunan infrastruktur. Frasa “kebal hukum” terdengat memang terlalu keras, namus ‘kebal hukum” dapat lebih tepat bila diubah dengan “antikriminalisasi”. Lalu, bagaimanakah urgensi rencana belieid tersebut?
Secara psikologis, pascapenetapan Dahlan Iskan sebagai tersangka atas dugaan korupsi pembangunan proyek 21 Gardu Induk (GI) PLN di wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara serta kasus dugaan korupsi pengadaan flame turbin pada 12 pembangkit listrik dan gas sektor Belawan tahun 2007-2009 senilai Rp 23,98 miliar yang melibatkan petinggi PLN, pejabat takut mengambil kebijakan strategis. Bahkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said dan PT PLN hingga saat ini tidak berani mengeksusi proyek pembangunan pembangkit listrik sebesar 35.000 MW, padahal proyek tersebut sangat urgen dengan tujuan untuk meningkatkan rasio elektrifikasi listrik yang berjalan lamban.
Data lain dari Kementerian Keuangan, terdapat dana yang sudah ditransfer dari pemerintah pusat yang berhenti di bank-bank pembangunan daerah sebesar Rp255 triliun karena pejabat daerah takut dikriminalisasi apabila akan melaksanakan proyek pembangunan yang telah disahkannya.
Kekakuan Hukum
Ancaman kriminalisasi pejabat atas kebijakan ada di depan mata, di sisi lain percepatan pelaksanaan proyek strategis untuk memenuhi kebutuhan dasar dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tidak dapat ditunda lagi. Padahal, regulasi mengatur secara ketat mengenai prosedur yang sangat sulit diatasi, misalnya permasalahan pengadaan tanah, pengadaan barang dan jasa, tata ruang, lahan pengganti kawasan hutan, perizinan di dalam kawasan hutan konservasi.
Aturan inilah yang kemudian menjadi alasan penegak hukum untuk mengkriminalisasi pejabat pemerintahan karena melaksanakan proyek tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, padahal pejabat pemerintahan dituntut untuk segara mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu dam segara guna kemanfaatan dan kepentingan umum yang lebih besar. Dalam pemikiran filsafat hukum, pemikiran yang menuhankan peraturan disebut paham positivisme hukum. Berbeda dengan Satjipto Rahardjo, yang berpendapat bahwa “Hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum”, untuk itu apabila hukum itu tidak sesuai maka bukanlah hal yang haram hukum itu untuk diotak-atik demi keadilan dan kemanfaatan umum.
Dikresi Pejabat dan Akrobat Hukum
Apakah kebuntuan tersebut, dapat diselesaikan dengan diskresi? Sesungguhnya dalam UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan diatur mengenai kewenangan pengambilan diskresi oleh pejabat pemerintahan. Dikresi dilakukan bertujuan untuk: melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum, dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Adapun persyaratan diskresi yaitu: sesuai dengan tujuan diskresi, tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik; berdasarkan alasan-alasan yang objektif, tidak menimbulkan Konflik Kepentingan, dan dilakukan dengan iktikad baik. Sayangnya, UU tersebut mengunci setiap diskresi harus tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Untuk itu, perlu suatu akrobat hukum dengan mengeluarkan kebijakan dalam suatu Peraturan Presiden mengenai antikriminalisasi pejabat dalam percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional yang didalamnya mengatur mengenai pengambilan diskresi khusus. Pengambilan diskresi khusus dapat dilakukan apabila dengan itikad baik, kajian yang mendalam, kehati-hatian, independen, dan tanpa konflik kepentingan. Apabila pejabat pengambil kebijakan menerapkan hal tersebut, ia tidak dikriminalisasi. Tentu, rencana beleid tersebut mempunyai kelemahan yaitu berpotensi bertentangan dengan undang-undang terkait, misalnya KUHAP, UU Tindak Pidana Korupsi, UU Kehutanan, UU Penataan Ruang, dan aturan pengadaan barang/jasa.
Peraturan Sapu Jagat
Di berbagai negara dunia dikenal dengan konsep omnibus law. Konsep ini tumbuh dan berkembang di negara dengan tradisi common law system seperti Amerika Serikat. Omnibus law secara sederhana mengandung konsepsi sapu jagat atau “for everything”. Omnibus law merupakan aturan yang bersifat menyeluruh dan tidak terikat pada satu rezim pengaturan saja, namun dalam satu aturan mengatur berbagai hal dan memiliki kuasa atas peraturan yang lain. Level idealnya ialah undang-undang. Dalam khasanah ilmu perundang-undangan Indonesia, bisa disetarakan dengan undang-undang pokok. Walau kedudukan undang-undang pokok dalam hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia, selevel dengan undang-undang lainnya.
Konsepsi omnibus law ini sepertinya diupayakan diwujudukan dalam suatu peraturan presiden mengenai antikriminalisasi atas percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional yang didalamnya mengatur berbagai hal agar percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional dapat tercapai. Peraturan ini berpotensi menabrak berbagai peraturan di atasnya. Terkait kriminalisasi pejabat pemerintahan, misalnya peraturan presiden ini berupaya mengatur mengenai kewenangan aparat penegak hukum yang harus mendahulukan proses adminstratif sesuai dengan UU Adimistrasi Pemerintahan sebelum melakukan penanganan laporan dugaan tindak pidana yang berkaitan dengan pelaksanaan proyek strategis.
Proses administratif tersebut yaitu atas laporan dugaan tindak pidana yang berkaitan dengan pelaksanaan proyek strategis maka penanganan laporan dilakukan setelah adanya hasil pemeriksaan/audit dari Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) yaitu BPKP atau Inspektorat, dan memintakan hasilnya terlebih dahulu kepada APIP dalam hal belum adanya hasil pemeriksaan/audit. Setelah ada temuan kerugian negara berdasarkan hasil audit BPKP atau BPK, maka aparat penegak hukum baru dapat memproses pidana.
Peraturan sapu jagat tersebut, harus dieksekusi lebih teknis dengan adanya Instruksi Presiden kepada bawahannya, khususnya Kapolri dan Jaksa Agung untuk tidak secara mudah dan cepat mengkriminalisasi pejabat pemerintahan yang murni membuat dan melaksanakan kebijakan dalam rangka mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum, tanpa ada mens rea atau good faith, prudence, care, independent, dan no conflict interest maka bila terjadi kesalahan maka sanksi administratif-lah yang ditempuh. Bila peraturan ‘kebal hukum’ yang demikian yang dimaksud Jusuf Kalla, maka ini menjadi terobosan hukum yang dilakukan oleh pemerintah saat ini untuk kepentingan umum yang lebih besar disbanding kepentingan hukum.
SAATNYA KANTOR STAF PRESIDEN DIBUBARKAN
Dr. Ahmad Redi, S.H.,M.H
(Pengajar Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Doktor Hukum dari Universitas Indonesia)
Pemerintah saat ini sedang melakukan kajian untuk melakukan penataan atas keberadaan lembaga nonstruktural (LNS) yang dianggap tidak efisien dan efektif. Berdasarkan data dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi terdapat sekitar 22 LNS yang dipertimbangkan untuk dibubarkan. Semangat penataan tersebut perlu didukung kerena penataan kelembagaan merupakan bagian dari reformasi birokrasi yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan organisasi pemerintahan yang belum tepat guna dan teapt ukuran (right sizing). Bila tidak ditangani secara cepat dan tepat maka potensi pemborosan anggaran dan sumber daya manusia, serta tumpang tindih kewenangan antarlembaga akan terjadi. Sesungguhnya potensi pemborosan anggaran dan sumber daya manusia, dan tumpang tindih kewenangan yang akan melahirkan ketegangan antarlembaga terjadi pada Kantor Staf Presiden (KSP).
Benturan Kewenangan KSP
Benturan kewenangan KSP terjadi dalam dua aspek, yaitu benturan di internal lembaga kepresidenan dan benturan di eksternal lembaga kepresidenan. Di internal lembaga kepresidenan, secara organisasi terdapat beberapa organisasi yang langsung berada di bawah Presiden dan Wakil Presiden yang berada di lingkungan istana, yaitu Kementerian Sekretaris Negara (Kemsetneg), Sekretaris Kabinet (Setkab), dan Kantor Staf Kepresidenan (KSP). Di bawah ketiga lembaga tersebut terdapat pula satuan kerja yang sangat beragam. Dalam organisasi Kenmsetneg yang berada di bawah Mensesneg setidaknya terdapat satuan kerja berupa Sekretariat Kementerian, Sekretariat Presiden, Sekretariat Wakil Presiden, Sekretariat Militer Presiden, pada Deputi, dan Staf Ahli. Sedangkan dibawah Sekretaris Kabinet terdapat Wakil Sekretaris Kabinet, para Deputi, Staf Ahli, Inspektorat, Pusat Data dan Teknologi Informasi. Sedangkan di bawah KSP terdapat para Deputi, Taf Khusus, dan tenaga profesional.
Ketiga lembaga tersebut memiliki tugas pokok dan fungsi organisasi yang terkait satu sama lain. Kemsetneg memiliki tugas menyelenggarakan dukungan teknis dan administrasi serta analisis urusan pemerintahan di bidang kesekretariatan negara untuk membantu Presiden dan Wakil Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara (Pasal 2 Perpres No.24 Tahun 2015), Setkab memiliki tugas memberikan dukungan pengelolaan manajamen kabinet kepada Presiden dan Wakil Presiden dalam penyelenggaraan pemerintahan (Pasal 2 Perpres No.25 Tahun 2015), KSP memiliki tugas menyelenggarakan pemberian dukungan kepada Presiden dan Wakil Presiden dalam melaksanakan pengendalian program-program prioritas nasional, komunikasi politik, dan pengelolaan isu strategis.
Secara gramatikal, formulasi ketiga lembaga tersebut terlihat berbeda, namun bila ditelusuri secara substansi antara KSP dan Sekretaris Kabinet terutama bila dianalisis lebih jauh mengenai kelembagaan Setkab, akan terlihat benturan organisasi kedua lembaga ini. Pertama, berdasarkan Konsideran Menimbang Perpres No.25 Tahun 2015, Setkab dibentuk dengan pertimbangan dalam rangka peningkatan efektivitas pemberian dukungan staf, analisis, dan pemikiran kepada Presiden dan Wapres dalam penyelenggaraan pemerintahan. Selanjutnya, organisasi Setkab terdiri atas para Deputi, diantaranya Deputi Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Deputi Bidang Perekonomian, Deputi Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, dan Deputi Bidang Kemaritiman. Para Deputi tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Pepres No.25 Tahun 2015, antara lain bertugas melakukan: a. perumusan dan analisis atas rencana kebijakan dan program pemerintah di bidang politik, hukum, keamanan, perekonomian, pembangunan manusia, kebudayaan, dan kemaritiman; b. penyiapan pendapat atau pandangan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di bidang politik, hukum, keamanan, perekonomian, pembangunan manusia, kebudayaan, dan kemaritiman; c. pengawasan pelaksanaan kebijakan dan program pemerintah di bidang politik, hukum, keamanan, perekonomian, pembangunan manusia, kebudayaan, dan kemaritiman.
Lalu apa bedanya dengan KSP yang dibentuk dalam rangka meningkatkan kelancaran pengendalian program-program prioritas nasional, penyelenggaraan komunikasi politik kepresidenan, pengelolaan isu strategis (Pasal 2 Perpres 26 Tahun 2015). Setkab dengan tugas sebagaimana diatur Perpres No.25 Tahun 2015 sejatinya juga melakukan itu. Kemudian apa dasar suatu program ditetapkan menjadi prioritas nasional sehingga menjadi kewenangan KSP? Berdasarkan kewenangan dalam Perpres No.25 Tahun 2015, secara gelondongan Setkab pun mampu melakukan pengendalian program-program baik terkait program prioritas ataupun tidak prioritas. Jelas terlihat tumpang tindih kewenangan KSP dan Setkab. Lalu, apakah untuk melakukan pengelolaan isu strategis diperlukan suatu lembaga selevel LNS? Apakah untuk komunikasi politik kepresidenan perlu dibuat suatu selevel LNS? Dari perspektif reformasi birokrasi, tugas tersebut dapat diselesaikan di level eselon I yang telah tersebar di Setkab.
Belum lagi apabila eksistensi KSP dibenturkan secara eksternal (di luar lembaga kepresidenan) dengan keberadaan Kementerian-kementerian Koordinator sesuai Pasal 14 UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara bahwa kementerian koordinator dibentuk oleh Presiden untuk kepentingan sinkronisasi dan koordinasi urusan kementerian. Secara regulasi dan praktik, Kementerian koordinator pun telah memiliki fungsi pengendalian sebagaimana misalnya diatur dalam Pasal 2 Perpres No.8 Tahun 2015 tentang Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, yaitu Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mempunyai tugas menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan Kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian. Artinya, keberadaan KSP pun mendagradasi fungsi kantor kementerian koordinator yang dapat ditafsirkan secara sistematikan hukum bahwa levelnya lebih tinggi dibandingkan KSP karena pembentukan kementerian koordinator berdasarkan UU No.39 Tahun 2008.
Bubarkan KSP
Penataan kelembagaan termasuk di lembaga kepresidenan harus dilakukan secara cepat dan segara, khususnya mengenai KSP. Mengingat saat ini kelembagaan Kemsetneg dan Setkab sudah cukup ideal. KSP sebaiknya dibubarkan. Efisiensi anggaran dan sumber daya manusia serta efektifitas ketatalaksanaan penyelenggaraan pemerintahan karena potensi gesekan antara lembaga dapat diminimalisasikan apabila KSP bubar. Saat ini, biarkan Kemsetneg dan Setkab yang menjadi pembantu Presiden dan Wapres di lingkungan kepresidenan, baik teknis, administrasi, dan substansi di ‘pintu terakhir’ sebelum Presiden dan Wapres mengambil keputusan dan/atau tindakan.
Selain itu, pengangkatan Luhut Binsar Panjaitan menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan di Kabinet Kerja merangkap sebagai Kepala KSP sungguh tidak efektif. Presiden tidak perlu mencarikan pengganti Luhut mengingat publik memahami bahwa pengangkatan Luhut sebagai Kepala KSP dalam rangka memperkuat fungsi Presiden Jokowi dan mencarikan tempat bagi Luhut sebagai salah satu penyokong kesuksesan Jokowi sebagai Presiden. Presiden Jokowi mengangkat Luhut dalam kapasitas perorangan Luhut dan saat itu dicarikanlah pos baru di pemerintahan yang layak untuk Luhut diantara pertarungan kepentingan partai pengusung dalam menempatkan orangnya di Kabinet. Artinya dengan diangkatnya Luhut sebagai Menkopolhukam, maka pos lama Luhut yang sengaja dibentuk untuk ‘menempatkan’ yang sebelumnya tidak terangkut di Kabinet Kerja pra-reshuffle. Untuk itu, KSP pasca Luhut menjadi Menkopolhukam pun harusnya juga dihilangkan.
Akhirnya, secara sederhana berdasarkan cost benefit analysis of law, keberadaan KSP lebih banyak menimbulkan kerugian daripada kemanfaatannnya bagi pemerintah. KSP tentu memerlukan dukungan pendanaan dalam program-programnya dan sumber daya manusia yang banyak padahal telah ada lembaga lain yang juga memiliki kewenangan yang sama yang juga melakukan tugas pokok dan fungsi yang sama dengan KSP yang telah ajeg yaitu Setkab dalam rangka filter terakhir rencana tindakan dan/atau keputusan Presiden, pengelolaan kebijakan termasuk kebijakan strategis, dan komunikasi politik Presiden, serta keberadaaan para menteri koordinator dalam rangka pengendalian, sinkromisasi, dan koordinasi antarmenteri dalam pelaksanaan program-program pemerintahan termasuk program strategis pemerintahan. Terlabih saat ini Pramono Anung yang ditunjuk sebagai Sekretaris Kabinet merupakan sosok kuat untuk mengerjakan juga apa-apa yang sebelumnya akan dikerjakan oleh KSP.
---
MENGGUGAT PT FREEPORT INDONESIA
Oleh:
Dr. Ahmad Redi, S.H.,M.H
Pengajar FH Universitas Tarumanagara, Pengamat Hukum Sumber Daya Alam, Dewan Presedium Kaukus Muda Alumni Undip
Pada tahun 2021, Kontrak Karya (KK) PT Freeport Indonesia di Komplek tambang Grasberg, Papua, akan berakhir. Kompleks tambang Grasberg merupakan salah satu penghasil tembaga dan emas terbesar di dunia dan mengandung cadangan tembaga terbesar di dunia. Grasberg berada di jantung wilayah mineral yang sangat melimpah dan berusia panjang. KK PT Freeport ditandatangani pada 7 April 1967 dan telah diperbarui pada 30 Desember 1991. Padahal harusnya, KK tersebut berakhir pada 1997. PTFI telah melakukan eksplorasi, menambang, dan memproses bijih yang mengandung tembaga, emas, dan perak di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Erstberg (sejak 1967) dan tambang Grasberg (sejak 1988), di kawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.
Perpanjangan operasi tambang PT Freeport menyangkut kepentingan seluruh bangsa dan negara Indonesia sehingga harus dipastikan cost and benefit analysis bahwa perpanjangan tersebut menguntungkan bangsa dan negara Indonesia untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bukan hanya keuntungan PT Freeport semata. Selama ini, eksistensi PT Freeport di Indonesia dianggap tidak memberikan keuntungan yang maksimal bagi Indonesia dan sesungguhnya akan lebih bermanfaat apabila komponen bangsa Indonesia-lah yang mengelolanya.
Menalar Menteri Sudirman Said
Di awal September 2015, Pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Menteri ESDM) seolah memberi angin surga kepada PT Freeport dengan melakukan upaya penataan regulasi yang dianggap menghalangi keberlanjutan usaha PT Freeport di Indonesia. Menteri ESDM mengusulkan perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara dalam Paket Kebijakan Ekonomi Tahap I, substansi yang diusulkan oleh Menteri ESDM yaitu perpanjangan KK PT Freeport melalui skema Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang permohonan perpanjangan KK menjadi IUPK dapat dilakukan 10 (sepuluh) tahun sebelum KK berakhir. Substansi lainnya yaitu degredasi pengaturan divestasi saham dari yang sebelumnya diatur dalam Peraturan Pemerintah menjadi diatur dalam Peraturan Menteri ESDM.
Selain itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) nomor 61/SJI/2015 tanggal 9 Oktober 2015 dengan judul “PT Freeport Indonesia dan Pemerintah Indonesia Menyepakati Kelanjutan Operasi Komplek Pertambangan Grasberg Pasca 2012” dalam siaran pers tersebut disampaikan bahwa PT Freeport Indonesia (PTFI) dan Pemerintah Indonesia telah menyepakati operasi jangka panjang dan rencana investasi PTFI. Bahkan melalui suray Menteri ESDM nomor 7522/13/MEM/2015 tanggal 7 Oktober 2015 kepada James R Moffat, Chairman of Board Freeport McMorran Inc, Menteri ESDM berjanji akan segera menyelesaikan penataan ulang regulasi bidang mineral dan batubara agar PT Freeport dapat segera memajukan permohonan perpanjangan operasi pertambangan dan perpanjangan operasi pertambangan akan segara diberikan segera setalah hasil penataan peraturan dan perundangan di bidang mineral dan batubara diimpelementasikan. Entah apa yang ada dipikiran Sudirman Said sebagai Menteri ESDM yang terlihat sangat lemah terhadap PT Freeport? Padahal kebijakannya yang akan dikeluarkannya menyangkut kepentingan seluruh bangsa dan negara ini. Wajar saja apabila Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya ‘ngamuk-ngamuk’ melihat rencana kebijakan Menteri Sudirman Said karena langkah Sudirman Said memang perlu dirasionalisasi karena dianggap belum rasional.
Tentunya, KPK dan BPK harus turut dilibatkan dalam pembuatan kebijakan yang berpotensi merugikan keuangan negara karena potensi kerugian negara melalui penyelundupan kepentingan melalui pembentukan regulasi dapat saja terjadi di sektor sumber daya alam, khususnya pertambangan mineral dan batubara. Mungkin tidak ada prilaku koruptif, namun kebijakan yang menguntungkan pihak lain dan sangat merugikan negara, merupakan bentuk kesalahan yang bisa saja merupakan suatu perbuatan pidana.
PT Freeport ‘Bandel’?
Tambang Grasberg, Papua, merupakan kekayaan alam bangsa Indonesia yang semestinya dapat dikelola sendiri oleh Indonesia untuk mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945. Ada beberapa hal yang menjadi alasan mengapa Indonesia harus mengelola sendiri tambang Grasberg, Papua, yaitu: (1) sebagai tambang emas terbesar di dunia tentu secara ekonomi akan memberikan manfaat penerimaan negara yang besar bagi negara ini apabila dikelola langsung oleh bangsa Indonesia sendiri; (2) selama ini PT Freeport cenderung ‘bandel’ atas kebijakan pemerintah, misalnya mengenai kewajiban pemurnian di dalam negeri dan membangun smelter; (3) besaran royalti yang sulit untuk dinaikkan dari 1% ke 3.75% sebagaimana diatur dalam PP No. 9 tahun 2010 tentang PNBP di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral padahal sebagai pemilik sumber daya alam Indonesia harusnya bangsa Indonesia mendapat royalti tidak hanya 3.75% tetapi puluhan persen; (4) PT Freeport sulit mendivestasikan sahamnya kepada pemerintah dan BUMN sebagaimana perintah UU No. 4 Tahun 2009 dan diwajibkan Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) KK tidak dilaksanakan; (5) kebijakan pemerintah yang berusaha ‘membela’ kepentingan PT Freeport menjadi beban bagi pemerintah sendiri, misalnya mengenai perpanjangan ekspor konsentrat selama enam bulan oleh pemerintah melalui MOU kepada PT Freeport membuat Pemerintah harus digugat ke pengadilan karena dianggap melanggar peraturan perundang-undangan; (6) hasil tambang PT Freeport tidak memberikan nilai tambah bagi bangsa Indonesia secara maksimal misalnya untuk ketersediaan bahan baku industri dalam negeri; dan (7) PT Freeport sejak 2012-2014 tidak membayar dividen saham kepada Pemerintah sebagai pemegang 9.36% saham.
Indonesia Mampu Kelola Grasberg
Berbagai alasan tersebut memperkuat posisi pemerintah untuk mengelola sendiri Komplek tambang Grasberg peninggalan PT Freeport pada 2021 nanti. Adapun skema yang dapat dilakukan pemerintah, yaitu: pertama, pemerintah membentuk BUMN baru untuk melanjutkan operasi produksi tambang Grasberg. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Pemerintah dengan membentuk BUMN PT Inalum setelah Pemerintah memutus kontrak dan mengambil alih saham yang dimiliki pihak konsorsium peruhasaan Jepang pada 2013. Kedua, Pemerintah dapat menugaskan konsorsium atau holding BUMN baru yang terdiri atas PT Bukit Asam, PT Nikel, PT Antam, dan beberapa BUMN di bidang perbankan untuk mengelola tambang Grasberg. Ketiga, dengan skema pembelian saham divestasi PT Freeport sebagaimana yang diatur dalam Pasal 112 UU No.4/2009 bahwa pemegang KK harus mendivestasikan sahamnya kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, dan perusahaan swasta nasional. Kepemilikan saham pemerintah PT Freeport harus 51% sesuai dengan ketentuan dalam PP No. 1/2014. Sayangnya, dalam PP No. 77 Tahun 2014 kepemilikan saham 51% ini didegredasi menjadi 30%. Melalui saham mayoritas maka akan terjadi peralihan kepemilikan dan peralihan keuntungan dari PT Freeport kepada pemerintah Indonesia. Pilihan ketiga tersebut, bukanlah pilihan yang ideal karena saham divestasi yang akan dibeli oleh pemerintah tentunya memerlukan dana yang sangat besar dan akan membebani APBN. Sehingga upaya menunggu tahun 2021 ketika berakhirnya KK PT Freeport dan atas KK tersebut tidak diperpanjang dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan (IUP) serta memberikan Izin Usaha Pertambangan Khusus kepada BUMN tentunya menjadi pilihan terbaik agar dapat mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Secara prosedural, perpanjangan KK menjadi IUPK harus dilakukan sesuai dengan tahapan yang ada dalam UU No.4 Tahun 2009. Sebagaimana diatur dalam Pasal 27 UU No. 4 Tahun 2009 bahwa wilayah yang dapat diusahakan dengan IUPK ialah WUPK. Sebelum menjadi WUPK suatu wilayah menjadi WPN terlebih dahulu. Penetapan WPN harus disetujui oleh DPR RI. Artinya sebelum adanya IUPK, maka wilayahnya merupakan WPN yang diubah menjadi WUPK. Selanjutnya, dalam Pasal 28 UU No. 4 Tahun 2009 diatur bahwa perubahan WPN menjadi WUPK harus mempertimbangkan: a. pemenuhan bahan baku industri dan energi dalam negeri; b. sumber devisa negara; c. kondisi wilayah didasarkan pada keterbatasan sarana dan prasarana; d. berpotensi untuk dikembangkan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi; e. daya dukung lingkungan; dan/atau e. penggunaan teknologi tinggi dan modal investasi yang besar. Sayangnya, ketentuan ini disimpangi oleh PP No.77 Tahun 2014 (Pasal 112C) yang mengatur bahwa kepada KK dapat langsung diberikan IUPK, padahal aturan ini tidak sesuai dengan aturan induknya yaitu Pasal 27 UU No. 4 Tahun 2009.
Pada kenyataannya, Menteri ESDM mewacanakan akan memberikan perpanjangan KK PTFI dengan skema IUPK. Padahal pemberian IUPK mengandung konsekuensi yuridis, yaitu wilayahnya harus di-WPN kan terselebih dahulu, kemudian diubah menjadi WUP. Pengusahaan IUPK pun dalam UU No. 4 Tahun 2009 diberikan prioritas kepada BUMN. Pemberian ‘ujug-ujug’ PTFI melalui skema IUPK maka terdapat beberapa potensi pelanggaran hukum yang akan dilakukan oleh Pemerintah.
Saat ini tahun 2015, tahun 2021 saat PT Freeport berakhir KK-nya telah semakin dekat. Pemerintah harus telah menyiapkan rencana kebijakan sejak saat ini karena apabila pemerintah salah menentukan kebijakan maka akan menjadi warisan penderitaan bagi bangsa dan negara. Perlu juga dihindari upaya-upaya perubahan peraturan perundang-undangan yang sudah baik saat ini untuk kemudian diubah demi menguntungkan PT Freeport semata. Upaya penyelundupan kepentingan perusahaan dan merugikan kepentingan nasional melalui pengubahan peraturan perundang-undangan sangat berpotensi dilakukan oleh unit pemerintah yang memiliki tugas pokok dan fungsi pembentukan regulasi. Akhinya, bangsa Indonesia harus bersatu untuk menentukan bahwa tambang Grasberg milik bangsa Indonesia dan harus dikelola sendiri oleh bangsa Indonesia. “Tuan rumah tidak akan berunding dengan perampok yang merampok rumahnya” (Tan Malaka).
***
ILUSI KESULITAN KEUANGAN PT FREEPORT
Jakarta, CNN Indonesia -- Jumat, 5 Februari 2016, PT Freeport Indonesia (PTFI) menyampaikan surat ke Menteri Energi dan Sumber Daya Minaral mengenai permasalahan kesulitan keuangan PTFI.
Surat ini merupakan jawaban atas permintaan pemerintah Indonesia agar PTFI membayar US$530 juta sebagai jaminan pembangunan smelter hingga hingga saat ini belum diselesaikan.
Kewajiban pembangunan smelter ini merupakan buntut panjang dari ketentuan Pasal 170 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara (UU Minerba) yang mengatur bahwa setelah lima tahun diundangkan, seluruh pemegang Kontrak Karya wajib melakukan pemurnian di dalam negeri atas hasil tambangnya. Ketentuan tersebut dipertegas dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014.
PTFI termasuk pihak yang dikenai kewajiban ini.
Secara hukum, sejak 12 Januari 2014 atau lima tahun sejak UU Minerba diberlakukan seharusnya PTFI tidak boleh lagi mengekspor konsentrat yang belum dimurnikan.
Namun melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri, PTFI diberi kesempatan ekspor konsentrat.
Terkait PTFI, Peraturan Menteri ini mengadung substansi: (1) PTFI diberi waktu paling lambat tiga tahun yaitu sampai 2017 untuk tetap dapat melakukan ekspor konsentrat; (2) PTFI tetap dapat melakukan ekspor konsentrat apabila berdasarkan evaluasi Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM memberikan rekomendasi untuk melakukan penjualan ke luar negeri untuk jangka waktu enam bulan; dan (3) Setelah 2017 PTFI harus mengolah dan/atau memurnikan hasil tambangnya sesuai dengan batasan minimum tertentu.
PTFI mendapat izin ekspor melalui dua kali Nota Kesepahaman(Mou)antara Kementerian ESDM dengan perusahaan itu. MoU pada 25 Juli 2014 dan MoU 23 Januari 2015 serta rekomendasi dari Kementerian ESDM pada Juli 2015 untuk enam bulan ekspor sampai dengan 28 Januari 2016.
Kenyataannya, hingga saat ini proses pembangunan smelter oleh PTFI baru mencapai sekitar 14 persen. Padahal seharusnya PTFI telah menyelesaikan progress pembangunan 60 persen agar sudah memiliki smelter pada tahun 2017 sesuai dengan Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014.
Adakah Itikad Baik PTFI?
Setelah mendapat waktu lima tahun sejak UU Minerba berlaku, ditambah perpanjangan waktu melalui dua kali MoU masing-masing enam bulan, dan satu surat rekomendasi dari Kementerian ESDM selama enam bulan agar PTFI tetap dapat mengekspor konsentrat, apakah upaya baik Pemerintah Indonesia harus diingkari dengan terus menempatkan pemerintah Indonesia di posisi sulit?
Secara hukum, pemerintah dapat saja dianggap melanggar UU Minerba yang mangatur bahwa setelah 12 Januari 2014 tidak ada lagi eskpor ore/konsentrat dari Indonesia yang belum diolah dan/atau dimurnikan di Indonesia.
Segala dalil hukum yang disampaikan oleh PTFI seolah mendudukan Kontrak Karya di atas segala perundang-undangan Indonesia.
Dalil bahwa Kontrak Karya merupakan undang-undang bagi para pihak sehingga harus ditaati oleh para pihak (asas pacta sunt servanda) karena kontrak itu suci (asas sanctity of contract) menjadi dalil sakral yang terus didengung-dengungkan.
Padahal apabila membaca kembali Pasal 10 ayat 4 dan ayat 5 Kontrak Karya PTFI bahwa terdapat kesepakatan: (1) PTFI harus mengolah bijih untuk menghasilkan logam atau produk lain;
(2) Untuk tujuan pengolahan bijih tersebut, PTFI harus menyusun atau mengusahakan untuk disusun Studi Kelayakan mengenai kemungkinan didirikannya pabrik peleburan di Indonesia yang harus tunduk pada pengamatan Pemerintah dan penilaian bersama oleh Pemerintah dan PTFI mengenai kelayakan ekonomi pabrik peleburan tersebut;
(3) Pabrik peleburan harus berlokasi di Indonesia dan harus pula menguntungkan secara ekonomi; dan
(4) Apabila pabrik peleburan tersebut dibangun oleh perusahaan atau subsidiari yang seluruh sahamnya dimiliki perusahaan, pabrik peleburan tersebut akan merupakan satu bagian dari pengusahaan berdasarkan KK.
Selain itu, dalam KK dinyatakan pula bahwa PTFI menyadari kebijakan pemerintah yang ingin mendorong pengolahan di dalam negeri atas semua kekayaan alamnya untuk menjadi produk-produk akhir, apabila layak, PTFI juga menyadari keinginan pemerintah agar pabrik peleburan dan pemurnian didirikan di Indonesia.
Dalam Pasal 10 ayat 5 KK juga dinyatakan bahwa apabila dalam jangka waktu lima tahun sejak ditandatangani KK fasilitas peleburan dan pemurnian yang berlokasi di Indonesia belum dibangun atau tidak dalam proses untuk dibangun oleh badan lain, PTFI akan tunduk kepada penilaian bersama oleh Pemerintah dan PTFI atas kelayakan ekonomi dari suatu pabrik peleburan dan pemurnian tembaga di Indonesia sesuai dengan dengan kebijakan Pemerintah.
Jelas bahwa ketentuan Pasal 10 KK tersebut mengandung kewajiban bagi PTFI untuk membangun pabrik peleburan dan pemurnian di Indonesia. Bahkan jika dalam jangka waktu lima tahun sejak KK ditandatangani belum terbangun fasilitas peleburan dan pemurnian di Indonesia, PTFI harus tunduk pada kebijakan pemerintah.
Bila kebijakan pemerintah menginginkan PTFI agar membangun pabrik peleburan dan pemurnian, berdasarkan ketentuan dalam KK PTFI harus membangunnya.
Bahkan tindakan pemurnian di luar negeri ini dianggap tidak sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 yang dipertegas oleh Mahakamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-XII/2014 yang menyatakan bahwa ketentuan kewajiban pengolahan dan/atau pemurnian di dalam negeri terhadap seluruh hasil tambang di Indonesia telah sesuai dengan UUD 1945.
Menurut Mahkamah Konstitusi kewajiban pemurnian di dalam negeri tersebut, Konstitusional.
Pertanyaannya apakah PTFI mau menghormati Konstitusi bangsa Indonesia, UU Minerba, dan KK yang disepakatinya? Apakah ada itikad baik untuk menghormati landasan filosofi, sosiologis, dan yuridis penyelenggaraan kekayaan alam Indonesia untuk sebesar-besar kemakmuran Indonesia? Bila tidak ada penghormatan lagi, tak ada bedanya antara PTFI dengan VOC yang menjajah bangsa ini.
Ilusi Keuangan PTFI
Walau tidak memiliki itikad baik, pemerintah pun berupaya tetap memberi jalan tengah dengan menerapkan instrumen ekonomi sebagai kompensasi dugaan pelanggaran instrumen hukum Pasal 170 UU Minerba.
Instrumen ekonomi itu ialah agar PTFI membayar sejumlah US$530 juta sebagai jaminan pembangunan smelter.
Namun, Jumat 5 Februari 2015, PTFI mengirimkan surat yang memberitahukan bahwa PTFI mengalami kesulitan ekonomi.
Pernyataan PTFI mengenai kesulitan keuangan merupakan bentuk inkonsistensi PTFI terhadap:
Partama, Pasal 170 UU Minerba yang mewajibkan PTFI melakukan pemurnian di dalam negeri atas konsentratnya. UU Minerba mengandung filosofi bahwa pengusahaan minerba bukan hal bisnis jual beli tanah air, sehingga atas tanah (mineral) Indonesia harus dibawa keluar negeri apabila sudah diolah dan/atau dimurnikan di dalam negeri. Bukan tanah (mineral) mentah/konsentrat yg selama ini dilakukan oleh PTFI.
Kedua, dalam Pasal 10 Kontrak Karya, PTFI pun diwajibkan untuk melakukan pengolahan bijih di dalam negeri atas penilaian bersama dengan pemerintah dari aspek keekonomian. Namun faktanya, PTFI malah membangun pabrik pemurnian di luar negeri, misalnya Spanyol dan Jepang.
Ketiga, selama ini PTFI mengumbar pernyataan akan menginvestasikan dana senilai US$418 miliar, yang terdiri atas US$42,5 miliar untuk pembangunan smelter dan US$415,5 miliar untuk investasi tambang bawah tanah.
Ternyata proyeksi investasi tersebut dimasukkan sebagai komponen penghitung harga saham divestasi PTFI yang ditawarkan kepada Pemerintah. Selain bahwa ilusi US$18 miliar tersebut dijadikan komoditas janji PTFI untuk mendapatkan perpanjangan operasi pasca 2021 ketika KK PTFI berakhir.
Berdasarkan fakta tersebut, jelas terdapat inkonsistensi dan itikad tidak baik dari PTFI untuk melaksanakan kewajibannya kepada bangsa dan negara Indonesia.
Jelas hal tersebut merupakan bentuk pelecehan kepada bangsa dan negara Indonesia yang menginginkan kehadiran PTFI memberikan sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Pemerintah pun ditempatkan di posisi sulit oleh PTFI dengan pemberian izin ekspor konsentrat.
Kebijakan ini seolah melanggengkan ketidakpatuhan PTFI pada landasan filosofi, sosiologis, dan yuridis pengelolaan sumber daya alam Indonesia.
Berkenaan dengan hal tersebut, Menteri ESDM harus tegas dan keras untuk memastikan PTFI membangun smelter dan menyelesaikan progress pembangunan 60 persen yang saat ini baru mencapai 14 persen. Menteri ESDM pun selayaknya tidak melakukan revisi atas Peraturan Menteri ESDM No.1 Tahun 2014 sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri ESDM No. 8 Tahun 2015 dalam rangka memberikan kemudahan kembali kepada PTFI.
Akhirnya, PTFI harus memiliki itikad baik untuk melaksanakan kewajiban hukum di Indonesia dan berhenti untuk mencari celah dalam melanggengkan bisnisnya tetapi merugikan bangsa Indonesia dan tidak menghormati hukum dan peraturan perundang-undangan (law and regulation) di Indonesia.
MENYOAL PEMBERIAN REMISI BAGI KORUPTOR
Oleh:
Dr. Ahmad Redi, S.H.,M.H
Jakarta - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yosanna Laoly, berencana memberikan remisi istimewa kepada 118.000 narapidana di Indonesia dalam rangka memperingati hari kemerdekaan RI 17 Agustus 2015. Hari kemerdekaan RI yang ke-70 merupakan hari kemerdekaan dasawarsa yang sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 120 Tahun 1955 kepada setiap orang narapidana berhak mendapatkan remisi istimewa. Terhadap 118.000 narapidana tersebut, termasuk pula narapidana tindak pidana korupsi.
Wacana pemberian remisi istimewa kepada narapidana korupsi memang menimbulkan pro dan kontra. Secara konstitusional Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945 mengatur bahwa:
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Pasal tersebut menjadi rujukan bahwa secara Konstitusional, terpidana apapun termasuk narapidana korupsi harus mendapatkan kedudukan yang sama di depan hukum. Apalagi bagi narapidana termasuk narapidana korupsi, selama menjalani masa hukumannya telah kehilangan 5 (lima) hal, yaitu lost of liberty, lost of security, lost of authority, lost of sexual, dan lost of good services (Andi Hamzah, 1994,3).
Kejahatan yang telah dia lakukan, secara kemanusiaan telah ditunaikan dengan hukuman yang sedang ia jalani. Lalu apakah adil ketika hak-hak narapidana korupsi untuk mendapatkan remisi, tidak diberikan?
Secara hukum, pemberian remisi diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dalam Pasal 14 ayat (1) huruf I diatur bahwa narapidana berhak mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi). Selanjutnya sebagai peraturan pelaksanaan UU No. 12 Tahun 1995 dibentuklah Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 yang mengatur mengenai syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan.
Dalam PP No. 32 Tahun 1999, remisi diberikan kepada siapa saja narapidana yang selama menjalani masa pidana berkelakuan baik (Pasal 34 PP No.32 Tahun 1999), namun di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap PP No. 32 Tahun 1999 dilakukan peninjauan terhadap remisi guna menyesuaikan dengan perkembangan hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat, terutama terkait dengan narapidana yang melakukan tindak pidana yang mengakibatkan kerugian yang besar bagi negara atau masyarakat atau korban yang banyak atau menimbulkan kepanikan, kecemasan, atau ketakutan yang luar biasa kepada masyarakat.
Terbitlah Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2006 tentang Perubahan Atas PP 32 tahun 1999. Pasal 34 PP 32 Tahun 1999 diubah dalam PP 28 Tahun 2006 yaitu remisi diberikan kepada narapidana dan anak pidana apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. berkelakuan baik; dan b. telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan.
Selanjutnya bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, diberikan remisi apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. berkelakuan baik; dan
b. telah menjalani 1/3 (satu per tiga) masa pidana.
Namun, PP 28 Tahun 2006 kemudian diubah lagi dengan PP No. 99 Tahun 2012. PP No. 99 Tahun 2012 memberikan pengetatan pemberian remisi kepada narapidana korupsi dengan persyaratan bahwa narapidana tersebut:
a. bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya; dan
b. telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan.
Remisi untuk Narapidana Justice Collaborator
Syarat ketersediaan bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya merupakan syarat mutlak. Terpidana korupsi harus menjadi justice collaborator terlebih dahulu agar dapat mendapatkan remisi.
Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2011tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (justice collaborator) di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu ditentukan siapa saja yang dapat menjadi justice collaborator.
Dalam Surat Edaran MA (SEMA) tersebut, justice collaborator yaitu:
a. yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan; dan
b. jaksa penuntut umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan asset-aset hasil tindak pidana.
Artinya untuk mendapatkan predikat justice collaborator agar mendapatkan remisi bagi narapidana korupsi bukanlah hal yang mudah.
Dengan demikian, dasar pemberian remisi bagi narapidana korupsi harus berdasarkan pada ketentuan dalam PP No.99 tahun 2012. Lalu bagaimana kedudukan Keputusan Presiden Nomor 120 Tahun 1955 mengenai pemberian remisi istimewa dasawarsa?
Remisi istimewa dalam rangka hari ulang tahun dasawarsa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 2015 oleh Menteri Hukum dan HAM kepada terpidana korupsi melukai hukum dan keadilan. Melukai hukum karena pemberian remisi istimewa kepada korupsi itu didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 120 Tahun 1955.
Keputusan Presiden No.120/1955 mengatur mengenai pemberian pengurangan hukuman istimewa sebanyak satu perduabelas dari masa hukuman dengan setinggi-tingginya tiga bulan, kepada semua terpidana kecuali terpidana hukuman mati atau seumur hidup serta terpidana yang melarikan diri. Upaya melukai hukum tersebut terjadi karena Keputusan Presiden tersebut bertentangan dengan PP 99 Tahun 2012.
Remisi Cacat Hukum
Terdapat 2 (dua) alasan pertentangan antara Kepres 120/1955 dan PP 99/2012 tersebut, yaitu pertama, penerapan Kepres No.120/1955 (berdasarkan UU 10/2004 dan UU 12/2011 "Kepres" yang berisi norma pengaturan (regeling) sebelum UU 10/2004 terbit harus dibaca "Perpres") terhadap terpidana korupsi melanggar asas lex superiori derogat legi inferiori, bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi menyimpangi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.
Jelas bahwa Peraturan Pemerintah merupakan peraturan yang lebih tinggi dibandingkan dengan Keputusan Presiden, sehingga Keputusan Presiden tidak dapat menyimpangi PP 99/2012.
Kedua, pemberian remisi kepada terpidana korupsi melanggar asas lex posteriori derogat legi priori (asas hierarki), bahwa peraturan perundang-undangan yang terbit belakangan/kemudian mengalahkan peraturan perundang-undangan yang terbit lebih dahulu.
Walau level kedua produk hukum ini berbeda sehingga tidak dapat diterapkan asas ini, namun jelas bahwa PP 99/2012 lebih tinggi hierakinya dan terbit belakangan sehingga merupakan aturan yang mengalahkan Kepres 120/1955.
Selain ditinjau dari dua asas tersebut, perlu pula dilihat dari aspek sejarah hukum. Keppres 120 Tahun 1955 dibuat dalam suasana batin Indonesia baru merdeka yang belum terjangkit prilaku koruptif. Saat ini tindak pidana korupsi belum menjadi extra ordinary crime yang dampaknya merusak bangsa.
Prilaku korupsi saat itu belum menimbulkan kepanikan, kecemasan, dan ketakutan luar biasa bagi masyarakat, serta belum memberikan kerugian yang besar bagi negara dan masyarakat. Jadi tidak tepat apabila teks yang tidak kontekstual dipaksakan untuk diterapkan.
Dengan demikian, secara asas hukum dan sejarah hukum bahwa keberadaan Keputusan Menteri yang akan memberikan remisi istimewa dasawarsa HUT RI ke-70 bagi terpidana korupsi melanggar aspek legal formal. Asas-asas tersebut termaktub dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan misalnya asas hierarki dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12/2012.
Selanjutnya, pemberian remisi istimewa bagi terpidana korupsi ini melukai keadilan. Korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang dampaknya sangat luas, masif, dan sistematis.
Sebagai contoh korupsi memberikan dampak negatif bagi bangsa dalam hal ekonomi dan sosial. Kemiskinan di negara ini diakibatkan salah satunya oleh prilaku koruptif para koruptor. Bocornya uang negara yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat, membuat rakyat jadi korban.
Semangat untuk menciptakan keadilan akibat ulah koruptor tersebut dilakukan dengan memberikan pengetatan pemberian remisi. Terpidana korupsi harus diperlakukan berbeda dengan terpidana lainnya. Ia boleh mendapatkan remisi asalkan menjadi justice collaborator terlebih dahulu. Hal in sebagaimana diatur dalam Pasal 34A PP 99/2012 bahwa syarat bgi terpidana korupsi untuk mendapatkan remisi yaitu harus bersedia bekerja sama dengan penegak hukum dalam membongkar perkara yang dilakukannya.
Sayangnya, teks dan konteks hukum baik secara yuridis, sosiologis, dan filosofis atas remisi istimewa bagi terpidana korupsi pada 17 Agustus 2015 tidak diperhatikan oleh Menteri Hukum dan HAM Yosanna Laoly. Jelas Menteri Hukum dan HAM melakukan kebijakan (pemberian remisi bagi terpidana korupsi) yang berpotensi melanggar hukum (PP 120/2012).
Menteri Hukum dan HAM dapat saja memberikan remisi bagi terpidana korupsi asal memenuhi syarat dan tata cara yang diatur dalam PP No. 99/2012. Apabila pemberian remisi bagi terpidana korupsi tidak sesuai dengan PP No.99/2012 maka sekali lagi Menteri Hukum dan HAM melakukan akrobat hukum yang cacat hukum.
Jangan ada stigma bagi publik bahwa negara mengistismewakan terpidana korupsi. Stigma tersebut yaitu alangkah enaknya para koruptor, korupsi sebanyak-banyaknya, bila apes ditangkap KPK, divonis pengadilan dengan hukuman yang ringan, masuk lembaga pemasyarakatan dan mendapat remisi berkali-kali, bebas dari penjara dan apabila ia politisi maka ia akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah karena MK membatalkan pasal larangan mantan narapidana mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Akhirnya, sebaiknya Menteri Hukum dan HAM tidak menerbitkan remisi bagi terpidana korupsi bila pun akan tetap diterbitkan remiwi tersebut maka harus diperketat sesuai PP No. 99/2012.
*) Dr. Ahmad Redi, SH, MH adalah Pengajar di FH Universitas Tarumanagara, Doktor Hukum Universitas Indonesia, Koordinator Kaukus Alumni Muda Undip
Dr. Ahmad Redi, S.H.,M.H
Jakarta - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yosanna Laoly, berencana memberikan remisi istimewa kepada 118.000 narapidana di Indonesia dalam rangka memperingati hari kemerdekaan RI 17 Agustus 2015. Hari kemerdekaan RI yang ke-70 merupakan hari kemerdekaan dasawarsa yang sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 120 Tahun 1955 kepada setiap orang narapidana berhak mendapatkan remisi istimewa. Terhadap 118.000 narapidana tersebut, termasuk pula narapidana tindak pidana korupsi.
Wacana pemberian remisi istimewa kepada narapidana korupsi memang menimbulkan pro dan kontra. Secara konstitusional Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945 mengatur bahwa:
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Pasal tersebut menjadi rujukan bahwa secara Konstitusional, terpidana apapun termasuk narapidana korupsi harus mendapatkan kedudukan yang sama di depan hukum. Apalagi bagi narapidana termasuk narapidana korupsi, selama menjalani masa hukumannya telah kehilangan 5 (lima) hal, yaitu lost of liberty, lost of security, lost of authority, lost of sexual, dan lost of good services (Andi Hamzah, 1994,3).
Kejahatan yang telah dia lakukan, secara kemanusiaan telah ditunaikan dengan hukuman yang sedang ia jalani. Lalu apakah adil ketika hak-hak narapidana korupsi untuk mendapatkan remisi, tidak diberikan?
Secara hukum, pemberian remisi diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dalam Pasal 14 ayat (1) huruf I diatur bahwa narapidana berhak mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi). Selanjutnya sebagai peraturan pelaksanaan UU No. 12 Tahun 1995 dibentuklah Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 yang mengatur mengenai syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan.
Dalam PP No. 32 Tahun 1999, remisi diberikan kepada siapa saja narapidana yang selama menjalani masa pidana berkelakuan baik (Pasal 34 PP No.32 Tahun 1999), namun di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap PP No. 32 Tahun 1999 dilakukan peninjauan terhadap remisi guna menyesuaikan dengan perkembangan hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat, terutama terkait dengan narapidana yang melakukan tindak pidana yang mengakibatkan kerugian yang besar bagi negara atau masyarakat atau korban yang banyak atau menimbulkan kepanikan, kecemasan, atau ketakutan yang luar biasa kepada masyarakat.
Terbitlah Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2006 tentang Perubahan Atas PP 32 tahun 1999. Pasal 34 PP 32 Tahun 1999 diubah dalam PP 28 Tahun 2006 yaitu remisi diberikan kepada narapidana dan anak pidana apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. berkelakuan baik; dan b. telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan.
Selanjutnya bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, diberikan remisi apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. berkelakuan baik; dan
b. telah menjalani 1/3 (satu per tiga) masa pidana.
Namun, PP 28 Tahun 2006 kemudian diubah lagi dengan PP No. 99 Tahun 2012. PP No. 99 Tahun 2012 memberikan pengetatan pemberian remisi kepada narapidana korupsi dengan persyaratan bahwa narapidana tersebut:
a. bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya; dan
b. telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan.
Remisi untuk Narapidana Justice Collaborator
Syarat ketersediaan bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya merupakan syarat mutlak. Terpidana korupsi harus menjadi justice collaborator terlebih dahulu agar dapat mendapatkan remisi.
Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2011tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (justice collaborator) di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu ditentukan siapa saja yang dapat menjadi justice collaborator.
Dalam Surat Edaran MA (SEMA) tersebut, justice collaborator yaitu:
a. yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan; dan
b. jaksa penuntut umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan asset-aset hasil tindak pidana.
Artinya untuk mendapatkan predikat justice collaborator agar mendapatkan remisi bagi narapidana korupsi bukanlah hal yang mudah.
Dengan demikian, dasar pemberian remisi bagi narapidana korupsi harus berdasarkan pada ketentuan dalam PP No.99 tahun 2012. Lalu bagaimana kedudukan Keputusan Presiden Nomor 120 Tahun 1955 mengenai pemberian remisi istimewa dasawarsa?
Remisi istimewa dalam rangka hari ulang tahun dasawarsa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 2015 oleh Menteri Hukum dan HAM kepada terpidana korupsi melukai hukum dan keadilan. Melukai hukum karena pemberian remisi istimewa kepada korupsi itu didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 120 Tahun 1955.
Keputusan Presiden No.120/1955 mengatur mengenai pemberian pengurangan hukuman istimewa sebanyak satu perduabelas dari masa hukuman dengan setinggi-tingginya tiga bulan, kepada semua terpidana kecuali terpidana hukuman mati atau seumur hidup serta terpidana yang melarikan diri. Upaya melukai hukum tersebut terjadi karena Keputusan Presiden tersebut bertentangan dengan PP 99 Tahun 2012.
Remisi Cacat Hukum
Terdapat 2 (dua) alasan pertentangan antara Kepres 120/1955 dan PP 99/2012 tersebut, yaitu pertama, penerapan Kepres No.120/1955 (berdasarkan UU 10/2004 dan UU 12/2011 "Kepres" yang berisi norma pengaturan (regeling) sebelum UU 10/2004 terbit harus dibaca "Perpres") terhadap terpidana korupsi melanggar asas lex superiori derogat legi inferiori, bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi menyimpangi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.
Jelas bahwa Peraturan Pemerintah merupakan peraturan yang lebih tinggi dibandingkan dengan Keputusan Presiden, sehingga Keputusan Presiden tidak dapat menyimpangi PP 99/2012.
Kedua, pemberian remisi kepada terpidana korupsi melanggar asas lex posteriori derogat legi priori (asas hierarki), bahwa peraturan perundang-undangan yang terbit belakangan/kemudian mengalahkan peraturan perundang-undangan yang terbit lebih dahulu.
Walau level kedua produk hukum ini berbeda sehingga tidak dapat diterapkan asas ini, namun jelas bahwa PP 99/2012 lebih tinggi hierakinya dan terbit belakangan sehingga merupakan aturan yang mengalahkan Kepres 120/1955.
Selain ditinjau dari dua asas tersebut, perlu pula dilihat dari aspek sejarah hukum. Keppres 120 Tahun 1955 dibuat dalam suasana batin Indonesia baru merdeka yang belum terjangkit prilaku koruptif. Saat ini tindak pidana korupsi belum menjadi extra ordinary crime yang dampaknya merusak bangsa.
Prilaku korupsi saat itu belum menimbulkan kepanikan, kecemasan, dan ketakutan luar biasa bagi masyarakat, serta belum memberikan kerugian yang besar bagi negara dan masyarakat. Jadi tidak tepat apabila teks yang tidak kontekstual dipaksakan untuk diterapkan.
Dengan demikian, secara asas hukum dan sejarah hukum bahwa keberadaan Keputusan Menteri yang akan memberikan remisi istimewa dasawarsa HUT RI ke-70 bagi terpidana korupsi melanggar aspek legal formal. Asas-asas tersebut termaktub dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan misalnya asas hierarki dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12/2012.
Selanjutnya, pemberian remisi istimewa bagi terpidana korupsi ini melukai keadilan. Korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang dampaknya sangat luas, masif, dan sistematis.
Sebagai contoh korupsi memberikan dampak negatif bagi bangsa dalam hal ekonomi dan sosial. Kemiskinan di negara ini diakibatkan salah satunya oleh prilaku koruptif para koruptor. Bocornya uang negara yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat, membuat rakyat jadi korban.
Semangat untuk menciptakan keadilan akibat ulah koruptor tersebut dilakukan dengan memberikan pengetatan pemberian remisi. Terpidana korupsi harus diperlakukan berbeda dengan terpidana lainnya. Ia boleh mendapatkan remisi asalkan menjadi justice collaborator terlebih dahulu. Hal in sebagaimana diatur dalam Pasal 34A PP 99/2012 bahwa syarat bgi terpidana korupsi untuk mendapatkan remisi yaitu harus bersedia bekerja sama dengan penegak hukum dalam membongkar perkara yang dilakukannya.
Sayangnya, teks dan konteks hukum baik secara yuridis, sosiologis, dan filosofis atas remisi istimewa bagi terpidana korupsi pada 17 Agustus 2015 tidak diperhatikan oleh Menteri Hukum dan HAM Yosanna Laoly. Jelas Menteri Hukum dan HAM melakukan kebijakan (pemberian remisi bagi terpidana korupsi) yang berpotensi melanggar hukum (PP 120/2012).
Menteri Hukum dan HAM dapat saja memberikan remisi bagi terpidana korupsi asal memenuhi syarat dan tata cara yang diatur dalam PP No. 99/2012. Apabila pemberian remisi bagi terpidana korupsi tidak sesuai dengan PP No.99/2012 maka sekali lagi Menteri Hukum dan HAM melakukan akrobat hukum yang cacat hukum.
Jangan ada stigma bagi publik bahwa negara mengistismewakan terpidana korupsi. Stigma tersebut yaitu alangkah enaknya para koruptor, korupsi sebanyak-banyaknya, bila apes ditangkap KPK, divonis pengadilan dengan hukuman yang ringan, masuk lembaga pemasyarakatan dan mendapat remisi berkali-kali, bebas dari penjara dan apabila ia politisi maka ia akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah karena MK membatalkan pasal larangan mantan narapidana mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Akhirnya, sebaiknya Menteri Hukum dan HAM tidak menerbitkan remisi bagi terpidana korupsi bila pun akan tetap diterbitkan remiwi tersebut maka harus diperketat sesuai PP No. 99/2012.
*) Dr. Ahmad Redi, SH, MH adalah Pengajar di FH Universitas Tarumanagara, Doktor Hukum Universitas Indonesia, Koordinator Kaukus Alumni Muda Undip
Langganan:
Postingan (Atom)